1. Awal Luka Yang Tak Akan Pernah Mengering

3.8K 321 52
                                    

Pemakaman telah usai sejak sore tadi, rumah Nawasena masih basah diguyur derasnya air mata sejak kabar membawa fakta akan kepergian ibunda secara tiba-tiba. Ketujuh Nawasena enggan menerima, tentu saja. Namun nyatanya ketetapan tuhan tak pernah bisa dilawan sekuat apapun usaha manusia. Meski teriakan Gaffi di pemakaman sore begitu memilukan, meski pinta Kaamil agar bunda kembali membuka matanya terus dipanjatkan, meski tangis ketujuhnya begitu menyayat hati para pelayat, fakta bahwa raga bunda telah dikebumikan dan tak bisa lagi mereka dekap begitu nyata dan membuat mereka kehabisan tenaga, seakan ada bola besar ditenggorokan mereka, seakan ada ribuan panah di dada Nawasena, hari ini, mereka resmi dihancurkan semesta.

Para pelayat yang berdatangan hanya tersisa sedikit, beberapa hanya mengucap belasungkawa pada Vero, Rezvan, dan Kenan yang berada di ruang tamu, beberapa lagi ikut menemani ketujuh Nawasena menghadapi beratnya kenyataan, meski hanya berada disamping Vero, Kenan, dan Rezvan tanpa mengucap satu katapun. Para ibu-ibu komplek yang memang sering bercengkerama dengan bunda mungkin merasa iba pada ketujuh Nawasena yang tak memiliki sanak saudara disamping mereka, maka para ibu-ibu itulah yang menemani dan membantu seluruh prosesi.

"Nak Vero, kami pulang dulu, ya? Besok ibu kemari bawa sarapan, yang tabah ya Nak." Bu Rami, seorang ibu yang selalu menjadi teman bercanda bunda menghampiri Vero dan menggenggam tangan si sulung, berharap usahanya bisa menguatkan Vero yang terlihat begitu hancur, tak lupa ia juga menggenggam tangan Rezvan dan Kenan yang tepat berada di samping Vero.

"Ibu, terima kasih banyak. Mohon maaf kalau bunda punya salah," ungkap Vero dengan lirih, kalimat itu terus ia ucapkan seharian ini, meski kini kepalanya terasa kosong, kalimat itu seakan diatur untuk menjawab tiap kalimat yang ditujukan padanya. Bu Rami menggelang pelan, kedua matanya berair lagi, maka cepat-cepat ia bangkit dari duduknya dihadapan Vero, kemudian hilang di balik pintu.

Hingga kemudian seluruh pelayat pemit, menyisakan ketiga sulung Nawasena di ruang tengah yang tampak luas karena beberapa furniture dikeluarkan siang tadi, masih jelas dalam benak ketiganya bagaimana akhirnya raga bunda di baringkan disini, dihadapan mereka. Berat, kehilangan dunia bagi ketujuh anak yang masih berusaha merakit kata dewasa bagi jalan mereka masing-masing, sangat berat. Masih banyak tanya dalam benak mereka yang ingin mereka utarakan pada bunda, masih banyak cerita kehidupan yang belum sempat mereka utarakan pada bunda, masih banyak waktu pukul 9 hingga 10 malam dihari-hari selanjutnya untuk mereka habiskan bersama bunda di ruang keluarga yang terus hangat. Dan hari ini, bagaimana bisa mereka melanjutkan hidup tanpa bunda didalamnya?

"Res, Gaffi gimana?" tanya Vero ditengah keheningan yang mulai menyelimuti kediaman Nawasena, sore tadi, sejak bunda resmi tertutup tumpukan tanah basah, Gaffi kehilangan kesadarannya, dan setelah pemakaman tadi, Vero belum sama sekali memeriksa keadaan Gaffi.

"Tadi udah sadar, tapi masih nangis Bang, dari tadi ditemenin Rafi sama Kenan." Vero mengangguk mendengar penuturan Rezvan, mungkin diantara mereka, yang paling terpukul atas kematian bunda ialah Gaffi, seorang polisi yang mengurus seluruh kejadian siang tadi menjelaskan bahwa Gaffi dan Arka melihat jelas apa yang terjadi. Betul juga, dari tadi Vero hanya memikirkan bagaimana keadaan Gaffi dan melupakan Arka yang juga mengalami hal yang sama dengan Gaffi.

"Res, Arka?" suara Vero yang cukup tinggi membuat Rezvan cukup terkejut.

"Di kamarnya, Bang." Vero menghela nafasnya dengan berat, menyadari bahwa sang kakak Nampak begitu lelah, Rezvan menggenggam kedua tangan Vero, "Sama-sama, Bang. Kita sama-sama," ungkapnya dengan yakin. Menegaskan pada sang kakak tertua bahwa mereka akan menghadapi seluruh beban ini bersama.

"Semua bakal baik-baik aja, Bang," lanjut Rezvan, karena saat ini, yang harus mereka lakukan ialah menghadapi kejamnya takdir yang akan terus menghadang langkah mereka, namun dengan keteguhan hatinya, Rezvan berani menjamin bahwa semua akan baik-baik saja jika dihadapi bersama-sama.

Renjana [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang