21 : Jabatan untuk Kesetiaan

5 5 0
                                    

Ungkapan kasar menjadi senjata, persaingan menjadi daya intrik cerita kontemporer. Sementara kantor menjadi medan perang suatu perselisihan. Berkat kecerdikan dan ketelitiannya, kantor terselamatkan dari kerugian. Bila Aanchi tidak mencegat di waktu yang salah, Anahita akan membawa dampak pada perusahaan.

Selepas jam kantor, Aanchi terburu-buru berjalan untuk segera menghamburkan pelukan pada Anuj. Sama seperti dirinya dulu, Anuj pasti menanti kepulangannya. Namun, di pertigaan jalan, sebuah mobil hitam menghadang dan membuat gadis alam mengunci pergerakan. Wanita asing berkacamata hitam turun dari mobil dan memaksa Aanchi untuk masuk.

"Penjaga! Tangkap dia! Bawa dia ke mobil," titah wanita misterius itu.

"Si-siapa kau?!" pekik Aanchi mencoba melonggarkan ikatan. "Kalian pasti suruhan Anahita! Lepaskan aku!"

Teriakannya dihiraukan, segala pertanyaan pun mengendap dalam hati. Aanchi mencoba melawan, tetapi beberapa pria bertubuh kekar membawanya pada wanita itu. Belum ada jawaban mengenai alasan di balik penyekapan ini. Namun, satu hal yang jelas ... pandangan wanita itu menghunus pada kalung yang dikenakan Aanchi.

"Kalung itu ...." Wanita itu memerhatikan setiap detail benda bermanik hati emas tersebut yang merupakan salah satu peninggalan milik ibu Aanchi.

"Kau Aanchali, 'kan?" tanya wanita itu seraya melepas kacamata hitam.

Aanchi memandangnya waswas, memang sulit untuk mengetahui niat asli orang Delhi walau sebatas mata memandang. "Hei, sebenarnya siapa kalian?! Apa mau kalian?! Uang atau perusahaan?"

Wanita itu menggenggam tangan Aanchi, mengisyaratkan untuk tidak panik. Tidak disangka, dia tiba-tiba mengecup kening Aanchi, begitu hangat dan mesra.

Gadis alam mengerutkan kening, heran. "Siapa Anda, Nyonya?"

Dia terkekeh kecil seraya mengusap ujung netra yang mengeluarkan air mata. "Maafkan dramaku ini, Nak. Apa kau melupakan kerabatmu sendiri? Ibumu bernama Sangeeta, bukan? Aku kerabatnya, Kumari Shavdaan."

Gadis itu belum sepenuhnya percaya, bisa saja wanita tersebut adalah anak buah Anahita yang memakai topeng. "Bibi Kumari? Tapi, apa seperti ini menyambut seseorang?"

Wanita itu kembali tergelak. "Kau boleh menghukumku nanti. Apakah kau mengingatku? Kau dulu selalu minta rambutmu dikepang padaku. Hal itu selalu membuat bibi merasa ingin selalu tertawa."

Hari-hari menyenangkan itu, tepatnya sebelum kutukan tercipta ... Aanchi bahkan hampir melupakan kenangan itu bila adik dari ayahnya tidak berada di depannya saat ini. "Bibi!" Aanchi mendekapnya tiba-tiba, setelah sekian lama bagian yang hilang telah tersusun pada puzzle kosong.

Kumari memejamkan mata. Menikmati setiap detik yang terlewat untuk menambal jutaan detik yang telah lenyap. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau tidak mengingatku? Lihat tanda ini!" Dia menyingkap lengan kemeja, memperlihatkan goresan samar yang ada berkat kenakalan Aanchi dulu.

"Ya, ampun, Bibi. Sudah enam belas tahun lalu. Aku bekerja di sini. Kenapa dulu Bibi pergi dari Jamnagar?" tanya Aanchi mendadak serius.

"Nak, bibi tidak tahan dengan kelakuan suami bibi dulu. Akhirnya bibi pulang ke Delhi dan sekarang menjadi menteri," jawabnya jujur.

Aanchi menyipitkan mata. "Darimana Bibi tahu aku Aanchi? Bahkan aku tidak mengenali Bibi."

Dia tersenyum simpul seraya menunjuk benda berbandul hati yang Aanchi kenakan. "Kalung itu, aku mengenalinya. Dan wajahmu persis seperti ibumu. Dia dulu adalah teman juga kakak ipar yang baik. Apa yang terjadi dengan Sangeeta dan Kumar?"

"Ayah dan ibu meninggal saat usiaku enam tahun. Hingga sekarang yang menemaniku bibi Radha saja," jawab Aanchi sedikit bernostalgia.

Kumari memeluknya kembali. Dia pula teringin mencicipi duka yang dialami gadis alam. "Bibi Radha, juga Rashima. Iya, 'kan?"

Takdir Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang