Chapter 14: Senyumanmu Sebelum Meninggalkan Kafe Waktu Itu

79 19 0
                                    

Aku berkali-kali ke kafe tempat aku dan Theo pertama kali bertemu. Selain karena menyukai cokelatnya yang enak, aku pun hanya ingin mengobati kerinduanku kepada Theo dengan duduk di meja yang pernah selalu duduki tiap kali ke sana.

Perasaan yang sering kurasakan sejak dia tak lagi bersamaku adalah perasaan khawatir. Akhirnya, aku mengerti maksud ucapannya pada malam itu, setelah perkelahian kami di pasar malam. Rasa khawatir itu buruk dan menyakitkan. Aku sangat tak menyukai perasaan itu.

Aku khawatir akan segala hal tentangnya. Akibat kepalaku yang terus memikirkannya, aku pun merasakan emosi dan perasaan yang bermacam-macam. Aku khawatir, apakah dia baik-baik saja? Apakah kuliahnya lancar? Apakah Ayah, Ibu, dan Caca sehat? Apakah cuaca yang sedikit buruk di luar ini membuatnya sakit? Karena dia pernah bilang, dia adalah orang yang mudah terkena flu.

Aku juga sempat membaca berita mengenai universitasnya yang sedang naik mengenai tindak kekerasan yang dilayangkan oleh kakak tingkat. Apakah dia baik-baik saja? Dia tidak terlibat, bukan?

Aku memikirkan segala hal mengenainya terlalu jauh. Malam itu, pada perkelahian di pasar malam waktu itu, aku bilang kepada Theo bahwa dia hanya berlebihan dan pikiran superiornya berpikir terlalu jauh. Namun, lihatlah, aku pun melakukan hal yang sama. Aku berpikir terlalu jauh, lalu merasa khawatir. Kalian tau, definisi dari mencari penyakit. Itulah yang kulakukan.

Theo pernah bilang bahwa dia bisa berpikir sejauh itu karena aku penting untuknya. Aku tak tau pernyataan itu nyata atau tidak. Aku selalu berpikir bahwa kami tengah berada di sebuah panggung sandiwara dan harus berperilaku senatural mungkin sebagai sepasang kekasih. Jadi, setiap perlakuan manisnya hanya kuanggap sebagai dialog yang harus dia berikan demi kelancaran jalan cerita, meskipun aku tetap jatuh ke sebuah jurang perasaanku sendiri dan menderita sampai sekarang.

Namun, aku setuju dengannya. Dia benar. Aku berpikir jauh dan mengkhawatirkannya karena dia memang penting untukku.

Rasa rinduku sedikit pecah di suatu sore. Aku memilih untuk membawa laptop dan tugasku ke kafe itu. Kafe itu memang tak terlalu terkenal dan tak pernah ramai, jadi tak banyak pelanggan di kafe itu, sore itu. Rata-rata juga adalah anak muda dan berkutat di depan laptop mereka, mengerjakan sesuatu sama sepertiku.

Sampai akhirnya, pandanganku tak sengaja jatuh ke arah kasir. Sepasang mata sudah melihat ke arahku terlebih dahulu, memperhatikanku dengan senyuman terukir di bibir tipisnya. Dia mengenakan jaket hitam yang pernah kupakai ketika kami pergi ke pasar malam. Dia juga mengenakan topi hitam. Dia melemparkan senyuman lebih lebar ketika dia sadar aku membalas pandangannya.

Aku mematung di posisiku. Lidahku kelu. Aku tak tau harus melakukan apa. Jadi, aku hanya diam sampai akhirnya Theo melambai kecil ke arahku dan berlalu meninggalkan kafe itu dengan cokelat hangat yang dia pesan. Cokelat hangat yang sama dengan milikku, favorit kami berdua.

Perasaanku campur aduk. Aku terkejut dan tak menyangka aku bisa bertemu dengannya dengan pertemuan sesingkat itu. Aku sangat merindukannya, tapi aku pun tak sanggup berjalan ke arahnya dan memberitahu hal itu.

Dia tampak baik-baik saja. Di cuaca yang buruk dan dingin ini, dia mengenakan jaket, seperti yang pernah kuminta. Dia, cara berjalannya, caranya melambaikan tangannya ke arahku, secara tak langsung memberitahu bahwa sedikit dari setidaknya, dia baik-baik saja.

Jika aku jadi dia pun, aku juga akan tampak baik-baik saja dari luar. Namun, siapa tau dengan apa yang terjadi di dalam? Aku hancur di dalam. Hubungan selama dua bulan itu memang singkat, tapi aku tak tau berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk melupakannya. Terkadang, hubungan yang singkat justru mendatangkan usaha melupakan yang lebih sulit. Semuanya kian memberat karena kami berpisah di saat hubungan itu sempurna.

Setidaknya, senyumannya di kafe yang kulihat hari itu membuat kekhawatiranku sedikit berkurang, entah kenapa. Aku yakin dia baik-baik saja, meskipun senyuman itu takkan bisa mengobati kerinduanku untuk kebersamaan kami berdua.

Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang