Satu kata yang dapat mewakili perasaan Lize hari ini, yakni bahagia. Bagaimana tidak, secara tiba-tiba Haru menemuinya dirumah dengan senyum yang merekah. Lalu pemuda itu memohon izin pada sang Bunda untuk membawa Lize pergi bersamanya keperpustakaan kota.
Meski wajah Haru nampak tidak bersalah atas apa yang terjadi di hari-hari sebelumnya, Lize selalu meyakinkan diri bahwa ia baik-baik saja. Haru mungkin butuh sedikit ruang agar berdamai dengan perasaannya.
Keduanya memilih bus kota sebagai alternatif untuk mencapai tempat tujuan mereka. Tak bisa mengendarai kendaraan roda dua dan roda empat menjadi salah satu kendala mengapa mereka rela ikut berdesak-desakkan dengan penumpang lain.
Sungguh, Lize bingung harus memulai segalanya darimana. Setelah keberadaannya yang terasa diabaikan, otak Lize tak mampu menangkap bagaimana ia harus mencairkan suasana secanggung ini.
Dengan gugup ia menyentuh punggung tangan Haru dengan sekali tepukan.
"Kayaknya ada yang salah sama kamu akhir-akhir ini. Atau, apa aku ngelakuin kesalahan sampai semua chat dari aku gak ada yang kamu balas?" tanya Lize mencoba tidak bergetar.
Haru menggeleng, satu senyuman muncul diwajahnya. "Emosi aku lagi gak stabil akhir-akhir ini, aku gak mau kamu jadi pelampiasan dari kekesalan aku."
Lize terenyuh mendengarnya, disatu sisi pikirannya juga dihantam oleh pikiran buruk tentang apakah masalah Haru sebesar itu?
"Kalau ada masalah itu coba cerita, jangan suka dipendem sendiri." Nasihat Lize yang dijawab anggukan oleh lelaki disampingnya.
"Kita lanjutin ngobrolnya ditaman perpustakaan aja, gak enak didengar orang."
Keduanya sama-sama membisu setelah Haru berucap seperti itu. Perlahan Lize menyandarkan diri dipundak Haru dengan mata terpejam. Entah ini adalah kebahagiaan terakhir atau apa, Lize tak pernah tahu. Ia hanya ingin menikmati harum dari baju Haru sebentar saja.
Dua belas menit kemudian bus sampai dihalte depan perpustakaan. Keduanya menunggu selama beberapa saat tanpa suara.
Sedari tadi Lize tak pernah melepaskan Haru, jari jemarinya selalu bertengger dilengan pemuda itu enggan untuk dilepaskan.
"Kamu mau beli makanan dulu?" tanya Haru ketika mereka sudah sampai digazebo taman perpustakaan.
"Nanti aja, kamu gimana?"
Haru tidak langsung menjawab, pemuda disampingnya duduk terlebih dahulu, lalu tertunduk entah maksudnya apa. Lize bahkan tak mengerti mengapa Haru tiba-tiba terlihat menyedihkan seperti ini. "Kamu gak papa?"
Masih menunduk, Haru memainkan kuku-kukunya. "Sebenarnya ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Ngomong aja langsung." ucap Lize tanpa mau basa-basi.
"Beberapa hari ini, aku lagi bimbang." suara Haru begitu lirih, lemas seolah tak ada tenaga untuk berbicara.
Lize mendengus kasar, otaknya sigap menangkap tentang alasan terbesar mengapa Haru menjadi seperti ini.
"Bimbang karena perasaan kamu masih belum juga hilang?"
Tak ada jawaban dari sana. Lize melihat Haru masih tertunduk enggan mengangkat kepala.
"Sampai kapan kamu mau terus begini? entah harus berapa kali lagi aku ngomong sama kamu buat lupain dia Haru. Kalian gak akan pernah bersama."
"Kalau dari dulu aku tahu caranya, aku gak akan pernah merasa sebimbang ini. Perasaan aku terhadap dia tetap aja sama, gak ada yang berubah."
"Terus mau kamu apa Ru? kamu sadar gak sih? kamu bicara kayak gitu tanpa mikirin perasaan aku!"
Haru merasa mati kutu, bibirnya terkatup rapat. Lagi-lagi hatinya merasa tertusuk seribu jarum tajam.
Disampingnya, Lize mulai terisak. "Jangan nangis, aku minta maaf."
Lize mengusap air matanya kasar. "Sudah berapa ratus kali kamu minta maaf sama aku dengan kesalahan yang sama?" Tawa miris mengalun dari mulut Lize.
Ia meratapi nasib, Haru tak pernah berubah dari dulu, menumpahkan segala perasaan bimbang, sedih, dan sakitnya kepada dia dengan permasalahan tentang 'perempuan itu'.
Rasanya iri sekali, melihat bagaimana Haru tak jarang membicarakan kakaknya sendiri dengan seribu satu kesempurnaan yang tak ada habisnya. Sedangkan ia hanya menikmati cerita itu dengan perasaan cemburu yang membara.
Lize tak tahu entah sampai kapan ini akan terjadi, seolah rasa cintanya pada Haru akan berakhir sia-sia. Tapi ia tak akan membiarkan semuanya berakhir menyedihkan, perjuangan Lize harus berbuah manis.
Hanya Haru yang bisa membuat Lize merasa serberbunga ini. Hanya Haru yang bisa meluluhlantakan hatinya setelah tiga tahun menyendiri.
Ia tak ingin segala usaha yang selama ini ditanamnya untuk membuat Haru luluh akan berbuah pahit, Lize tidak rela.
Tangan Lize perlahan meraba pergelangan tangan Haru, menariknya dan membuat pemuda itu menyempitkan jarak diantara mereka.
"Aku mohon bertahan sebentar lagi, kita bisa lakuin sama-sama. Tolong jangan terbujuk rayu oleh nafsu kamu." Mohon Lize dengan pipi kembali digenangi oleh air mata. "Tunggu aku sebentar lagi, aku pasti bisa buat kamu jatuh cinta."
Gak tau ada yang masih baca apa enggak, tapi gatel banget pengen ngelanjutin ini. Kalau ada yang masih baca, aku udah nulis ini sampe akhir dan bakal tamat gak lama lagi.
Maaf juga udah lama gak update, soalnya lagi hectic kuliah:(
KAMU SEDANG MEMBACA
Homescapes
Teen FictionHaru tak pernah menyangka seseorang yang disukainya sejak lama akan berakhir satu atap dengannya. Jika saja waktu bisa diputar, ia akan menentang acara sakral itu dan mengungkapkan perasaannya secara gamblang.