Part #7: Pertanda?

144 47 6
                                    

Malam semakin larut, Asta hanya duduk diam menunggu kedatangan ayah Shela, sebab lagi-lagi, pria itu tidak dapat menemukan topik pembicaraan yang ia rasa cocok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam semakin larut, Asta hanya duduk diam menunggu kedatangan ayah Shela, sebab lagi-lagi, pria itu tidak dapat menemukan topik pembicaraan yang ia rasa cocok. Asta hanya memejamkan matanya dan mencoba tidur dalam posisi duduk.

"Asta," panggil Shela. "Lo udah tidur?" sambungnya.

"Belum," balas Asta.

"Gue mau tanya sesuatu." Shela mulai serius.

"Apa?" sahut Asta.

"Kalau gue pergi ninggalin dunia ini, lo bakal sedih enggak?" tanya Shela.

Asta yang dari tadi mencoba terpejam, kini kedua matanya terbuka sempurna. Pertanyaan barusan berhasil menghilangkan rasa kantuknya.

"Lo kenapa nanya gitu? Lo harus bertahan Shela, banyak yang mau kalau lo bisa sembuh," ucap Asta.

"Jawab dulu!" desak Shela. Ia sangat ingin mendengar jawaban dari Asta.

Asta mencoba berpikir sejenak, mencari jawaban yang ia rasa tepat. "Gue bakal sedih kalau enggak ada lo lagi. Gue udah ngerasa nyaman tiap hari ketemu sama lo, tiap hari debat soal hal yang gak penting, dan masih banyak lagi. Gue enggak mau kalau hal-hal kayak gitu harus hilang dari hidup gue," jelas Asta. "Makanya lo harus bertahan ya, Shela," sambungnya.

Setelah mendengarkan jawaban Asta, Shela kemudian membalikkan badannya dan memejamkan mata. Ia ingin kembali melanjutkan tidurnya. Asta yang tidak mendapat respon apa-apa dari Shela menjadi sangat khawatir, tetapi pria itu juga tidak bisa mengganggu waktu istirahat Shela.

Pukul tiga pagi, Ervin mengirimkan pesan teks singkat pada Asta. Dalam pesan teks itu, Ervin meminta agar Asta terus menemani Shela sampai pagi tiba, sebab urusan pria paruh baya itu baru bisa selesai pada pukul tujuh pagi.

***

Widia dan Ervin bergegas menuju kamar rawat Shela, sesaat setelah membuka pintu, mereka mendapati pemandangan yang tidak familiar. Kantung mata Asta berwarna hitam, pria itu terlihat tidak pernah terlelap semalaman. Sementara Shela baru tersadar dari tidurnya saat orang tuanya datang mengunjunginya pagi ini.

"Asta, kamu belum tidur?" Widia mencoba memastikan.

"Iya Tante," jawab Asta lemas.

"Kalau gitu kamu pulang istirahat aja ya, sekarang udah ada Tante sama Om," suruh Widia.

"Saya boleh ngobrol berdua sama Shela dulu Tante?" pinta Asta.

"Boleh," balas Widia kemudian ia dan Ervin kembali beranjak ke luar ruangan.

***

Shela mencoba duduk di atas hospital bednya. "Lo mau ngomongin apa?" tanya Shela.

"Tadi malam lo bilang soal ninggalin dunia ini," ucap Asta. "Kenapa lo bilang gitu?" sambungnya.

"Lo cuma mimpi. Gue gak pernah bilang gitu," sangkal Shela. "Mending sekarang lo pulang tidur biar enggak ngawur lagi," lanjutnya.

"Tapi---"

"Lo cuma mimpi Asta," ulang Shela.

Orang tua Shela kembali masuk ke ruang rawat, membuat Asta dan Shela segera mengakhiri percakapan mereka.

"Kalian bicara soal apa?" tanya Ervin.

"Asta mau minta cuti satu hari buat istirahat, Pah. Katanya agak capek, tapi dia takut bilangnya," bohong Shela.

"Kalau mau istirahat hari ini, enggak apa-apa Asta. Semua pekerjaan di kantor juga sudah selesai, jadi hari ini saya bisa seharian untuk menemani Shela," balas Ervin percaya.

"Te—terima kasih Om," ucap Asta kaku.

***

Shela sudah diperbolehkan untuk pulang. Gadis itu terlihat begitu senang sebab untuk hari ini, ia bisa terlepas dari selang yang mengitari lengannya. Widia meminta Shela untuk berbaring di kamarnya dan tidak melakukan aktivitas berat, tetapi Shela tidak melakukan hal itu.

Shela pergi ke gudang, mencari alat lukis yang disimpan oleh ibunya. Gudang itu begitu gelap, membuat Shela harus mengaktifkan senter ponselnya.

"Mana ya alat lukisannya?" gumam Shela. "Itu bukan?" ucapnya mengarahkan senter pada sesuatu yang terlihat seperti kanvas. Benda itu setengah tertutup oleh kain berwarna putih.

"AAAA!" teriak Shela. Benda yang ia lihat barusan memang kanvas miliknya, tetapi banyak serangga di gudang itu.

Widia yang mendengar suara Shela pun bergegas untuk mencarinya. "Shela kamu di mana?" panik Widia. "Pah, Shela tadi teriak, dia enggak ada di kamar," sambungnya. Ervin dan Widia pun bergegas mencari keberadaan Shela.

"Shela di gudang, Mah!" teriak Shela lagi.

Ervin dan Widia yang mendengarkan suara anaknya itu pun bergegas menuju gudang. "Kamu ngapain di gudang, Shela?" tanya Widia dengan nada suara yang ditekan.

"Mau ambil alat lukis, Mah, tapi banyak serangga," jawab Shela.

"Kamu istirahat dulu, nanti baru Mamah kasih alat lukisannya," suruh Widia.

"Shela mau sekarang, Mah," ucap Shela tak mau kalah.

"Nanti!" balas Widia.

"Sekarang!" Shela masih mencoba untuk melawan.

"Kita ambil alat lukisannya sekarang, tapi kamu baru boleh melukis setelah istirahat," Ervin mencoba mengambil jalan tengah, sebab jika tidak melakukan hal demikian, akan terjadi perang antara ibu dan anak.

"Em, ya udah, tapi gendong, Pah. Kaki Shela udah lemas gara-gara serangga," pinta Shela.

"Kamu udah besar masih takut sama serangga aja. Jalan sendiri," tolak Ervin.

"Bilang aja kamu juga takut. Papah kamu dari dulu enggak pernah berani sama yang namanya serangga," sahut Widia. "Biar Mamah yang bawa kamu ke kamar," sambungnya.

***

Berbeda dengan Shela yang kembali mengistirahatkan dirinya, Asta masih saja kesulitan untuk terlelap. Di benaknya selalu terpikirkan mengenai apa yang dikatakan Shela malam tadi. Hal itu seolah menjadi pertanda bahwa Shela akan benar-benar pergi meninggalkan dunia ini.

"Shela. Jangan pergi," gumam Asta. Ia selalu saja mengucapkan kalimat itu sampai tak sadar kalau saat ini ia sudah berhasil terlelap. Asta benar-benar terlihat seperti orang yang sangat takut akan kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. Padahal pria itu hanya ditugaskan untuk menjaga Shela, tidak lebih.

Mungkinkah Asta benar-benar sudah jatuh hati pada Shela? Ataukah ini hanya sebatas rasa khawatir belaka yang muncul karena jiwa sosialnya yang tinggi?

Mungkinkah Asta benar-benar sudah jatuh hati pada Shela? Ataukah ini hanya sebatas rasa khawatir belaka yang muncul karena jiwa sosialnya yang tinggi?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih telah membaca. Sampai jumpa di part selanjutnya. Salam hangat dari author.

Astala [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang