Chapter 05: Kehangatan Untuk Malam yang Dingin

67 20 0
                                    

Masalah tak hanya bisa datang dari rumah dan keluarga, tapi juga dari kampus dan musuh yang berkedok teman. Musuh yang berkedok teman adalah orang yang paling berbahaya, bahkan dari tukang begal sekalipun, begitu ucapan kocak dari Theo.

Hari itu adalah hari yang buruk bagiku. Aku sudah melalui banyak hari yang buruk, tapi pagiku, hari itu adalah hari yang paling menyiksaku. Hari dimana aku hanya ingin berbaring di tempat tidur, menangis, merasa sedih dan marah secara bersamaan.

Aku mendatangi rumah Theo dengan mata yang sembab, malam itu. Theo sedikit bingung dengan apa yang baru saja terjadi padaku, tapi dia mempersilakanku masuk dan menggandeng tanganku untuk berjalan menuju kamarnya.

Aku duduk di tepian tempat tidurnya. Dia berjongkok di hadapanku, meletakkan lengannya di atas pahaku, menungguku untuk mengatakan sesuatu mengenai apa yang baru saja terjadi.

Aku memandang kedua bola mata senjanya yang memantulkan diriku. Dia menatapku lekat, masih setia menungguku untuk mengatakan sesuatu. Sepersekian detik, pandanganku buram karena dipenuni oleh air mata. Aku buru-buru mengusap air mataku, tak ingin terlihat menangis di hadapan Theo.

"Lo inget kan, tugas yang gue kerjain waktu itu? Lukisan yang bikin gue begadang berminggu-minggu dan gue puas banget sama hasilnya," kataku dengan suara bergetar. "Temen gue sendiri ngerusakin lukisan itu waktu kita lagi makan siang bareng. Sekarang, kanvas itu cuma berisi tinta item yang ngerusak hasil dari jerih payah gue."

Dia menatapku khawatir. Dia meraih tanganku, mengelus jemariku dengan lembut, berusaha menenangkanku.

"Temen lo yang mana?" tanya Theo, mengubah posisinya dan duduk di sebelahku.

"Temen satu kelas. Yah, dia bukan temen deket, tapi gue berekspektasi kalau dia orang yang baik," jawabku.

Theo terdiam lagi. Aku tak tau apa yang tengah dia pikirkan, tapi jaraknya yang sedekat ini denganku benar-benar membuatku merasa hangat dan mulai tenang.

"Dia bukan temen," ujar Theo. "Dia musuh lo. Musuh yang berkedok temen."

Aku terdiam. Benar. Orang itu bukan temanku. Seorang yang pantas disebut teman takkan mencelakai temannya sendiri.

"Musuh yang berkedok temen tuh, ya... lebih bahaya dari tukang begal sekalipun," tambah Theo. "Jangan salah lagi milih temen. Lo boleh baik sama semua orang, tapi jangan percaya sama semua orang. Lo harus inget itu."

Theo bilang, aku boleh menginap di rumahnya, malam itu. Aku datang ke rumahnya pada pukul sebelas malam dengan piyama yang kukenakan, jadi rasanya sedikit menakutkan jika aku harus kembali ke rumah di jam yang sudah semalam itu.

Malam itu, aku tidur di atas tempat tidurnya. Dia berbaring tepat di sebelahku karena kasur ini berukuran queen. Kami memandangi langit-langit kamar Theo yang memantulkan bayangan bintang-bintang kecil dari lampu proyektornya.

"Kenapa Theo?" tanyaku, tiba-tiba.

"Maksudnya?"

"Kenapa nama lo Theo?" tanyaku lagi. "Apa artinya?"

Theo tersenyum ringan, terdiam sejenak. "Theodore A. Theodore itu artinya hadiah dari Tuhan. A itu inisial dari nama bokap nyokap gue. Aneh emang, karena cuma A."

Aku tersenyum dan mengangguk-angguk, mengerti.

"Kalau lo?" tanyanya. "Apa arti Alena?"

Aku terdiam sejenak. "Gue gak tau."

"Masa?"

Aku mengangguk.

"Oke, google," sahutnya. "Apa arti Alena?"

"Berikut adalah 50 nama bayi perempuan dengan arti yang unik dan modern," jawab Google Home yang ada di kamarnya.

"Hahah, gak gitu," kekeh Theo. Aku pun ikut tertawa.

"Lo pernah gak sih, ngelewatin hari buruk kaya yang gue rasain sekarang?" tanyaku, tiba-tiba.

"Pernah."

"Terus?"

"Udah biasa. Toh, hidup tetep jalan," katanya. "Ada satu hal yang selalu bisa balikin mood gue."

Aku mengernyitkan dahi. "Apaan?"

"Video kucing lucu di youtube."

Aku terbahak. "Beneran?"

Dia mengangguk.

"Gue punya banyak banget kucing di rumah, bahkan sampe jadi bingung ngurusinnya," ucapku. "Lo mau pelihara satu?"

Matanya berbinar, dia tersenyum lebar. "Beneran?"

Aku mengangguk, tersenyum ke arahnya. "Beneran."

"Yaudah. Besok, gue ke rumah lo, oke?" katanya, semangat. "Cepetan tidur biar cepetan juga ambil kucingnya."

Aku tertawa lagi. Kenapa dia mendadak menjadi kekanakan begini?

"Yah, tapi gue gak bisa tidur."

Dia pun memindahkan posisi tangannya menjadi memelukku. Aku sedikit kaget, dapat merasakan lengannya yang berada di atas tubuhku, memelukku dari samping.

"Lo tau, semua masalah lo hari ini bakalan diganti sama hasil yang lebih baik lagi," katanya tersenyum, bersitatap denganku dengan jarak wajah yang sangat dekat. "Gue bakalan bantuin lo buat perbaiki tugas itu."

Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang