Suara derit pintu berhasil membangunkan Arkana yang tak sengaja tertidur di sofa ruang tamu, anak itu sedang menunggu salah satu kakaknya pulang. Ini hari jumat, namun ketiga kakaknya tak satupun yang memilih untuk segera pulang padahal esok sudah masuk akhir pekan yang mana mereka akan kembali pergi entah kemana seperti minggu-minggu sebelumnya. Dan ketika menemukan Kaamil yang pulang lebih dulu, anak itu tersenyum menyambutnya.
"Nungguin abang?" tanya Kaamil dengan suara lirih, kentara sekali bahwa ia sudah lelah dan ingin segera membaringkan diri, namun sebuah senyum kecil dan sedikit rasa terpaksa muncul kala Kaamil mengambil langkah untuk menghampiri Arka.
"Iya. Abang udah makan? Arka masak soto ayam, udah Arka siapin buat Abang," jelas Arka yang membuat Kaamil mengangguk kecil sembari melangkah menuju ruang makan. Dan betul saja, meja makan telah tertata rapi, menunggu sisa penghuni rumah Nawasena untuk segera menyantap makan malam.
"Arka sama adek udah makan duluan, Bang. Maaf gak nunggu Abang."
"Gak apa-apa dong, Abang bersih-bersih dulu abis itu makan, ya? Kamu kalau mau tidur, tidur aja Ka, udah malem," titah Kaamil sebelum naik ke kamarnya, namun ketika menemukan Arka tetap geming di depan meja makan, Kaamil mengernyit heran dan kembali mundur untuk berdiri di hadapan Arka.
"Abang makan kok beneran, gak bohong." Ia pikir gemingnya Arka karena tak percaya akan makan malamnya disantap atau tidak, hingga ia memilih untuk kembali dan mengangkat tangannya dan membentuk jarinya menjadi huruf "V".
"Abang, Arka boleh ngomong?" dan ketika pertanyaan itu dilontarkan, Kaamil akhirnya paham bahwa bukan hanya ketakutan akan makanan yang sudah Arka masak disantap atau tidak, namun lebih dari itu. Dan inilah keadaan yang paling Kaamil hindari selama ini, keadaan dimana salah satu saudaranya meminta untuk berbincang yang pasti akan membicarakan perihal keadaan rumah ini yang sudah terlanjur berantakan.
"Ka, Abang capek banget, Abang mau bersih-bersih dulu dan Abang janji bakal makan soto yang udah kamu masak, tapi buat ngobrolnya besok lagi aja, ya?" dan seperti biasa, Kaamil akan memilih lari daripada harus menghadapinya, dan setelah mengucap itu, Kaamil beranjak dari ruang makan, meninggalkan Arka disana. Meninggalkan Arka yang kepalanya begitu berisik, menimbang apakah memang tepat untuk menyampaikannya malam ini?
"Adek mimpi lagi, Bang. Arka takut." Setelah pertimbangan panjang, akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Arka sesaat sebelum Kaamil menaiki anak tangga pertama dan membuat lelaki jangkung dengan kemeja flannel hitam dan tas yang ia bawa di pungunggnya itu berhenti.
"Arka udah coba hubungin bang Vero sama Kak Ares buat pulang, tapi mereka gak bisa pulang cepet, Bang. Tapi adek bilang dia gak mau sendirian lagi. Arka harus apa, Bang?" anak itu yang sebelumnya masih membelakangi Kaamil berakhir membalik badannya dan mendapati punggung Kaamil yang membeku. Arka tau bahwa kalimat itu sama saja seperti sebuah seruan bencana dan mereka harus segera lari untuk menyelamatkan diri, namun kali ini, mereka tak boleh lari lagi, mereka harus benar-benar menyelamatkan diri, bukan hanya lari seperti sebelumnya.
"Adek minggu depan ulang tahun, Bang." Lanjut Arka, menyampaikan sirat bahwa minggu depan mungkin akan menjadi tenggat terakhir bagi kepergian seluruh kakaknya dan setidaknya kelima kakaknya bisa berkumpul seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Semoga Abang, mas, sama kakak gak cuma dateng waktu adek ulang tahun aja, Bang. Arka cuma bisa bilang ini ke Abang karena Arka tau, cuma ini yang Arka bisa."
Kaamil berbalik, kini netranya dengan jelas bisa menangkap wajah adiknya itu, "Bang Vero sama Kak Ares pasti pulang waktu adek ulang tahun, Ka. Jangan khawatir," ujarnya.
"Maaf Arka nambahin capeknya Abang, Abang jangan lupa makan, nanti piring kotornya biar Arka yang cuci, Arka ke kamar ya, Bang." Dan anak itu kemudian bergegas dari ruang makan, kini berbalik, Arka meninggalkan Kaamil sendirian, meneguk salivanya dan membiarkan kakaknya itu bergelut dengan pikirannya sendiri, dan ketika ia hendak menaiki anak tangga, suara pintu terbuka dari ruang depan membuatnya menoleh, dan mendapati Rafi muncul dari sana.
"Bersih-bersih dulu, terus makan." Titah Kaamil pada adiknya itu, dan mereka berdua berpisah menuju kamar masing-masing untuk membersihkan diri sebelum menyantap makan malam yang terlalu larut.
«☼☼«
Rafi menyantap makan malamnya dengan enggan, ia tak berselera sama sekali, bahkan Kaamil yang mengajaknya sudah ditolak hampir 3 kali, namun karena kakaknya itu malah tak keluar kamar sebagai bentuk paksaan, Rafi berakhir menyerah dan mengikuti Kaamil menuju ruang makan.
"Gaffi mimpi lagi katanya, lo tau?" tanya Kaamil sambil menyendok sesuap soto yang sepertinya baru dipanaskan sebelum ia pulang, masih hangat dan berhasil menghangatkan tubuhnya.
"Kata siapa?" tanya Rafi dengan tampang cueknya, namun Kaamil tau betul bahwa adiknya itu kini khawatir bukan main, sebab tadi ketika ia bertanya, mata Rafi membulat seketika.
"Arka." Setelah Kaamil menjawab, tak ada sepatah katapun keluar dari mulut kedunya, membiarkan hening menjadi teman makan malam mereka.
"Bang, kita ini sekarang kenapa?" Tanya Rafi sambil menatap kedua tangannya yang bertaut di atas meja, nasi keduanya sudah tandas, menyisakan sedikit kuah soto yang sudah sulit untuk disendok.
"Kenapa emangnya?" Balas Kaamil tanpa menoleh pada Rafi, ia sibuk mengisi gelasnya dan Rafi yang sudah kosong.
"Kenapa lo gak pernah diem di rumah?" Rafi melanjutkan pertanyaanya, setelah sebelumnya ia menimbang-nimbang, apakah harus ia bertanya ini pada Kaamil? Sebab topik ini akan selalu jadi pembahasan paling sensitif yang mengakibatkan seluruh Nawasena yang berada disini memilih tak membahasnya.
"Kenapa lo selalu bilang ada project dan milih diem di kampus padahal gue tau project lo kadang udah selesai. Bang Kenan juga, ini udah hampir tengah malem, tapi dia belum balik."
"Gue ke kamar ya, kata Arka gak usah diberesin. Jadi lo gak usah beresin ini, biar dia tau kalau kita makan tanpa buang masakan dia." Kaamil meninggalkan Rafi tanpa menjawab pertanyannya. Ah tidak, Kaamil memang memilih menghindar. Ada alasan yang tak pernah bisa ia ungkap, ada sesak yang membuatnya selalu memilih lari padahal bukan ini yang ia mau, bukan lari yang inginnya ia pilih. Namun sebelum menaiki anak tangga. Kaamil menoleh pada Rafi yang masih geming di tempatnya.
"Tiap sudut rumah ini isinya luka, Fi."
"Tapi dengan lo pergi, lo gak pernah sadar kalau lo juga ikut nyebabin luka itu makin panjang,"
"Gue muak sama lo yang selalu lari, Bang." Suara kekehan terdengar jelas di telinga Kaamil, membuat lelaki itu kembali geming ditempat yang sama seperti puluhan menit lalu ketika Arka menyampaikan keadaan adik bungsunya.
"Gue gak bisa ngurus dua anak kecil itu sendiri, dan sekarang lo tau sendiri kalau Gaffi mimpi lagi, dan bisa aja traumanya muncul lagi. Bang, lo tau beratnya nanganin Gaffi yang di diagnosis PTSD 5 tahun lalu," Rafi mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Kalau lo masih punya akal sehat, balik ke rumah. Persetanan sama project lo, gue muak." Dan Rafi kemudian bangkit dari duduknya, melewati Kaamil yang masih geming ditempatnya.
«☼☼«
Catatan :
PTSD merupakan kelainan psikologis yang umum diteliti setelah terjadinya bencana. PTSD dicirikan dengan adanya gangguan ingatan secara permanen terkait kejadian traumatik, perilaku menghindar dari rangsangan terkait trauma, dan mengalami gangguan meningkat terus-menerus (American Psychiatric Association, 1994). Dikutip dari Poerwandari (2006) mengungkapkan ciri-ciri orang yang mengalami PTSD diantaranya kesulitan mengendalikan emosi/perasaan (mudah marah, mudah tersinggung, sedih yang berlarut larut), kesulitan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih (melamun), ketakutan, mimpi buruk, gangguan tidur, ingatan peristiwa masa lalu yang mencengkeram, gangguan makan, merasa terganggu bila diingatkan.
Note :
Jangan lupa kalau seluruh cerita Renjana meruapakan fiksi dan tidak ada sangkut pautnya dengan face claim!
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana [COMPLETED]
FanfictionPada malam paling temaram yang pernah seorang anak jumpai adalah kehilangan sepenggal bait kehangatan yang sepatutnya terus membersamai. Seorang anak yang sudah cukup dewasa sebagai pengganti bapak, seorang anak lain yang baru saja memasuki runyamny...