Bagian 10

374 49 7
                                    

Youn1t Fanfiction

Happy Reading

Didalam kamar bernuansa putih itu, ia menyandarkan tubuhnya pada pintu yang baru saja ia tutup. Ia menangis terisak, dadanya sesak tatkala mengingat percakapannya dengan Gilang. Sebenarnya ada apa dengan Shandy dan Farhan sampai harus ia menjauhinya.

Sepertinya kedua pemuda itu tidak ada tanda-tanda orang yang ingin berbuat jahat, tetapi mengapa sang Bunda dan Kakaknya mengatakan jika harus menjauhi keduanya?

Mengapa Tuhan mempermainkan takdir seperti ini? Ia lelah, ia hanya ingin berteman. Apa salahnya dengan teman baru dalam hidupnya?

"Tuhan, mengapa? Mengapa harus seperti ini?"

Tiba-tiba darah segar mengalir dari hidungnya, ia mencoba bangkit sambil berpegangan pada dinding. Tangannya bergetar berusaha menahan sakit pada kepalanya, ia terus menangis tanpa henti. Andai saja Tuhan ambil nyawanya sekarang, apakah hidupnya akan lebih damai lagi?

Mencari obat yang seharusnya ia letakkan pada laci kamarnya, tetapi mengapa ia tak menemukan satupun botol itu. Bahkan sedari tadi ia tak menyadari bahwa ponselnya terus menerus bergetar dari saku celananya.

Fenly menatap tas kecil yang ia bawa saat pergi, berjalan pelan sambil terus memegangi kepalanya yang berdenyut kencang. Ia bisa bernapas lega saat menemukan apa yang ia cari, mengambil dua butir obat dan memakannya. Kemudian ia terduduk pada karpet empuk disamping ranjangnya dan menyandarkan punggungnya sejenak sebelum akhirnya ia membuka ponsel itu.

Membuka sebuah pesan singkat dari para sahabatnya yang menanyakan kabar darinya dan tanpa berniat untuk membalasnya. Ia terlalu lelah hari ini, rasa kantuk itu datang tanpa bisa ia cegah sebelum akhirnya terlelap dalam keadaan terduduk dengan wajah yang menangis dan hidung yang masih berdarah.

Keesokan paginya saat sang Bunda membuka pintu kamar Fenly, ia terkejut pada apa yang ia lihat. Darah kering itu berceceran dilantai kamar Fenly dengan keadaan kamar yang sangat kacau. Beberapa lembar tugas berserakan dengan Fenly yang tertidur dikarpet.

"Astaghfirullah Fenly, bangun nak. Kamu kenapa?" Tanya sang Bunda panik sambil menepuk pelan pipi Fenly.

Wanita paruh baya itu mengambil handuk bersih dari kamar mandi, lalu mengelap dengan perlahan wajah Fenly yang penuh darah. Hatinya teriris melihat Fenly dengan kondisi seperti ini, terlebih wajahnya yang pucat. Apakah dari kemarin putranya ini tak ada yang menolongnya?

"Fen, bangun nak. Jangan buat Bunda khawatir, Bunda takut, Fen." Katanya sambil mengusap pelan surainya.

"Bun-da." Ucapnya terbata, pandangannya masih buram. Ia menyesuaikan cahaya yang masuk pada kelopak matanya.

"Fen, Bunda bantu yuk. Kamu bangun dulu nak." Ia menuruti ucapan sang Bunda. Apalagi saat merasakan bagaimana nyeri punggungnya saat digerakkan.

Ia mengingat, mengingat pertengkarannya dengan Gilang kemarin. Rasanya masih terasa sakit saat Kakaknya harus memberinya pilihan yang tentunya belum bisa ia penuhi. Kepalanya masih berputar, rasanya ingin pecah. Ia menatap sang Bunda yang membawakan nampan berisi makanan.

Pemuda berkulit putih itu hanya diam memperhatikan sang Bunda, ucapan Gilang pun masih terngiang-ngiang dikepalanya.

"Fen, makan dulu yuk." Pinta sang Bunda pada putra bungsunya.

"Bun, maafin Fen ya." Sang Bunda mengernyitkan dahinya bingung, mengapa putra bungsunya mengatakan maaf?

Terlihat sekali bahwa Fenly sangat kelelahan, wanita paruh baya itu bisa merasakan sakit disaat putranya sakit. Ditinggal dua hari saja Fenly sudah seperti ini, apalagi saat dirinya harus pergi mengurus perusahaan mendiang sang suami.

DIA FENLY? | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang