Seperti halnya menyukai jutaan bunga mawar, Lize juga menyukai Haru lebih dari apa yang orang lain lihat tentang bagaimana ia begitu menyanjung tumbuhan berduri itu. Meski berkali-kali Haru mematahkan segala asa yang dibangunnya sejak lama, Lize tetap menyayangi Haru tanpa pernah merasa bosan.
Bagaimana mungkin ia bisa bosan ketika Haru memenuhi semua kriteria laki-laki idamannya?
Tak pernah ada yang bisa meluluhkan hatinya setelah perkenalan mereka tiga tahun silam, Lize benar-benar jatuh, hingga ia dibodohi oleh perasaan yang jelas-jelas bukan untuknya.
Melihat Haru tersenyum adalah hal yang paling sulit, pemuda itu selalu menajamkan pandangan, menyalangkan tatapan seakan ingin membunuh orang-orang disekitarnya.
Haru adalah mahakarya paling sempurna bagi Lize. Tak ada yang bisa mengalahkan, dan Lize tak tahu entah itu akan sampai kapan.
Dulu, Lize pikir ia memang benar-benar bisa menaklukan Haru semudah itu. Bagaimana Haru sering datang untuk menyandarkan kepala dibahunya dan terlelap selama beberapa saat. Tapi semua ekspetasi indah itu runtuh ketika ia lihat Haru menangis disudut ruangan sembari menggumamkan nama Yuane.
Mengingatnya lagi, Lize merasa menjadi orang paling bodoh, bahkan sampai sekarang.
"Mau pesan apa lagi?" Lize bertanya dengan senyum merekah. Sore ini keduanya tengah ada disalah satu kedai ternama diibu kota.
"Ga ada." jawab Haru tanpa berekspresi lebih.
Lize lalu memberikan secarik kertas yang ia tuliskan beberapa pesanan didalamnya pada pelayan, melipat tangan diatas meja dan mengulum bibir melihat keterdiaman Haru yang mulai berbeda.
"Kenapa?" tanya Lize lagi.
Haru menggeleng, lalu tersenyum penuh keterpaksaan. Jika bukan karena situasi tak menyenangkan dirumah, ia tak pernah berniat untuk mengajak Lize pergi keluar.
Tindakannya saat ini jelas seakan menegaskan bahwa Lize memang benar-benar pelampiasan.
"Mata kamu gak bisa bohong, kenapa lagi?"
Melihat keterdiaman Haru, Lize berdecak. Mudah untuk menebak ketika Haru sedang dilanda kesedihan.
Lelaki didepannya ini akan memasang wajah mengenaskan dengan kelopak mata yang menghitam. Lize bisa menebak masalah ini tak akan pernah jauh dari sosok gadis itu.
"Mau sampai kapan terus ada dijalan yang salah ini? Hidup gak selalu tentang apa yang kamu mau, seberapa keraspun kamu meminta untuk bersanding dengan dia, gak akan pernah bisa. kamu harus sadar itu Haru!"
Haru mengangkat kepala sebelum meringis melihat Lize yang terlihat menyimpan rasa sakit karena dirinya. "Aku brengsek ya?"
"Tanpa aku kasih tahupun seharusnya kamu menyadari itu."
"Kenapa kamu selalu mempertahankan perasaan kamu terhadap aku?"
Lize mendengus kasar. "Karena aku sayang kamu. Meski aku hampir setiap hari merasa dibodohi, perasaan itu gak pernah hilang, persis seperti rasa sayang kamu terhadap kakak kamu sendiri."
Pertahanan Lize mulai runtuh, buliran kristal tak dapat lagi ia sanggah. Lize mulai nangis tanpa suara.
Haru tak bisa berbuat apa-apa, laki-laki itu pengecut, tak ada yang bisa dilakukannya selain menenangkan Lize dan mengusap punggung tangan gadis itu lembut.
"Tolong jangan nangis." Pintanya dengan nada rendah.
Lize menyeka air mata, menarik tangan yang tengah Haru elus dan menyimpannya diatas paha.
"Aku gapapa, cuma sedih aja perasaan aku gak pernah berbalas. Dulu aku kira kamu memang benar-benar suka sama aku, karena cuma aku satu-satunya cewek yang deket sama kamu-" Ada jeda sejenak, Lize kembali menyeka buliran krystal dipipi."Tapi ternyata selama ini aku salah, aku cuma sebatas pelarian. Susah banget ya buat lupain dia?"
Haru menunduk dengan perasaan bersalah. "Dia cinta pertama aku. Aku gak tau sampai kapan ini akan berlanjut, tapi buat ngehilangin perasaan ini aku gak yakin bakal bisa."
Lize mengusap wajahnya kasar mendengar jawaban Haru. Rasanya lelah sekali berjuang sendirian, menyimpan perasaan sayang mati-matian dan taj pernah sedikitpun terbalaskan.
"Jujur aku capek Haru, seberapa keraspun aku mencoba buat ngingetin kamu, nyatanya gak pernah kamu dengerin."
"Aku juga bingung aku kenapa, aku juga ga tahu harus gimana." jelas Haru makin merasa frustasi.
Lize sudah tak tahan dengan situasi seperti ini, amarahnya mulai muncul dan naik hingga ubun-ubun.
Tangan gadis itu sontak terangkat, dan menunjuk wajah Haru penuh kekesalan. "Kamu merasa bingung karena kamu tuh pengecut! Kamu gak pernah mau buat berubah, kamu gak pernah mau buat berusaha keluar dari zona setan kayak gitu."
"Bukan aku gak mau Lize, tapi seberapa keraspun aku berusaha, aku gak bisa."
"Apa yang udah setan itu lakuin sih sampe kamu jadi kayak gini?"
Mata Haru membelalak tak percaya. "Apa kamu bilang? kamu siapa aku tanya sampai berani bilang Kak Yuane dengan sebutan kayak gitu?"
Situasi kian memanas, tanpa menghiraukan sekitar, Lize lagi-lagi terpancing dengan pembelaan Haru.
Ia terkekeh sinis. "Mulai kan. Tiap kali kita bertengkar karena kakak sialan kamu itu, kamu selalu kayak gini, selalu berusaha belain dia sekalipun dia bawa pengaruh buruk buat kamu."
"Bukan begitu, tapi-" sanggahan Haru terhenti ketika Lize menyela ucapannya.
"Tapi apa? tapi kamu akan melanjutkan dosa ini sampai hari-hari selanjutnya? kamu benar-benar gila Haru!"
Pipi Lize kian memerah, meluapkan segala amarahnya, ia menangis lagi dengan air mata yang tambah deras.
"Terus kamu maunya apa? aku ada dijalan aku sendiri, aku gak pernah minta kamu buat suka sama aku, tapi kamu selalu datang dan nawarin pundak kamu lagi secara suka rela."
"Karena kamu yang datang duluan Haru! Kamu yang selalu tiba-tiba datang dengan wajah sedih dan aku dengan bodohnya gak bisa nolak tiap kamu nyandar gitu aja. Aku capek Haru!"
Lize benar-benar frustasi sekarang, tanpa pikir panjang ia meraih dompetnya dalam tas, mengambil selembar uang merah dan melemparkan benda tipis itu kewajah Haru.
"Stok kesabaran aku benar-benar udah habis. Terserah kamu maunya apa. Mau kamu lanjutkan perasaan hina itu sampai masuk nerakapun aku gak akan pernah peduli lagi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Homescapes
Teen FictionHaru tak pernah menyangka seseorang yang disukainya sejak lama akan berakhir satu atap dengannya. Jika saja waktu bisa diputar, ia akan menentang acara sakral itu dan mengungkapkan perasaannya secara gamblang.