12. Cavero Zaidan Nawasena

1.7K 247 6
                                    

Vero menutup pintu kamar Gaffi setelah mamastikan adiknya itu tertidur, lalu ia melangkahkan kakinya. Dilewatinya kamar Arka yang tepat berada di samping kamar Gaffi. Ia menghentikan langkahnya, teringat pesan Arka kemarin yang memintanya pulang, sedang dia menolaknya begitu saja. Namun nyatanya, malam ini dia berada di rumah. Ia langsung meminta izin cuti dan mengendarai mobilnya ke Jakarta setelah mendengar bahwa Gaffi sakit, meski sebetulnya ia hanya demam biasa karena kecapean, sejak kecil adik bungsu Nawasena memang yang paling sering jatuh sakit.

Tepat ketika ia melewati kamar Arkana, ia hanya menatapnya seklilas lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar. Namun ada seseuatu yang mengganggunya, sejak kedatangannya, ia belum sempat berpapasan dengan Arka, membuatnya merasa sedikit bersalah. Belum lagi, sore tadi ia menerima panggilan dari Kenan yang membeberkan seluruh fakta yang tak ia ketahui, perihal Arka yang seharusnya mendapat perlakuan yang sama dengan Gaffi. Namun, Vero masih enggan mempercayainya, maka atas apapun yang Kenan sampaikan ia tak terlalu mengindahkannya.

Tepat sebelum Vero berbelok menuju ruang tengah untuk mencapai kamarnya, ia berpapasan dengan Kaamil yang menatapnya dengan lekat.

"Kenapa?" Tanya Vero karena marasa sedikit risih atas kelakuan Kaamil yang menatap sekaligus menghadang Vero agar tidak bisa melewatinya.

"Gue tau lo masih belum mau nerima kenyataan yang ada, Bang. Tapi sekarang, lebih baik lo coba ketemu Arka. Karena walau lo gak percaya sama omongan bang Kenan, lo tetep harus ngerasa bersalah karena bilang gak mau pulang ke Arka, tapi sekarang lo ada di rumah karena denger Gaffi sakit." Usai mengucapkan itu Kaamil berlalu begitu saja, meninggalkan Vero yang tertampar ucapan Kaamil, bagaimanapun ucapan Kaamil benar.

Maka dengan pertimbangan yang cukup lama, beberapa kali Vero menaiki lalu kembali menuruni tangga hanya karena ragu apakah ia perlu menemui Arkana atau tidak? Dan setelah hampir 10 menit. Ia memilih untuk menghampiri Arka dikamarnya, sekalian mencoba peruntungan apakah yang diucapkan Kenan sore tadi benar atau tidak.

Diketuknya pintu kamar Arka, yang detik kemudian Vero merutuki aksinya. Sudah hampir 5 tahun mungkin Vero belum pernah berbincang berdua dengan Arka, tapi terlanjur melakukannya, akhirnya Vero masuk setelah Arka berkata, "Masuk aja."

"Abang?" Vero dapat melihat jelas raut terkejut Arka yang diterangi lampu belajarnya.

"Lagi apa? Kok belum tidur?" Tanya Vero yang memilih duduk ditepi kasur bergambar pororo.

"Masih ngerjain tugas Bang," jawab Arka.

"Yaudah lanjutin aja, Abang tungguin." Arka mengangguk kemudian meneruskan kegiatannya. Meski dalam kepalanya dipenuhi pertanyaan akan maksud kedatangan Vero ke kamarnya.

Di kasur yang sudah sedikit rusak karena ketika Vero menaikinya kasur itu sedikit menurun, belum lagi ketika Vero memilih merebahkan tubuhnya ia dapat jelas merasakan bahwa kasur Arka tidak rata, beberpa bagian membuat tubuhnya sakit, namun Vero berusaha mengabaikannya, ia kemudian menatap langit-langit kamar yang remang, sebab pencahayaan hanya dari lampu belajar Arka.

Rasanya, ini baru pertama kali Vero menginjakkan kaki di kamar Arka, ada nuansa kosong yang bisa Vero rasakan, di kamar ini hanya ada satu kasur, satu meja, satu kursi, dan satu lemari, buku-buku milik Arka di susun rapi di bawah meja belajarnya dan di sudut kamar tepat di samping lemari. Tidak ada hal lain seperti kamar Gaffi yang memiliki satu lemari kecil berisi action figure yang biasa Vero dan Rezvan belikan, juga rak buku berisi buku-buku sekolahnya, walaupun buku Gaffi tak sebanyak milik Arka. Atau seperti kamar Kaamil yang dilengkapi satu set perlengkapan game, atau kamar Kenan yang diisi dengan beragam peralatan olah raganya. Atau seperti kamar Rafi yang memiliki tambahan lemari besar untuk menyimpan lemari dan beberapa foto yang dicetaknya sendiri, atau kamar Rezvan yang penuh dengan gambar dan alat lukisnya. Kamar Arka sepi.

Vero meneguk salivanya susah payah, apakah yang Kenan sampaikan tadi sore memang benar adanya?

"Bang, ada yang mau di omongin ya?" Pertanyaan Arka membuyarkan lamunannya. Vero bangkit dari tidurnya, dan kini duduk menghadap Arka yang tengah menatapnya.

"Gak ada." Sebetulnya Vero juga tak tau apa yang akan ia lakukan ketika sampai di kamar Arka, ia hanya berpikir untuk menemui Arka atau meminta maaf, namun kata maaf itu malah tertahan di bibirnya, dan sulit untuk dikatakan.

"Abang, masih kecewa sama Arka?" Kedua alis Vero berkerut heran.

"Arka tau Bang, setelah bunda meninggal. Setelah adek dinyatakan trauma karena kejadian itu selalu terulang di mimpi adek, Abang kecewa sama Arka." Nafasnya seakan tercekat, Vero tak menyangka bahwa selama ini Arka tau rahasianya. Arka tau bahwa selama ini Vero menyalahkannya atas hal yang menimpa Gaffi.

"Gak Arka, kamu salah paham."

"Arka minta maaf Bang. Maaf karena Arka, Abang jadi ngalamin hal sulit, kita jadi renggang, dan Abang harus berusaha sembuhin luka Abang sendirian. Arka juga minta maaf belum bisa jaga adek dengan baik."

"Bang? Apa yang harus Arka lakuin biar abang bisa pulang ke rumah?" Tanya Arka dengan tenang, tapi mampu membuat Vero kebingungan. Sebab hingga saat ini, Vero masih tak mau menerima kenyataan. Ia masih tak bisa menerima bahwa kehilangan bunda adalah takdir yang sudah di goreskan, ia masih tak bisa menerima bahwa luka yang ada di hati Nawasena adalah ujian dari Tuhan.

Jadi, ketika saat itu ia tau bahwa kecelakaan bunda tepat berada di depan dua bungsu Nawasena, ketika saat itu ia tau bahwa Gaffi dan Arka melihat sebuah truk menghantam mobil bunda, ketika saat itu ia tau bahwa Gaffi berakhir trauma, ketika saat itu ia tau bahwa dunia memang tak adil pada mereka, maka saat itu, ketika ia ingin melampiaskan semuanya, ia melihat Arka yang duduk tanpa air mata. Maka saat itu, Vero menyalahkannya atas semua duka yang hadir di keluarga Nawasena, dan membuatnya enggan berada di rumah yang sama dengan Arka.

"Bang, setidaknya demi adek, setidaknya Abang ada disini demi adek. Abang boleh gak anggep Arka ada kalau emang Abang masih kecewa sama Arka. Arka mohon, Bang." Arka menatapnya dengan sorot memohon yang begitu kentara. Membuat Vero dipeluk rasa bersalah lebih erat.

Ia tau bahwa semua ini bukan salah Arka, namun Vero masih denial. Takdir yang harusnya ia terima dan menjadikannya belajar malah menjadikannya seperti ini, membuatnya memilih berkelana dan meninggalkan keenam adiknya dalam kubangan luka yang tak pernah habis.

Apakah yang dikatakan Kenan memang sebuah fakta yang harus ia terima? Haruskah ia mulai terbangun lalu menutup pintu untuk membuka pintu yang baru?

«☼☼«

Sepeninggalan Vero, Arka mati-matian menghirup udara sebanyak yang ia bisa, sebab tiba-tiba dadanya terasa sesak dan membuatnya tak bisa bernafas. Hal ini akan selalu berulang ketika ingatan akan hari itu tiba-tiba menghampirinya.

Arkana itu paling suka berada di tempat terbuka, seperti jalan raya, atau taman kota dengan suara riuh burung yang memanjakan telinga.

Tapi sukanya tak bertahan lama. Sebab setelah hari dimana bunda berpulang tepat di depan matanya, di tempat yang ia suka, Arka tak lagi bisa leluasa.

Langkahnya kini penuh hati-hati, ia akan berkali-kali menengok kanan kiri sebelum menyeberangi jalan walaupun sepi.

Arka mungkin tidak mengalami mimpi buruk seperi Gaffi, tapi lebih dari itu. Setiap inci jalan selalu membuatnya bergidik ngeri. Bayang-bayang sebuah truk yang menghantam mobil bunda hingga hancur di depan matanya, membuat Arka frustasi. Tapi, Arka paham bahwa itu hanya delusi. Maka malamya Arka akan menulis surat-surat panjang untuk bunda mengenai hari yang ia lalui dan rencana-rencana apa yang akan ia lakukan nanti, untuk membuatnya lupa bahwa siang tadi, ia ketakutan, lagi. Dan, malam ini, ia kembali menerima kenyataan bahwa ucapan Vero 5 tahun lalu akan selalu menusuk dan bersemayam dihatinya lebih dalam.


«☼☼«

Hai, semoga masih enjoy baca Renjana, ya!

Renjana [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang