Chapter 15-end: Dekapan di Bawah Payung

150 30 10
                                    

Di sinilah aku kembali, di sebuah kursi bean bag dan permen tangkai rasa stroberi di tangan kananku. Kenangan itu masih menyakitkan bagiku dan aku pun masih selalu memikirkan Theo. Namun, sedikit dari setidaknya, aku sudah lebih merasa baikan dan tak larut dalam kesedihan lagi sejak kami berpisah.

Aku meraih ponselku. Di layar yang berwallpaper biru muda itu, aku dapat melihat satu notifikasi yang sedaritadi kutunggu.

Kak, bukunya udah jadi. Boleh diambil sekarang.

Aku pun bangkit dari posisiku, lalu meraih jaket yang kugantungkan di belakang pintu kamar. Pesan itu datang dari fotokopi di dekat kafe waktu itu. Aku mengantarkan buku yang ingin difotokopi tadi sore dan bilang kepada abangnya bahwa aku akan menjemputnya pada malam hari.

Belum sampai aku membuka pintu depan rumah, hujan deras tiba-tiba mengguyur permukaan kota ini. Aku sedikit bingung. Bukankah tadi langitnya cerah? Aku bahkan bisa melihat bintang dan bulan dengan jelas. Entahlah, hujan deras yang tidak memberikan aba-aba lewat gerimis ini biasanya memang tidak berlangsung lama, tapi terkadang cukup menyiksa dengan suhu dinginnya yang menusuk kulit.

Aku mengendarai mobilku menuju fotokopi tersebut. Fotokopi itu berada di sebuah toko kecil sehingga tak memungkinkan bagiku untuk parkir di depannya. Aku pun memarkirkan mobilku di depan kafe, lalu berjalan menggunakan payung untuk menangkis semua air hujan agar tak mengenaiku.

Aku tiba di fotokopi itu, akhirnya. Fotokopi itu sedikit ramai oleh anak muda, sepertinya anak sekolahan. Mungkin karena hari ini hari Minggu dan besok hari Senin. Aku pun memilih untuk menunggu di depan, duduk di bangku panjang berwarna putih. Aku tak ingin berdesakan, jadi lebih baik aku menunggu di luar sampai lebih sepi dan suasananya terasa lebih nyaman.

Aku tertegun ketika aku melihat sticky notes yang dijual di fotokopi tersebut. Sticky notes ini mengingatkanku kepada situs unsent project yang pernah Theo kenalkan kepadaku. Ah, ya, dia juga pernah menuliskanku satu notes malam itu, malam terakhir aku bersama dirinya.

Aku menyalakan layar ponselku, lalu membuka google chrome. Aku membuka situs unsent project itu, hanya sekedar ingin melihat berbagai emosi dan perasaan yang orang-orang tumpahkan di sana. Merah, ungu, biru, sticky notes yang beraneka warna itu adalah saksi dari isi hati orang-orang.

Jariku pun menyentuh search. Aku mengetik namaku di sana, berniat untuk membaca kembali notes yang Theo pernah kirim untukku, malam itu.

Hasil yang keluar membuatku kaget. Aku kaget sekali. Tak hanya ada satu, tapi ada banyak sekali notes untukku. Apakah ada banyak sekali orang bernama Alena Retto di dunia ini? Entahlah. Namun, setiap kalimat di notes itu seakan-akan dikirim oleh orang yang sama dan membentuk satu kesatuan jika digabungkan.

To: Alena Retto
Jangan nangis lagi dong!

To: Alena Retto
Lo lagi ngapain?

To: Alena Retto
Lo udah ga nangis lagi kan?

To: Alena Retto
Maaf ya, gue ga bisa tepatin kesepakatan kita waktu itu

To: Alena Retto
Gue suka sama lo Alena, maafin gue

To: Alena Retto
Gue gak bisa kerja profesional kaya yang kita sepakatin di kafe waktu itu

To: Alena Retto
Malam dimana gue bilang I love you waktu itu, gue bilang itu dengan jujur

Jantungku berdegup kencang. Aku tak bisa menahan perasaanku. Rasa senang, ragu, takut, semuanya bercampur aduk. Dia jelas-jelas juga merasakan apa yang kurasakan. Kami sama-sama berpikir bahwa kami hanya terlibat cinta bertepuk sebelah tangan, padahal sebenarnya saling mencintai.

Dari posisiku, aku semakin kaget ketika aku melihat payung warna-warni bergambar abstrak itu menyeberang di sebuah jalan. Aku bangkit dari posisiku. Jika aku tetap mematung dan tak menyusulnya, dia akan pergi lagi, seperti yang dia lakukan setelah senyum padaku di kafe itu.

Aku bangkit dari posisiku lalu berlari, meskipun rasanya kesulitan karena aku tengah membawa payung. Aku tak peduli dengan apa yang akan orang katakan, aku harus meraih tangan itu dan memberitahunya mengenai perasaanku.

Theo sedikit kaget ketika dia merasa tangannya ditarik dari belakang. Napasku sedikit memburu karena berlari mengejarnya, tapi semuanya harus kutuntaskan malam ini juga.

"Alena?" Dia melebarkan matanya, tak percaya. "Lo ngapain di sini?"

Kami berdiri di depan sebuah toko pernak-pernik, yang masih belum jauh dari kafe dan fotokopi. Di luar ini sepi kecuali mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalanan. Maksudku, tentu saja, orang-orang pastinya lebih memilih untuk berada di bawah atap di cuaca seburuk ini.

"I love you, Yo," kataku, kedua mataku berkaca-kaca, masih menarik tangannya. "I've totally fallen for you."

Dia menatapku kaget, tak percaya.

"Gue gak bisa lupain lo," kataku lagi. "Entahlah, mungkin gue bisa, tapi gue gak mau."

Dia meraihku menuju pelukannya. Payungku jatuh, sekarang aku berada di bawah payungnya yang penuh oleh lukisan abstrak hasil karyaku.

"I love you more," balasnya, mempererat pelukannya. Pelukannya kali ini berbeda. Pelukan ini terasa seperti dia takkan membiarkanku kemana-mana selain berada di sisinya. "More, more, more than anything."

Malam itu, seakan-akan isi langit, bintang dan bulan turun untuk mendekapku. Mungkin, itulah kenapa hujan tiba-tiba menghujam kota ini. Aku dan Theo pun duduk di kafe yang akan selalu jadi tempat nostalgia akan apapun bagi kami, membicarakan banyak hal. Mengenai duniaku yang abu-abu sejak dia pergi, hari yang terasa lebih panjang saat dia tak ada, mengenai dia yang menjadi warna-warni duniaku selama dua bulan terakhir, serta aku yang mengetahui isi dari notesnya di unsent project itu.

Dia bercerita bahwa pendapatan perusahaan dari ayahnya mulai membaik sehingga dia sudah tak lagi mengambil pekerjaan menjadi kekasih pura-pura. Dia akan terus di sini, bersamaku, dan hanya akan menjadi milikku.

Sekarang aku tau, kenapa selama bersamanya, kota ini selalu dirundung oleh musim hujan. Semesta memberikan hujan, tapi pelangi kini berada bersamaku, hanya menjadi milikku. Kalian tau, keistimewaan pelangi adalah kecantikan dari warna-warninya. Namun, pelangi milikku tak hanya menghiasi duniaku dengan warna-warninya. Dia juga berkelap-kelip cantik, menyinari langitku.

---------------------------------

written by sf

Pelangi Kelap Kelip,
24 Jan 2022,
end.

Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang