Chapter 11: Hujan di Hatiku

57 19 0
                                    

Setelah dua bulan bersama, akan tiba hari dimana kami berpisah. Kontrak akan habis dan aku takkan merasakan kehangatan dari Theo lagi. Tak akan ada lagi Theo di kehidupanku setelah itu, semuanya seperti sekelebat bunga tidur yang sesaat dan ketika aku sudah tak lagi bersamanya, aku terbangun dari mimpi indah yang sempurna.

"Jadi, hari ini hari terakhir kita bareng, ya," ucap Theo, malam itu. Aku duduk di karpet bulu berwarna hitam di kamarnya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak memasang wajah sedihku.

Tentu saja, aku sedih. Selama enam puluh satu hari bersama dan bertemu tiap hari dengannya, tak mungkin aku takkan merasakan kehilangan. Bertemu dengannya, menjadi pacarnya, dipeluk olehnya, disayangi olehnya sudah menjadi kebiasaan dan jika besok aku tak lagi merasakan itu, tentu saja aku akan merasa kehilangan.

Aku memandangi Theo yang tengah berkutat di hadapan laptopnya, mengerjakan tugas kuliahnya. Aku memandangi wajahnya lama sekali, entah apa yang kupikirkan. Aku merasakan perasaan yang tak enak menyesakkan di dadaku dan kali ini, aku tau alasannya.

Malam dimana Theo membisikkan I love you kepadaku itu perasaanku pun tak nyaman, tapi waktu itu aku tak tau alasannya. Sekarang, aku tau. Perasaanku sakit karena aku menyadari ucapannya itu tak nyata. Hatiku ingin dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Egoku ingin dia membutuhkanku. Aku ingin dia terus ada untukku karena tanpa kusadari, aku sudah jatuh cinta kepadanya.

Semua perasaan tak nyaman ini membuatku merasa ingin menangis. Aku bahkan tak tau sejak kapan aku jatuh cinta kepadanya. Kupikir, sejak awal, hubungan palsu ini memang ide yang buruk karena aku yang rapuh tak mungkin tak jatuh hati jika aku terus bersamanya selama dua bulan. Waktu yang selama itu sudah cukup bagiku untuk menilai dirinya, merasakan manis dari hubungan kami, dan menumbuhkan rasa yang tak seharusnya kumiliki.

"Kenapa?"

Pertanyaannya itu membuyarkanku dari lamunan. Aku pun ikut kaget ketika aku baru sadar air mata sudah mengalir di pipiku. Aku buru-buru mengusap wajahku, tak ingin terlihat menangis di hadapan Theo.

Theo bangkit dari posisinya, lalu duduk di hadapanku. Hening sejenak, dia berusaha untuk membiarkanku tenang terlebih dahulu. Alih-alih tenang, air mataku justru semakin mendesak untuk keluar. Ingin kukatakan padanya untuk jangan melakukan hal yang manis lagi kepadaku agar aku tak semakin sakit hati, mengingat bahwa hari ini adalah hari terakhirku bersamanya.

"Lo kenapa?" tanyanya lagi, menangkup kedua pipiku, menatapku lekat. "Ada sesuatu yang ganggu pikiran lo?"

Aku hanya diam. Benar, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku dan penyebabnya tepat di hadapanku.

"Lo gak mau cerita?" tanyanya lagi. "Hm, gini aja."

Dia pun bangkit dari posisinya, lalu meraih laptopnya. Dia keluar dari tugas yang masih dalam proses pengerjaan tersebut, lalu membuka google chrome.

"Lo tau gak, ini apa?" Dia memberi jeda. "Ini tuh semacam wadah untuk ngeluarin isi hati dalem bentuk notes kecil. Lo bisa buat notes untuk seseorang dan tulis namanya. Dia gak bakalan pernah tau kalau lo yang ngirimin notes ini buat dia."

Aku tersenyum. Situs yang bernama unsent project itu pun kupandangi lama. Aku bisa melihat ada banyak sekali notes yang orang-orang kirimi di dalamnya dalam warna kuning, merah muda, hitam, dan lain-lain.

Theo pun membuka notes baru, mengganti warna notes itu menjadi warna biru dan menuliskan isi dari pesan yang ingin dia kirim di situs itu.

To: Alena Retto
Jangan nangis lagi dong!

Aku terkekeh, melingkarkan tanganku di lengannya. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Untuk sesaat, aku merasa nyaman. Di sisi lain, aku merasa takut.

Aku menyadari satu hal, malam itu. Aku beruntung bertemu dengannya. Tak kusangka, keberuntungan itu sesederhana ini. Aku bertemu dengannya, bersamanya, lalu jatuh cinta kepadanya. Aku memiliki dia yang selalu di sampingku, menjagaku, meskipun hubungan ini semu, tapi aku tetap merasakan manis dari perlakuannya dan kehangatan yang tak bisa kutemukan dimanapun.

"I'm so lucky to meet you," kataku, pelan. "So lucky. It's hurt."

Aku benar-benar senang bertemu dengannya, sampai-sampai rasanya jadi menyakitkan. Besok, dia bukan lagi milikku. Kenyataan itu menyakitkan. Semuanya menyakitkan.

Dia tersenyum, mencium dahiku. "Gue yang lebih beruntung bisa ketemu sama lo."

Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang