Di dalam ruangan bernuansa putih, terlihat seorang gadis cantik yang terbaring lemas dengan selang berwarna merah mengitari lengannya. Gadis itu bernama Shela Funsena. Ia mengidap penyakit gagal ginjal.
Dua tahun silam, tepatnya di hari kelulusan SMA. Teman-temannya tengah asik berbincang mengenai perkuliahan dan cita-cita mereka. Sementara Shela hanya duduk diam dan menyembunyikan ekspresi sedihnya.
"Apa cuma gue yang gak bisa punya impian kayak mereka?" tanya Shela pada dirinya sendiri.
Ia cukup terpukul saat mengetahui kalau dirinya mengidap penyakit gagal ginjal yang mengharuskannya untuk melakukan cuci darah dua kali seminggu. Alasan itu membuat Shela takut memiliki mimpi yang besar.
***
Di usia yang menginjak angka dua puluh tahun, Shela mulai jenuh dengan rutinitasnya. Setiap hari Senin dan Kamis, ia harus pergi ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah. Tentu itu bukanlah hal yang menyenangkan.
Namun, meski demikian, Shela masih dikelilingi oleh orang tua yang sangat mencintainya. Ervin adalah ayah sekaligus owner dari perusahaan ternama, sedangkan Widia adalah ibunya. Dulunya Widia adalah wanita karir, tetapi saat mengetahui bahwa anaknya menderita gagal ginjal, ia pun memutuskan berhenti untuk sementara waktu dari pekerjaannya dan berfokus pada Shela.
Setiap jadwal cuci darah tiba, ibunyalah yang selalu mengantarnya ke rumah sakit. Saat melihat anaknya yang terbaring lemas di ruang Hemodialisa, Widia hanya dapat berdoa dalam kesedihannya, meminta agar Sang Pencipta untuk segera mengangkat penyakit anak semata wayangnya.
"Tuhan ... jika boleh aku meminta, tolong pindahkan saja penyakit gagal ginjal Shela kepadaku. Aku tak sanggup melihat anakku menderita," pinta Widia dengan nada terisak.
***
Setelah selesai melakukan cuci darah, Shela pergi menghampiri ibunya yang terlihat kelelahan akibat menunggunya.
"Udah waktunya pulang, Mah," ucap Shela seraya menepuk-nepuk bahu ibunya.
"Eh, maaf Mamah ketiduran," balas Widia setengah terkejut. Ia lalu mencoba mengumpulkan kesadarannya secepat mungkin kemudian bergegas menuju mobilnya yang berada di parkiran rumah sakit.
"Kamu tunggu di depan ya," suruh Widia.
"Iya, Mah."
Hanya sebatas itulah rutinitas Shela sekarang. Setiap Senin dan Kamis ia harus menjalani cuci darah, dan di hari lainnya ia hanya menghabiskan waktu di rumah berdua dengan ibunya.
Sangat jarang ia pergi ke luar, ia takut merasa iri dengan kehidupan orang normal yang bisa bercita-cita sesukanya, yang bisa bercanda gurau tanpa beban di kepalanya, dan yang bisa menetapkan impian besar tanpa harus memikirkan usianya. Shela sangat menginginkan hal-hal seperti itu, tapi ia tahu kalau ia tak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astala [Hiatus]
Dla nastolatkówMengidap penyakit gagal ginjal di usia muda, membuat kehidupan Shela tidak seperti remaja pada umumnya. Untuk menggantikan ginjalnya yang sudah tidak berfungsi dengan baik, gadis itu harus melakukan cuci darah rutin. Hal monoton seperti ini membuat...