"Aku tidak menyalahkan fajar yang telah memberiku kebahagiaan, atau kepada senja yang telah membawanya pergi."
.
.
."Nak ... kamu kenapa sayang? Buka pintunya." Sudah satu jam Ibu datang dan pergi di depan pintu kamarku dan mengulang pertanyaan yang sama. Namun, aku tetap enggan keluar, dadaku rasanya masih sesak sekali.
Satu jam yang lalu aku tiba di rumah dengan taksi. Mataku sudah sembab karena terus-terusan menangis. Sampai di rumah aku langsung masuk kamar dan membanting pintu dengan keras dan tidak menghiraukan Ibu yang menatapku heran di teras rumah.
Ratusan notifikasi dan panggilan masuk terus-terusan menggangguku. Aku benar-benar kesal. Akhirnya aku memblokir Mas Dirga dari semua media sosial yang aku punya. Jika Mas Dirga memang serius ingin menjelaskan, kenapa tidak menyusulku pulang lalu berbicara langsung? Ini bahkan sudah satu jam berlalu, dan dia tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Aku melepas dengan kasar kalung pemberiannya yang baru bertengger seharian di leherku, memasukkannya paksa ke dalam kotak dan menaruhnya di laci paling dalam. Boneka beruang yang tak bersalah itu juga menjadi sasaran kemarahanku. Belum genap sehari, bahkan belum aku sentuh sama sekali, boneka beruang itu kusimpan di atas lemari.
Hari bahagiaku hancur seketika hanya gara-gara sesuatu yang mungkin belum pasti kebenarannya. Sekeras apapun otakku mencoba berpikir positif, namun hatiku tetap tidak bisa menerima. "Siapa wanita itu?". Hanya itu yang mampu aku pikirkan sejak kejadian di dermaga tadi. Meski sebenarnya, sisi lain hatiku mengatakan bahwa Mas Dirga bukan tipe laki-laki yang suka bermain-main. Apalagi di tempat umum, apalagi saat itu dia masih bersamaku.
"Aaaakhhhh!!! Gatau ... gatauu ... gatauuuu ... gamau tauu!!!" Aku membanting bantalku untuk kesekian kalinya sebelum akhirnya aku tertidur karena kelelahan.
***
"Nak ... bangun, udah siang, kamu harus sekolah. Kevin udah nungguin tuh di luar."
Sontak aku terkejut mendengar sayup-sayup Ibu mengetuk dari luar kamar. Aku mengucek mataku perlahan, dan melirik ke jam tangan yang belum aku lepas. Masih pukul 06.00. Aku menghembuskan nafas kasar, lalu mengecek ponsel dan menatap malas pada ratusan notifikasi yang masuk tepat sebelum aku memblokir kontaknya.
"Nggak ada niat ke rumah ya Mas? Oke nggak papa, jangan harap aku maafin kamu!!!" Pagi itu aku mulai hari dengan memarahi habis-habisan foto Mas Dirga yang terpampang di layar ponsel. Aku masih berharap kita bisa baik-baik saja setelah apa yang terjadi, karena jujur hatiku masih belum ikhlas meski saat itu aku yang berkata ingin putus.
Aku berjalan malas ke kamar mandi dan mempercepat rutinitasku mengingat Kevin sudah menunggu. Setelah mempersiapkan jadwal dan mengikat rambut, aku menghampiri Kevin yang sedang membaca koran di teras rumah.
"Hey, gaya banget Lo baca koran," ujarku seraya duduk dan mengikat tali sepatu.
"Eh, jangan salah, gini-gini gue rajin ye."
"Loh Mel, itu mata kenapa? Nangisin apa sampe bengkak gitu?"
"Gapapa ..."
"Gue serius jawab yang bener, Lo kenapa?"
"Ihh gue gapapa Kevin!!"
"Jawab ga!!! Atau gue gampar ni!!!"
"Dih jahat ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Tunggu Kau di Ujung Dermaga
RomanceRank : #1 on #pelaut 20 Okt 2018 Camelia melabuhkan cinta pertamanya pada seorang pelaut. Sosok yang mampu membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali, namun juga memberikan luka pertama yang akan selalu membekas di hatinya. Kehadiran sahabatnya perla...