Twenty Six

197 24 16
                                    

Beberapa waktu lalu, sang pemilik surai lurus itu memandang pedih siluet bayangannya disudut kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa waktu lalu, sang pemilik surai lurus itu memandang pedih siluet bayangannya disudut kamar. Tak ada yang mampu meredakan rasa sakit hatinya kala ia melihat dua anak adam tengah bercengkrama saling mengumbar tawa.

Entah harus bagaimana ia sekarang, rasa cinta yang selama ini menjadi salah satu pelipur lara si pemeran utama seolah sia-sia.

Lize tak mampu lagi mendeskripsikan rasa sakitnya meski pikirannya terus menerus mendorong ia untuk mengikhlaskan Haru. Karena pada dasarnya ia disini hadir hanya sebagai hama.

"Udah jangan nangis terus, cowok kayak gitu tuh gak pantes buat lo tangisin. Gak ada gunanya juga." Suara Reya menelusup mencoba menghentikan tangis Lize sedari tadi. Gadis tomboy itu beberapa kali memutar mata jengah melihat bagaimana keadaan teman sepermainannya itu, kini seperti orang gila. 

"Apa perlu gue yang turun tangan nyamperin cewek murahan itu?"

Lantas Lize menggeleng tak mau, semuanya akan bertambah runyam jika Reya mulai turun tangan dan ikut campur atas segala permasalahannya.

"Lo tuh terlalu baik bodoh. Bagaimanapun hubungan antara seorang adik dan kakak gak akan pernah direstui dibelahan dunia manapun. Jika lo gak bisa nyadarin Haru, lo cuma perlu lepasin dia."

Lize menggigit bibir menahan perih didada. "Tapi gue sayang banget sama Haru. Seberapapun gue usaha buat pergi dari dia, gak akan pernah bisa. Gue gak bisa."

Reya mengusap pelipis pusing, entah harus dengan cara apalagi ia menyadarkan gadis disampingnya ini.

"Lo gak bisa karena lo gak mau." Ucap Reya lirih, sedetik kemudian gadis itu membawa Lize kedalam pelukan. Kembali menenangkan riuhan gemuruh rasa sakit dihati sipemilik surai lurus itu.

"Jujur gue muak banget denger kata itu dari lo."

"Kalau muak kenapa didengerin?" tanya Lize sembari menahan isak masih dalam pelukan Reya.

"Karena lo dateng ke gue sambil nangis-nangis. Gimana gue gak iba coba?"

"Yaudah kacangin aja."

Reya menggertakan gigi untuk kesekian kalinya, betapa menyebalkannya Lize jika gadis itu tengah dilanda patah hati. "Kalau lo bukan temen gue, udah gue kutuk lo jadi batu."

"Makasih banget." Isak tangis Lize semakin menggema. "Gue kadang heran kenapa lo bisa tahan sih sama orang kayak gue?"

"Karena gue sayang banget sama lo, sama seperti rasa sayang gue sama Sea, jadi tolong sekali ini aja nurut sama gue, gue gak minta lebih. Gue cuma gak mau lihat lo terluka."

Lize mengeratkan pelukannya, menyadari bagaimana bisa Tuhan memberikan orang sebaik Reya, sepengertian Reya. Meski terkadang gadis itu menunjukan sisi frontal padanya.

"Tolong jangan seperti ini Lize, gue bisa kapanpun ikut campur jika orang yang gue sayang tersakiti kayak gini."

Yuane menajamkan pendengarannya tatkala Jojo menyodorkan handphone miliknya kehadapan Haru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yuane menajamkan pendengarannya tatkala Jojo menyodorkan handphone miliknya kehadapan Haru. Pemuda itu memandang serius sosok Haru yang nampak tak peduli atas apa yang baru saja ia lakui.

"Pacar lo ngedm gue." Setidaknya itulah yang bisa Yuane tangkap sebelum ia mulai menghampiri mereka berdua dimeja makan.

Haru kembali mengolesi sehelai roti dan berlagak tak peduli. "Biarin, jangan dibales."

"Dia pacar lo kalau lo lupa. Gue tahu lo seharian kemarin gak ngabarin dia."

"Penting?"

"Lo tolol apa gimana? dia pacar lo bego."

Haru memutar bola mata malas. "Yaudah biarin nanti gue kabarin."

"Gue gak ngerti sama pola pikir lo. Udah gak sayang lo sama dia?" tanya Jojo masih menatap Haru serius.

"Kalau iya gimana?"

"Tolol!"

Tak ada percakapan lagi setelah itu, hati Yuane mencelos seketika, pertanyaan-pertanyaan itu terus menari dalam kepala, apa ia terlalu jauh sehingga mengubah Haru dan menyakiti Lize sekaligus?

Yuane mencoba meyakinkan diri untuk menghalau segala pikiran negatif yang kini menari-nari. Bingung harus bersikap seperti apa jika memang ia benar-benar menyakiti sesama wanita.

"Bisa temenin gue ke toko buku gak Ane?" Suara Jojo menyadarkan lamunan Yuane. Refleks ia mengiyakan permintaan Jojo tanpa pikir panjang.

"Sekarang?"

Jojo mengangguk sejurus kemudian. "Pakai jaket dulu sana."

"Gak perlu, deket juga dari sini."

Sebelum benar-benar pergi, Yuane mencuci piring bekas makannya diwastafel dapur. Lalu menghampiri Haru sebentar untuk mengucapkan pamit pada pemuda itu.

"Gue pergi dulu, gapapa kan disini sendiri?"

Haru menggeleng seraya tersenyum manis. "Gapapa, tapi jangan lama-lama." ucapnya tak lupa mengelus lengan Yuane pelan dan menyuruh gadis itu untuk segera pergi dari sini. "Hati-hati."

Malam itu, Yuane dan Jojo melenggang pergi berdua meninggalkan Haru bersama pikirannya yang kembali terbagi dalam dua kubu yang berbeda.

Sulit untuk menjelaskan bagaimana rasa pusing itu mendera begitu kuat dalam kepala. Yuane membatin perih, kata bahagia yang sempat ia damba, akankah kembali hilang untuk kesekian kalinya?

Yuane tak tahu harus bersikap seperti apa, ia mencintai Haru, namun disisi lain Lize menjadi bahan pertimbangan betapa kejamnya ia.

"Ane, bukankah ini sudah terlalu jauh? tolong jangan semakin terlena dengan apa yang lo rasai sekarang. Gue mohon.."

Ada jeda beberapa saat, setelah Jojo berucap dan memohon dengan nada lirih. Tak ada jawaban yang melintang diatas kepala, semua seakan kosong tak berupa.

"Kenapa harus Haru Ane?"

Disamping Jojo Yuane menggeleng sembari menyandarkan punggung sendu.

"Bisakah kita memulai untuk melupakan Haru?"

"Bisakah kita memulai untuk melupakan Haru?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Homescapes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang