19. Mengukir Kenangan

338 38 20
                                    

Selamat malam, mari dilanjut lagi bacaannya!

Tap bintangnya dulu boleh?

Sudah?

Thankyou to the moon and back!

Happy reading!

~IKKO

🌹🌹🌹

🌹🌹🌹

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

19. Mengukir Kenangan

"Bara, itukah kau? Anak Umi? Kemana saja kamu, Nak? Umi merindukanmu dan Abahmu. Mana Abahmu sekarang, Bara?"

"Iya, Umi. Ini saya, Jabbara Ali Assidqi, anak laki-laki Umi satu-satunya. Pulang yuk, Mi, ke Surakarta. Bara ke sini untuk menjemput Umi."

Air mataku meleleh, rasa trenyuh menyerbuku, menyaksikan percakapan Bara dengan Uminya di sebuah taman luas pada samping gedung Panti Jompo ini.

Di taman ini, ada beberapa lansia, laki-laki dan perempuan yang sedang duduk-duduk menikmati waktu sore. Beberapa di antaranya tampak sendiri dan termenung kesepian, yang lainnya ditemani perawat yang mendorong kursi roda mereka.

Uminya Bara tampak sehat, wanita 60 tahunan bertubuh gemuk itu mengenakan ciput rajut hitam di kepalanya, menutupi rambut putihnya yang sebagian keluar. Mengenakan kebaya hijau muda dan berkalung syal putih yang tampak luwes di tubuhnya. Sosoknya begitu keibuan. Kulitnya putih berseri, hidungnya semancung hidung Bara.

Pasti di masa mudanya, beliau sangat cantik, batinku tertegun.

Percakapan itu, entah kenapa membuat air mataku mengalir deras, aku pun segera dirangkul Buliknya Bara yang menangis juga.

Pasalnya, Uminya Bara kemudian diserang kepikunan lagi, beliau mengernyitkan kening, mendorong tubuh Bara dan berkata. "Ka-kamu siapa? Jangan sentuh-sentuh saya, saya tidak mengenalmu sama sekali!"

Bara bersimpuh di kaki Uminya. "Ini saya, Jabbara, Mi. Putranya Umi."

"Putra? Saya tidak pernah punya anak. Jangan mengada-ada di depan saya! Tolong!"

Mendengar itu, keluarga Bara yang menyaksikannya seketika bersedih, beberapa ponakan Bara bahkan terisak. Aku pun sama, terisak sedih menyaksikannya.

Kulihat selanjutnya para perawat datang karena Uminya Bara menangis minta dibawa masuk. Bara pun bangkit berdiri dan meraup wajahnya dengan kedua tangan, ia tertunduk dan menangis.

"Mari kita kembali ke hotel," ajak Bulik sambil menggamit lenganku. "Memang begitulah realitanya, Nduk. Kita butuh waktu untuk membawa Uminya Bara pulang."

Aku pun hanya mengangguk dan mengikuti langkah kaki Bulik. Kulihat Bara lantas menyusul langkah kami. Ia tampak terus mengusap air matanya.

🌹🌹🌹

AMIN YANG SAMA √ (Selesai - Epilog)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang