20. Arkana Elvano Nawasena

1.8K 216 5
                                    

Arkana Elvano, anak berhati terang hadiah dari tuhan. Bunda pernah bilang, Arka itu anaknya yang paling pandai perihal memahami dan memaknai. Bunda juga pernah bilang, bahwa Arka itu akan menangis di hatinya, sekali lagi, alasannya sebab anak itu pandai memahami. Ia paham jika tangisnya mungkin akan membuat orang lain juga ikut sedih, padahal harusnya orang itu berbahagia. Maka, Arka selalu memilih untuk sembunyi dari tangisnya, sembunyi dari sakitnya, sembunyi dari patah hatinya, dan sembunyi dari kepingan dunianya yang sempat, hampir hancur.

Namun tuhan masih berbaik hati, maka saat itu Arka dipersilahkan untuk kembali merekat dunianya agar kembali baik-baik saja. Tapi mungkin, rencana tuhan lain.

Tuhan hanya ingin memperlihatkannya, bahwa tahannya tak sia-sia. Bahwa sakitnya bisa diganti dengan tawa. Dan membuatnya benar-benar bahagia. Tapi, tuhan tak mau lagi melihat anak baiknya menderita, maka Arka di ajak pulang dari dunianya.

Belum satu hari setelah kepergian Arka, namun rasa rindu yang mendiami hati Kaamil tak henti bergemuruh, maka dalam langkah pelan, ia berjalan menuju kamar Arka yang berada tepat di seberang kamarnya. Kaamil membuka kamar Arka, kamar yang nuansanya selalu sama, sepi dan membuat dadanya sesak. Dilangkahkan kakinya menuju meja belajar.

Kaamil pernah tak sengaja melihat Arka menulis dan memasukan suratnya disana. Benar saja, Kaamil menemukan surat itu. Diambilnya satu surat yang sepertinya masih baru.

•••

Bun tau gak? Mulai hari ini, Arka yang bakal gantiin bunda buat bang Kenan yang selalu nungguin bunda tiap malem. Ya, walaupun Arka gak bisa kaya bunda, tapi Arka bisa bikinin bang Kenan susu anget, di tambah cookies.

Bun, hari ini bang Kaamil masih telpon bunda, Arka pengen gantiin bunda buat bang Kaamil juga, tapi Arka bingung harus kayak gimana.

Bun, hari ini juga, abang dateng dan minta maaf soal ucapan dia 5 tahun lalu, tentang prasangka abang kalau semua malapetaka ini adalah ulah Arka.

Arka gak marah kok bun...

Bun, kayanya Mas Rafi udah gak benci Arka lagi, apa bunda yang sampein ke tuhan soal doa Arka yang minta biar bang Rafi bisa baik ke Arka kayak dulu.

Makasih bun, mas Rafi jadi baik banget sama Arka.

Bun, kalau bunda gak keberatan, bunda datengin adek lagi, tapi dalam keadaan yang baik ya bun.

Bunda, satu lagi, Kak Ares masih suka liatin Arka kalau lagi diem, tapi tetep ngehindar waktu Arka samperin...

Udah deh bun, ceritanya udahan dulu.

Tapi bun, kita udah mulai membaik.

Jadi, bunda, kalau suatu saat nanti bang Kenan gak lagi nungguin bunda, bang Kaamil gak lagi nelpon bunda, ketika mas Rafi gak lagi masak di dapur, dan ketika Arka yang gak sering bikin surat buat bunda lagi, itu bukan berarti kita lupain bunda, kita cuma mau jalan ke tempat baru bun, tempat nyata dimana bunda udah gak ada di dalamnya lagi...

•••

Kaamil meremas surat itu, hatinya lagi-lagi sesak, selama ini, Arka tau perihal mereka, tapi mereka tak pernah tau perihal Arka, dan di akhir surat itu, jelas-jelas menyiratkan bahwa Arka sudah mulai berdamai dengan luka-lukanya dan sedang bersiap untuk mengambil langkah baru. Namun mengapa? Mengapa Arka dipilih untuk pulang tanpa sempat mengambil langkah itu.

"Arka, maafin Abang Ka, maaf."

"Arka, ayo kita bahagia sama-sama, sama kamu, gak cuma kita berenem, Ka. Bahagia sama kamu." Dan meskipun nama Arkana terus ia panggil, meski hatinya erat-erat menahan Arka agar tidak pergi, sebuah nyata bahwa Arka tak lagi disini membuat patahan diri Kaamil semakin diiris. Sore tadi ia membaringkan Arka untuk yang terakhir kali, padahal beberapa bulan lalu, untuk pertama kali Kaamil membaringkan tubuh Arka di kasurnya selepas ia menangis hebat. Jika Kaamil tau bahwa itu terakhir kali ia bisa membaringkan Arka dan esoknya ia terbangun, maka Kaamil akan menunggu Arka semalaman penuh, menunggunya agar ia bisa melihat mata Arka yang terbuka setelah tidur semalaman.

Penyesalan-penyesalanan lain terus memburu kepalanya, ia menyesal mengapa tak bisa memeluk Arka lebih lama, ia menyesal mengapa tak bisa mendengarkan cerita Arka lebih sering, dan ia menyesal tak memberi hangatnya keluarga lebih awal. Yang bisa Kaamil lakukan saat ini hanya memeluk surat itu rapat-rapat. Surat yang akan menjadi peninggalan Arka bagi Nawasena, dan mungkin di dalam tulisan-tulisan putus asa itu, Kaamil dan seluruh Nawasena lain akan menemukan rahasia Arka yang selamanya akan membuat mereka ditusuki penyesalan.

Sakit di dadanya begitu memuakkan dan membuat Kaamil tak bisa menanggungnya, maka di menit-menit selanjutnya, ia hanya bisa menangis, membiarkan dirinya basah oleh duka.

"ARKAA!" Teriakan Kaamil yang bergitu pilu dan menyakitkan seakan memanggil seluruh Nawasena, kini keenamnya berkumpul di dalam kamar yang sepinya menusuk dengan dingin.

"Mi... udah, Mil." Vero menenangkannya dengan susah payah, Kaamil masih meremas dan memukuli dadanya, berharap sakitnya akan hilang.

"Bang, kenapa Arka pergi? Kaamil belum bisa bikin Arka bahagia bang." Itu bukan kalimat otoriter, namun Nawasena sepakat dalam sekali hentak, bahwa Arka masih perlu ada di dunia untuk mereka bahagiakan.

"Bang.... Arkaa...."

"Bang, Kaamil masih mau Arka."

"Bang, Arkaaa Bang, Arka kenapa pergi?"

"Bangg, sakit Bang, Kaamil gak mau kehilangan Arka Bang."

"Banggg, Arka adek Kaamil Bang."

"Arka selalu sakit, Bang. Tapi dia gak pernah nangis, dan Kaamil belum pernah nanya apa dia baik-baik aja atau engga, Kaamil belum pernah bilang kalau Kaamil sayang dia, Bang." Ucapan Kaamil membuat seluruh Nawasena seakan ditaburi garam di atas luka mereka yang masih basah.

"Arkaaa." Kamar Arka dipenuhi air mata dari para kakak dan adiknya, mungkin jika Arka masih ada, ia akan merayakan momen ini dengan suka cita, karena untuk kali pertama, seluruh Nawasena berkumpul di kamarnya.

"Arka Bang, Arka pergi."

Mulai hari ini, nama Arka akan selalu jadi senandung pilu dari kediaman Nawasena. Arkana, sebuah nama yang pemiliknya sudah pamit dari kejamnya dunia. Arkana, anak keenam Nawasena yang hidupnya tertatih dan terapung di samudera bernama duka. Arkana, kini telah tiada.

Arkana, maaf ceritamu selesai sampai disini, dengan kisah pilumu yang hampir memenuhi buku, padahal bahagiamu hanya seujung kuku.

Arkana, terima kasih atas tahanmu di tengah ombak yang diiringi gemuruh badai yang hampir menghancurkan kapal.

Arkana, terimakasih sudah mengajarkan tulus dan baiknya kamu perihal memaafkan.

Arkana, senandung namamu akan selalu berakhir sendu, sebab tiap memanggilmu, rasa sesal akan menyeruak di dada tiap Nawasena. Sebab kini, tubuhmu tak bisa lagi mereka dekap, tangismu tak bisa mereka hapus, dan ceritamu tak lagi bisa mereka goreskan di masing-masing kanvasnya.

Arkana, selamat jalan menuju damai yang abadi tanpa sakit didalamnya.

Selamat bertemu bunda.

Selamat, semoga bahagia...


«☼☼«

«☼☼«

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Renjana [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang