18 : Kisah Manis Di Masa Lalu

16 5 10
                                    

Senja melahap kanvas semesta, menyisakan kehangatan yang dirasai daksa dan atma. Gadis alam merenung, memandang kerikil taman tanpa ada niatan. Bahkan setelah takdir mempertemukannya dengan Anuj, dia masih harus menunggu lebih lama saat jam kantor belum juga usai.

"Halo, calon Nyonya Anuj. Kau sedang apa di sini?" sambut Anuj dengan ceria.

"Hanya menunggumu saja. Memangnya kantor selama itu? Delapan jam aku hanya memasak layaknya istri ideal. Aku merindukanmu, Anuj," keluh Aanchi memanyunkan bibir.

Anuj memegang bahunya, mengangkat kepala Aanchi kemudian, terkunci sudah pandangan mereka. "Uh, Sayang. Bagaimana kalau kita masuk dan kita akan bersama malam ini? Maksudku, kita mengobrol masa lalu atau kau ingin jalan-jalan sekarang?"

Tanpa gairah, Aanchi membalas, "Kau bergegas mandi saja. Aku sudah menyiapkan makanan dan kau harus menghabiskannya apa pun rasanya."

Sikap Aanchi satu ini membuat Anuj gemas sendiri. Pemuda itu lantas mencubit pipinya pelan. "Baiklah, Nyonya. Ayo, Ratuku, kita masuk!"

Senyum kembali terlintas di wajah Aanchi. Rayuan Anuj selalu berhasil padanya, bibirnya sulit menolak kata-kata manis tersebut dan secara otomatis senyum hadir tanpa diundang. Hati yang gundah pun terenyahkan saat pemuda beriris cokelat menata balkon kamar menjadi tempat romantis untuk mengutarakan perasaan.

Aanchi mengamati sekitar, bingung. "Anuj, apakah ibu dan ayah akan pulang?"

"Tenang saja, mereka sedang beromansa layaknya kita dulu," jawabnya mengambil satu sendok suapan. Anuj memandangi Aanchi yang tengah menikmati momen. Ada rasa ketidakpercayaan saat takdir telah mempertemukannya kembali dengan gadis alam. "Hei, apa kau masih ingat, kau dulu menangis saat hampir digigit ular di hutan?"

Aanchi spontan tertawa. Dia menolak percaya, tentu saja kejadian sebenarnya bukanlah seperti itu. "Anuj, yang menangis itu kau. Saat kau pertama kali di hutan dan aku bersuara seperti harimau, kau ketakutan. Esoknya kau datang lagi ke hutan bersama ayahmu."

***

Silir angin memberi sejuk bernada candu. Para satwa terlihat menikmati suguhan alam berupa tempat naungan dan tempat berbagi perasaan. Dikerumuni semak, rentetan pohon menjadi objek sempurna untuk bersembunyi. Anuj mengunci mulut dan pergerakan, tidak teringin si pencari mengetahui keberadaannya.

"Satu, dua, tiga. Siap atau tidak aku akan datang!" Aanchi menelusuri hutan tanpa menimbulkan suara walau gerisik daun kering yang terinjak sulit untuk ditutupi.

"Anuj, di mana kau?" Gadis kecil itu terlihat cemas. Mengingat permainan petak umpet dilakukan sepuluh menit lalu, tetapi tidak ada satupun tanda-tanda keberadaan Anuj.

Dia mendengar sesuatu. Suara isakan berasal dari semak belukar dekat pohon berbatang gemuk. Gadis itu menghampiri dengan lari kecil. Suaranya kian mengeras saat ular bersisik hijau hendak menjadikannya mangsa.

"Ssttt ...." Aanchi kecil memberi isyarat agar Anuj tidak panik. Dengan berani gadis kecil itu memegang kepala ular dan membuatnya tidak berdaya. Tidak bermaksud menyakiti, dia membuang ular tersebut ke habitat sebenarnya.

Aanchi berjongkok untuk menenangkan Anuj yang terpojok di pohon seraya membenamkan kepala, takut. Bahkan tubuhnya sampai bergetar. "Sttt ... Anuj, tenanglah. Buka matamu! Ini aku  Aanchi."

"Tidak! Itu ada ular!" Anuj yang masih menutup mata, semakin memojokkan diri. Sepertinya dia masih dibaluti trauma yang mengancam nyawanya.

Takdir Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang