Aku masih mengingat bagaimana suasana dari segalanya, siang itu. Suasana hatiku, suasana kafe itu, dan suasana hatinya. Pada pukul dua siang, kafe yang dikepung oleh hujan lebat itu adalah saksi dari pertemuan pertama kami. Kafe yang mendekap dinginnya hatinya, birunya hatiku, dan hangatnya cangkir jingga yang kupegang.
Aku adalah putri pertama dari tiga bersaudara yang seluruhnya adalah perempuan. Aku adalah mahasiswa seni. Kedua orang tuaku adalah dokter, kedua adikku pun pastinya akan diarahkan ke fakultas kedokteran. Awalnya, aku pun diminta untuk masuk ke fakultas kedokteran, tapi aku melakukan banyak hal untuk menolak permintaan itu. Bahkan, aku sempat hengkang dari rumah selama tiga bulan karena aku mendaftarkan diri ke jurusan seni dan tak mendengarkan permintaan mereka.
Aku tak terlalu mengerti mengenai apa yang dipikirkan oleh pasangan dokter itu. Apakah mereka ingin menciptakan sebuah keluarga yang isinya hanya berjas putih dan stetoskop yang melingkar di leher? Dari dulu, seni adalah tujuanku. Lukisan, grafis, estetika, dan komponen lainnya yang berhubungan dengan seni adalah favoritku. Aku bahkan sudah merencanakan banyak hal yang berkaitan dengan seni untuk masa depanku.
Aku merasa hidupku bukan untuk melakukan anamnesis, serta melayani dan tersenyum ramah kepada pasien. Sebagian orang mungkin tertarik untuk memberikan jasa dan mengobati banyak orang, tapi bagiku, hidupku terasa lebih berwarna jika jemariku menumpahkan cat warna di kanvas putih dan menciptakan sebuah lukisan. Ketika aku sedih, marah, jatuh cinta, dan merasakan emosi lainnya, kanvas dan cat warna adalah wadah yang akan selalu menampung isi hatiku.
Kupikir, drama dari keluarga dokter ini sudah berakhir. Namun, kedua orang tuaku berulah lagi. Mereka mencarikan jodoh yang berprofesi sebagai dokter untukku. Entahlah, jika kalian diapit oleh orang tua yang merupakan pasangan dokter, kalian pasti tau bagaimana rasanya jadi aku.
Lelaki itu bernama Romi. Dia empat tahun lebih tua daripada aku. Dia tak tampan, tapi dia berkarisma. Dia orang yang pintar. Sayangnya, aku tak menginginkannya. Sama sekali tidak. Aku juga tak mau mencoba untuk jatuh cinta padanya. Sekali tidak, selamanya tidak. Aku akan menikahi orang yang hatiku inginkan dari awal, bukan orang yang dipaksakan oleh orang tuaku untuk dinikahi.
"Kenapa lo gak sewa orang aja buat jadi pacar pura-pura?"
Ucapan dari teman dekatku malam itu adalah akar dari kisah ini. Temanku memberitahuku bahwa ada sebuah aplikasi penyewaan pacar pura-pura. Aku tertawa ketika dia memberitahuku mengenai hal itu, tapi menurutku, kenapa tidak kucoba saja? Setidaknya, aku hanya perlu memberitahu orang tuaku bahwa aku sudah memiliki pacar, jadi mereka tak perlu meminta Romi untuk datang ke rumahku setiap hari dan membuatku risih.
Meskipun ribet dan butuh waktu yang lama untuk memilih, akhirnya aku menjatuhkan pilihanku kepada satu lelaki. Namanya Theodore A. Nama yang aneh menurutku. Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran gigi, berat badan 69 kg, dan tinggi badan 179 cm.
Aku tak bisa melihat wajahnya, tapi aku tetap menjatuhkan pilihan kepadanya karena selain nama anehnya yang menyita perhatianku, dia adalah mahasiswa kedokteran, sesuai keinginan kedua orang tuaku. Aku pun tak mengerti, kenapa mahasiswa kedokteran sepertinya mencari uang dengan mengambil pekerjaan itu.
Aku tak bisa berkata-kata, siang itu. Dia datang memasuki kafe itu dan mengambil posisi di hadapanku dengan baju berwarna mustard yang ditutupi jaket hitam dan celana chino berwarna hitam. Rambutnya pun berwarna hitam legam, bermodel the bro flow.
Dia adalah lelaki yang sangat tampan dan aroma yang menyenangkan. Meskipun dia memandangku dengan tatapan tajam dan hal itu sedikit menyinggungku awalnya, tapi tatapan itu adalah ciri khas dari wajahnya sempurna dan aku tak bisa mengatakan apapun akan hal itu.
"Theo." Dia menyodorkan tangan kanannya yang dilingkari jam tangan berwarna hitam tersebut.
"Alena," Aku membalas sodoran tangannya. "Jadi, ehm… mungkin kita bakal awali pertemuan ini dengan kenalan satu sama lain?"
Dia mengangguk setuju.
Aku dan Theo mengobrol banyak, siang itu. Selain karena hujan yang mendekap kafe ini sehingga kami tak bisa pergi kemana-mana, aku juga menikmati obrolanku dengannya. Dia tampak dingin, tapi sebenarnya hangat. Dia bukan orang yang selalu tersenyum tiap kali berbicara, tapi sekalinya dia tersenyum, darahku berdesir. Dia orang yang sangat menarik.
Siang itu, aku tau beberapa hal mengenai dirinya. Dia menyukai warna biru, hewan kesukaannya adalah kucing, makanan kesukaannya adalah semur tahu. Aku mengetahui hal-hal itu bukan dari pertanyaanku seperti, "Warna kesukaan lo apa? Hewan kesukaan lo apa? Makanan kesukaan lo apa?" tidak seperti itu. Kami hanya mengobrol dan di sela obrolan itu, aku tak sengaja menangkap beberapa hal mengenai dirinya.
"Kita harus kerja dengan profesional dan gak boleh melibatkan perasaan. Gue punya kepentingan, lo juga punya kepentingan. Kita bakalan jadi sepasang kekasih serealistis mungkin, tapi setelah kontrak selesai, inget kalau hubungan ini gak nyata," kataku, menyodorkan tangan kananku ke arahnya. "Gimana?"
Dia tersenyum, membalas uluran tanganku. "Of course."
Hari itu, hari Minggu, pada tanggal 26 Desember, adalah hari pertama aku bertemu dengannya dan hari dimana aku berpacaran dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]
RomanceAlena, seorang perempuan seni itu memutuskan untuk merental 'pacar' agar lepas dari tuntutan keluarganya. Dia pun bertemu dengan Theo, seorang lelaki sempurna yang menjadikan hubungan semu mereka menjadi pengalaman yang pancarona. p.s • Pelangi Kel...