12-Maaf

147 6 2
                                    

"Lebih baik terluka karena belajar bersikap dewasa, daripada berpura-pura namun pada akhirnya sama-sama kecewa."

***

Kami saling bertatapan untuk beberapa saat. Randi tidak beranjak dari posisinya, begitu juga aku dan Kevin. Dari sorot matanya kulihat ada kecemburuan di sana. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya berharap ketegangan ini segera berlalu.

"Ehm ... anu ... kenalin, gue Kevin, sahabatnya Amel," ujar Kevin dengan sedikit gugup. Dia mengulurkan tangannya dan berharap dapat sambutan baik.

"Gue Randi." Dia menjabat tangan Kevin sekilas, dan setelah itu dia memalingkan wajahnya. Ekspresinya sungguh tidak enak dilihat.

"Gue tadi ke rumah Lo, Mel."

"Ehm ... anu, tadi Kevin mau nganter. Maaf, gue nggak tau kalo Lo mau ke rumah." Aku menunduk, memainkan ujung kakiku ke lantai—gelisah.

"Gue pergi dulu ya Mel," ujarnya seraya menepuk pelan bahuku. Aku tahu, Kevin tidak ingin suasana tegang ini terus berlanjut, karena itulah dia memutuskan untuk pergi.

"Nitip Amel ya Bro ..." Randi hanya menatap tajam mata Kevin yang berlalu dihadapannya. Sebenernya aku tidak suka dengan sikap Randi yang sangat tidak bersahabat, lagipula untuk apa aku merasa tidak enak, toh dia pun bukan siapa-siapa bagiku.

"Makasih Kevin!!!" Kevin pun hanya melambaikan tangannya tanpa berbalik.

***

Setelah kepergian Kevin, kita kembali terdiam. Tidak ada suara, yang ada hanya hembusan nafas kami masing-masing. Sebenarnya apa yang salah? Apa aku telah melakukan kesalahan?

Aku menghembuskan nafas berat. Setelah kupikir-pikir, Randi sepertinya memang benar-benar sedang cemburu. Kuputuskan untuk beranjak dan meninggalkannya karena aku benar-benar kecewa dengan sikapnya.

Aku melangkah dengan tertatih menahan perih di telapak kakiku. Kulihat Randi seperti ingin membantu, namun sepertinya dia bingung dan salah tingkah sendiri.

***

"Mel ..."

"Hmm ..." Aku meletakkan tas dan mencoba duduk dengan tenang. Randi menghampiriku dan duduk di sebelahku.

"Maaf ..."

"Kenapa?"

"Soal tadi ... gue ..."

Aku pun habis kesabaran. "Randi!! gue tau Lo peduli sama gue. Tapi Lo jangan kayak tadi dong, Kevin itu sahabat gue dari dulu. Emang salah ya dia nganterin gue? Masih mending kalo Lo dateng, kalo enggak? Siapa yang mau nganterin gue? Kalo Lo ngehargai gue, hargai juga dong sahabat gue!!" Aku berkata dengan penuh emosi, sedangkan Randi hanya menunduk.

"Iya, gue tau gue salah. Tadi gue lagi kesel aja Mel, niat gue mau bantuin Lo, tapi ternyata udah ada orang lain ..."

"Ran ... Lo itu kan pernah jadi ketua OSIS, tapi cuma karena hal sepele kayak gini aja Lo marah. Harusnya Lo itu bisa lebih bijaksana tau nggak?"

"Gue ... gue kayak gitu karena gue ..." Aku seperti menangkap hal apa yang akan dibicakan oleh Randi, dan itu membuat jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Aku benar-benar belum siap jika harus mendengar pengakuannya.

Ku Tunggu Kau di Ujung DermagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang