PROLOG | Gak Murah.
"Thanks banget! Gue gak tahu harus berterima kasih macam mana, but thank u, thank u. Semoga judul gue diacc kali ini."
Aku tersenyum lebar sedikit memberikan dia semangat lewat senyumku. Well, aku tahu kalau dia sedikit tertekan dan lelah, perkara judulnya yang terus-terusan ditolak. Nasibnya yang kurang beruntung, karena harus dealing dengan dosen yang banyak mau. Bagi mahasiswa akhir memang sangat sudah gak asing kan dengan tantangan ini?
"It's my card," dia meletakkan credit cardnya tepat di depanku. "Beli apapun yang lo mau pake card gue. Gue gak mau yah lo beli yang murah."
Aku tertawa kecil ketika dia mensinisiku. Aku tahu kalau dia sedang mewanti-wantiku untuk benar-benar membeli the expensive one.
"Don't worry. Jaga jantung lo baik-baik. Jangan minta gue tanggung jawab kalau lo tiba-tiba serangan jantung mendadak sambil pelototin sms banking lo."
Nilko berdecak memasukan laptop mahalnya itu ke dalam backpacknya lalu berdiri. "Awas aja kalau gue gak sampai shock liat SMS banking gue entar. Malam-malam setelah ketemu dosen, gue jabanin recokin lo."
"Iya-iya, ribet lo," kataku pada akhirnya sedikit menyiratkan untuk mengusirnya.
Aku tertawa kecil meraih card credit Nilko yang ditinggalkan begitu saja. Kuakui Nilko itu memang the rich one. Walau tak kenal-kenal amat, aku tahu pasti kalau Nilko itu tidak kikir dan malah terkesan sangat-sangat murah dompet. Kutahu setelah mendengar bisik-bisik teman kelasku sih.
Tapi bukan sekedar bisik-bisik, dong. Aku dan Nilko beberapa kali disatukan dalam satu project tugas yang mengharuskan aku dan dia harus bekerja sama bahkan beberapa kali jalan bersama. Dan, aku berani bersumpah kalau dia sangat gampang mengeluarkan uang.
Dari yang dia bilang, kalau tak salah dia memang berasal dari keluarga kalangan atas. Orang tuanya banyak uang dan dia adalah anak tunggal. "Anggap aja lo lagi bantuin gue. Gue kaya, gak tahu lah gimana cara habisin uang bulanan gue," katanya saat beberapa kali kulayangkan tolakan untuk traktirannya. Catat~ bukan nolak seriusan, hanya formalitas menghadapi orang yang baru kenal dan tentunya biar materialisme yang merupakan sifat bawahanku agak tercover.
Dan aku selalu tertawa lebar dalam hati merutuki Nilko yang entah sedang nyombong atau mengejekku. Honestly, jiwa miskinku tercubit keras dan ngebuat aku harus menahan diri ekstra agar gak melayangkan pukulan telakku ke kepalanya itu. Dasar orang kaya!
"Kak, sorry. Iced americano satu yah, satuin sama pesanan dia."
Aku tersentak kaget dan hampir jatuh ngusep lantai dan mempermalukan diri kalau-kalau dia tidak menangkap pinggangku.
Orang kaya sialan ini!
"Sorry. Gue gak expect lo sampai sekaget ini."
Rasa-rasanya aku ingin mendamprat muka polos Nilko yang sedang tercengir lebar ini. Kuakui aku cepat kaget. Aku gak tahu kalau dia tahu itu atau gak. Tapi, harus banget kah tiba-tiba muncul dan tanpa blak-blakan menyapaku, atau at least menepuk pundakku untuk dipesankan sekalian? Sadar diri kok aku tuh! Ini card lo!
Aku menyodorkan iced americano kepada Nilko beserta cardnya sembari memegang sendiri grapefruit ade punyaku yang kubeli menggunakan card Nilko. Mataku menajam melayangkan kekesalanku yang dibalas senyuman paling manis punya dia. Sialan! Aku gak bohong kalau Nilko ini memang semanis itu sih.
"Maaf sih. Gak maksud, serius."
"Yaudah sih," kataku melunak, gak tahan melihat dia harus tersenyum seperti itu untuk waktu yang lama. Aku gampang kegoda, soalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sure To Count On You
Romantizm(Adult • Fiction • Romance) Gelbika bukannya cuek apalagi pendiam, dia hanya tidak tahu berinteraksi dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengira-ngira. Selama ini ia terlalu lama terkurung dalam perasaan tidak membutuhkan siapapun. Albian ten...