06 : Ujung Sebuah Penantian

45 16 73
                                    

Sungai mendesis halus bersamaan angin memanjakan daksa. Ikan timbul dari air hanya ingin melihat tampilan mereka, burung tampak mengiri tarian klasik bernuansa natural. Sungguh momen yang sangat disukai gadis kecil pencinta alam. Tawanya memancarkan harapan, senyumnya menggambarkan arti kehidupan. Perpaduan antara sikap dan hati, membuat Anuj terpukau kagum.

"Syukurlah kau tertawa. Tunggu, aku ada sesuatu untukmu. Ayo cepat!" Dia menggenggam lengan Aanchi untuk dibawa menuju sisi Barat sungai. "Lihatlah, ini hadiah untukmu!" lanjutnya.

Pohon rindang berselimut hewan bersayap yang tengah berteduh, terkesan alami dan menakjubkan. Hal ini yang membuat Anuj menganggapnya istimewa.

"Apa kau akan menebangnya?" tanya Aanchi polos.

Anuj menggeleng pelan. "Tidak. Ayo, kita tulis nama kita di pohon ini! Jika kita berpisah dan bertemu kembali, kita akan berjumpa di sini. Aku yakin, jika itu terjadi, takdir pasti akan memberikan kebahagiaan kedua pada kita."

Gadis kecil itu sulit mempercayai. Sosok yang begitu asing, seperti seseorang yang telah lama dia kenal. Hubungan istimewa langsung terbentuk sejak tangan saling menaut, ketika senyum saling menyapa, serta tingkahnya membawa tawa. "Sebenarnya namaku Aanchi, bukan Titli. Setelah bertemu dengan teman sepertimu, aku merasakan kenyamanan."

Tiada amarah terlihat, bocah lelaki itu malah tersenyum. "Namamu sangat indah. Tenang saja, aku tidak marah padamu."

"Terima kasih, Anuj," balasnya ramah.

"Terima kasih kembali. Aku dapat memahaminya. Kau pasti takut jika orang asing mendatangimu, iya, 'kan?" Dia mereka, atau memang itu sebuah pengalaman pribadi.

"Ya, seperti itu perasaanku. Tapi setelah bertemu denganmu, aku merasa mempunyai teman selain mereka." Aanchi berkata tulus. Memang, hanya satwa hutan yang mau berteman dengannya, setelah ejekkan tidak mengenakan dari warga desa, dirinya lebih menyukai berkeliaran dalam hutan.

Anuj tidak ingin ada air mata tergenang. Untuk membuatnya merasa lebih baik, bocah lelaki itu meminta sesuatu padanya. "Aanchi, kemarikan tanganmu!"

"Ada apa?" tanya Aanchi.

Bocah lelaki itu langsung mengapit lengan Aanchi, kemudian melingkarkan sebuah benda di pergelangan tangannya. "Ini adalah jamku. Rawat dia, ya? Setiap kau menungguku, lihat saja jam ini. Maka, aku pasti akan kembali."

Mereka mengambil batu berujung runcing, lalu menggoresnya pada batang pohon untuk mengukir suatu tulisan spesial, 'A&A'. Janji diikrarkan dalam lantunan lagu berlarik cinta. Namun, seperti di skenario kehidupan, adakalanya perpisahan harus terjadi.

"Rupanya kau di sini, anak nakal! Ayo, pulang!" Pria jakun berlengkap senapan aktif menciptakan jarak kian terbentang saat dia menarik lengan anaknya menjauh. Namun, tautan tangan mereka tidak kunjung lepas.

"Ayah, ajak dia ke rumah kita, aku tidak mempunyai teman selain dia," pinta Anuj mencoba bertahan lebih lama.

Anil menentang, "Anuj! Jangan pernah berbicara pada orang asing! Lepaskan tangan anakku! Ayo, pulang!"

"Ayah! Aku tidak mau pulang! Ajak dia!"

"Cepat pulang dan kita tidak akan pernah kembali ke sini!"

***

"Aku terdiam, tidak bisa merayu lintas waktu untuk memperpanjang momen. Aku hanya menunggunya sampai takdir mempertemukan kita kembali. Dengan melihat jam ini, berharap dia datang. Namun, aku salah." Gadis itu mengeluarkan benda istimewa, kemudian memandangnya dengan senyum hampa.

"Hei, jamku masih ada padamu?" Anuj mengerjap kagum. Tidak perlu diragukan lagi seberapa besar kesetiaan Aanchi pada seseorang.

Aanchi melempar senyum mesra. "Ya, Bunny. Kau memberikanku hadiah terindah. Sampai kapan pun aku akan menjaganya untuk melupakan duka walau sejenak."

Takdir Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang