Hari itu, aku datang ke rumahnya. Tak seperti biasanya, kali itu ada Ayah, Ibu, dan Caca di rumah itu dan Theo memintaku datang agar bisa berkenalan dengan semuanya.
Ayah dan Ibu Theo memiliki dua rumah. Mereka lebih sering di rumah utama yang cukup jauh dari sini, sedangkan rumah ini ditempati oleh Theo karena cukup dekat dari gedung fakultasnya. Namun, hari itu, hari Sabtu, kami berkumpul di ruang tengah dan saling mengenalkan diri.
Theo memiliki ayah yang tampan dan ibu yang cantik. Wajah Theo lebih mirip kepada ayahnya, tapi bentuk mata dan bibirnya mirip ibunya. Ayah dan Ibu Theo pun memiliki logat yang terdengar seperti orang Sumatera. Aku tak tau logat Pekanbaru, Riau, seperti apa, tapi aku bisa mendengar aksen dan pemilihan kata yang dapat membuatku menilai bahwa mereka bukan asli orang sini.
"Caca, kenalin, ini Kak Alena," ucap Theo, memperkenalkanku kepada Caca dan meminta gadis kecil itu mengulurkan tangannya. "Kak Alena bisa diajakin main bareng, loh. Coba ceritain, Caca senengnya main apa."
Aku tersenyum ke arah Caca. Dia hanya bisa memasang wajah lugu sembari memeluk boneka kesayangannya, berlindung di balik tubuh Theo.
"Caca seneng main boneka," jawab Caca, pelan.
"Kakak punya rumah boneka yang gede loh, di rumah. Caca mau pinjem, gak?"
Kedua mata yang lucu itu berbinar. "Rumah boneka?"
Aku mengangguk, tersenyum.
Keesokan harinya, aku meminta Theo untuk membantuku membawa rumah boneka itu ke rumahnya, karena Ayah, Ibu, dan Caca masih menetap di rumah itu sampai hari Minggu. Theo bersusah payah mengangkat rumah boneka yang besar itu menuju kamar Caca yang ada di lantai dua. Aku terkekeh ketika Caca menatap khawatir kepada abangnya yang mengangkat benda berat itu, bahkan gadis kecil itu berkali-kali bertanya, "Bisa, Bang?" kepada Theo sampai Theo berhasil menaruh rumah boneka itu di kamar Caca.
"Ini beneran gapapa?" tanya Theo kepadaku, memandangi Caca yang bersimpuh di karpet bulu tersebut dan sibuk bermain dengan boneka barunya.
"Lagian, udah gak ada yang main boneka di rumah," kekehku. "Gapapa, dong."
Siang itu, aku dan Theo ikut bermain boneka bersama Caca. Kami memainkan skenario yang Caca ciptakan. Dia pintar sekali dan menurutku, dia memiliki imajinasi yang luas. Kupikir, dia akan menjadi penulis ataupun pelukis yang baik, andaikata dia berkecimpung di dunia itu suatu saat.
"Halo, semuanya," sapa Ibu Theo tersenyum dari ambang pintu kamar. Sepersekian detik, Ayah Theo pun ikut muncul dan tersenyum hangat ke arah kami. "Ibu sama Ayah bawain sate padang, loh."
Caca bangkit dari duduknya, berhambur ke pelukan Ibu.
"Alena, Theo, nanti ambil satenya di bawah, ya," ucap Ayah melemparkan senyuman lagi sebelum mereka berlalu menuju lantai bawah.
Aku masih ingat, siang itu. Entah ketika aku bertemu dengan Theo, kota ini sedang diselimuti musim hujan, tapi menurutku, aku kerap kali dikepung hujan tiap kali bersamanya. Siang itu pun hujan lebat menghujam kota ini.
"Yuk, ke bawah," ajak Theo, bangkit dari duduknya.
"Lo suka pedes?" tanyaku.
Dia menggeleng. "Kenapa?"
"Gue gak terlalu suka sate padang, soalnya pedes."
Theo terkekeh. "Yah, gue perhatiin, kebanyakan orang dari luar Sumatera emang pada kurang suka sate padang, sih."
Aku mengangguk.
"Yang ini gak pedes, kok. Gue juga gak bisa makan pedes," ucapnya, meraih tanganku dan berjalan menuju anak tangga. "Lagian, cupu banget."
Aku menaikkan alisku. "Sorry? Cupu?"
Dia mengangguk.
"Gue bakal liatin sama lo, ya," Aku memberi jeda. "Gue bisa ngabisin."
"Ayo buat taruhan."
"Taruhan apa?"
"Lo nerima taruhan ini, gak?" tanya Theo, menaikkan sebelah alisnya. "Harus disepakatin dari awal."
Aku memicingkan mataku ke arahnya. Dia pintar sekali. Dia membuat kesepakatan ini dari awal agar aku penasaran, di sisi lain juga agar aku tak bisa kabur di akhir.
"Oke," kataku mantap. "Apa?"
"Kalau lo gak bisa ngabisin sate padangnya, kita bakalan nonton A Star Is Born versi remake tahun 2018," Dia tersenyum. "Kalau lo bisa ngabisin, gue bakalan beliin lo sketchbook yang paling bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]
RomansaAlena, seorang perempuan seni itu memutuskan untuk merental 'pacar' agar lepas dari tuntutan keluarganya. Dia pun bertemu dengan Theo, seorang lelaki sempurna yang menjadikan hubungan semu mereka menjadi pengalaman yang pancarona. p.s • Pelangi Kel...