Chapter 13: Pelangi Abu-abu

65 18 0
                                    

Semua warna-warni yang kurasakan selama dua bulan itu mendadak menjadi abu-abu yang membosankan. Sepanjang hari, aku merasa tak nyaman karena Theo selalu datang ke kepalaku. Aku penasaran dengan apa yang sedang dia kerjakan, bagaimana harinya, dan yang terpenting dan paling menyakitkan; Apakah sudah dia temukan penggantiku? Apakah dia sudah terlibat kontrak lagi dengan orang lain?

Seketika, segala hal di sekelilingku mengingatkanku padanya. Radio, Dialog Hujan, permen tangkai, sebuah antrian, gitar, dan pasar malam. Benda-benda itu tak salah. Kepalaku saja yang sedang bermasalah dan hal itu membuatku mengaitkan apapun dengan Theo.

Hari-hari kulalui tanpa Theo terasa lebih panjang daripada biasanya. Kali ini, tak ada lagi seseorang yang menenggelamkanku ke dalam pelukannya jika aku sedang tertimpa masalah. Jika sesuatu terjadi, aku hanya bisa menangis dan menumpahkan emosiku ke sebuah kanvas.

Aku menyadari satu hal. Sejak aku bersamanya, aku jarang sekali melukis. Untuk beberapa saat aku menyadari hal lain, yaitu Theo sempat menjadi wadah emosiku, entah itu senang, marah, sedih, dan lain-lain. Itulah kenapa, saat bersamanya, aku tak membutuhkan kanvas sebagai wadah perasaanku.

Aku tak menyangka bahwa perasaanku untuk Theo bisa sedalam itu sampai aku pun melukis dirinya. Aku tak pernah melukis siapapun sebelumnya. Hanya berbekalkan ingatan, aku melukis dirinya dengan baju mustard dan jaket hitam, tersenyum ke arahku, seperti pertama kali kami bertemu di sebuah kafe tak bernama itu. Senyuman manis yang membuatku candu… serta jemarinya yang menopang dagu. Jemari yang selalu menggandeng tanganku erat.

Sejak awal sudah salah. Seharusnya, aku tak jatuh cinta kepadanya. Seperti yang kuketahui dari awal, hubungan itu semu. Kami pun sudah sepakat tak ada apa-apa di antara kami setelah kontrak selesai. Aku yakin, dia tak sebodoh aku yang terlena akan perasaan. Aku yakin, dia pasti tak memikirkanku seperti aku yang terus memikirkannya.

Aku merindukan segala hal mengenainya. Dia, senyumannya, tatapannya, aromanya, semuanya. Aku juga merindukan Ayah dan Ibu, Caca, dan kehangatan yang bisa kurasakan tiap kali aku memasuki rumah Theo. Mereka menyambutku dengan senyuman itu, membuat hatiku membiru. Namun, dari semua itu, aku merindukan waktu yang kuhabiskan bersamanya. Aku rindu sekali.

Ada yang bilang, orang yang bodoh adalah orang yang saling mencintai, tapi memilih untuk tidak bersama. Namun, di kondisi ini, aku bahkan tak tau bagaimana perasaan Theo terhadapku. Apakah dia pernah sekali saja merasakan kenyamanan selama bersamaku? Apakah dia juga merasa terganggu karena kami tidak berbicara lagi, seperti yang kurasakan? Atau alih-alih seperti itu, dia justru sudah melupakanku?

Andaikata perpisahan kami benar-benar menjadi perpisahan sungguhan, apakah boleh aku berharap bahwa dia adalah orang yang bersamaku akhir cerita? Bolehkah aku berharap suatu saat nanti aku akan menjadi tempatnya pulang dan wadah segala kegelisahannya? Dia pun akan menjadi rumahku dan mengisi gelapnya hatiku. Bolehkah aku berharap seperti itu?

Kedua orang tuaku yang selalu menanyakan Theo pun terkadang menyakitiku. Sudah jelas, aku tak lagi bersamanya. Namun, aku tak bisa memberitahu mereka.

Terkadang, aku berpikir, andai aku bisa kembali ke 26 Desember 2020, hari dimana aku pertama kali bertemu dengannya. Aku ingin merasakannya lagi berada di dekatku, berbicara denganku, dan menjadi pemilikku. Dia adalah pelangi yang indah di hatiku yang biru. Kepergiannya membawa warna-warni dari pelangi itu dan duniaku menjadi abu-abu.

Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang