7. Menyelam di kerak

4 2 0
                                    

Pagi ini kelas IPA-2 disambut dengan jam olahraga, anak-anak terlihat tak bersemangat ketika Pak Tegar meminta mereka mengganti seragam sekolah dengan baju renang. Pasalnya, tak ada pemberitahuan apa pun jika jam olahraga kali ini diharuskan berenang. Semua siswi IPA-2 berjalan menuju loker untuk mengambil baju masing-masing.

“Seharusnya tadi aku jangan mandi dulu,” cecar Yuri saat baju renangnya sudah di tangan.

“Nggak boleh begitu, Yuri. Jorok,” timpal Yura. Keduanya saudara kembar yang kebetulan satu kelas. Sementara yang lain hanya pasrah dan segera berganti pakaian. Begitu pun Kiki dan Kesy, mereka terlihat tidak akrab sejak pagi ini. Kesy menganggap Kiki menjaga jarak darinya. Sejak jam pertama keduanya belum bicara. Kesy juga mengkhawatirkan Kiki, wajahnya pucat saat Pak Tegar meminta mereka berganti seragam.

Setelah berganti pakaian, siswa IPA-2 berjalan ke kolam renang yang telah disediakan oleh sekolah. Kolam renang ini termasuk fasilitas sekolah, letaknya berada di gedung olahraga lantai pertama. Jadi, mereka harus menuruni dua lantai lalu melewati kantin dan gedung perpustkaan untuk sampai di kolam renang. 

Selagi berjalan, Kesy terus melirik Kiki. Di balik anak rambutnya, ada ketegangan juga kekhawatiran yang memenuhi wajahnya. Kesy merasa bersalah karena tidak menghampiri gadis itu, dia tidak bisa terus mengabaikan sahabatnya.

Pak Tegar tengah menjelaskan berbagai gaya renang dan cara bernapas yang benar di dalam air. Setelah lima belas menit menjelaskan materi, dia langsung menyelam ke dalam air untuk melakukan praktik. Pak Tegar berenang dengan cepat dan gaya memukau. Semua siswa terkagum saat memperhatikannya dan memberikan aplaus untuknya. Pak Tegar adalah guru kedua setelah Mr. Antoni yang memiliki wajah rupawan. Keduanya belum menikah dan masih muda. 

“Dia mantan atlet renang, kan?” Vela bertanya pada Kiki, yang jelas saja dia akan diam. Karena Kiki tidak mengetahui apa pun selain rumus Fisika.

Fani menampar pundak Vale, “Jangan tanya dia, bodoh. Otaknya cuma ada angka dan rumus.”

“Bukan, Val. Dia gagal jadi atlet, karena itu dia mengajar,” bisik Nina ke telinga Vale. Bisikan ini sampai di telinga Pak Tegar yang sudah berdiri di hadapan para siswa.

“Dilarang bergosip di tengah jam pelajaran saya,” tegasnya. Semua siswa bersiap sedia dengan posisinya masing-masing. “Oke, saya minta kalian mempraktikkan gaya renang yang kalian bisa sebagai presensi dan nilai praktik olahraga renang. Ada yang tidak bisa berenang?”

Semua siswa saling pandang, mereka tahu ada satu siswa yang tidak bisa berenang, dan mereka yakin Pak Tegar juga masih ingat dengan namanya.

Kesy mengetahui Kiki tidak bisa berenang. berkali-kali dia melirik Kiki, tapi Kiki bak patung yang tidak bernapas. Anak keringat terlihat membanjir di dahinya.

“Ada, Pak,” jawab Kesy. Semua memandang ke arah Kesy, kecuali Kiki.

“Kenapa?” Alih-alih bertanya siapa, Pak Tegar memilih bertanya alasan. Ini membuat Kesy ragu menjawab, sedangkan Kiki masih bergeming.

“Begini, Pak. Dia ….”

“Yang tidak mau mau atau tidak bisa berenang silakan keluar dari kelas ini,” ucapnya memotong ucapan Kesy. Pak Tegar mulai mengambil handuk dan mengeringkan tubuhnya. “Saya harap kalian tidak lupa dengan perjanjian kita saat kelas sepuluh. Itulah alasan saya kenapa kita langsung memulai kelas dengan praktik, bukan teori,” lanjutnya.

Semua siswa memang mengenal Pak Tegar karena dia adalah guru olahraga yang setia mengajar dari kelas sepuluh. Guru olahraga untuk kelas IPA hanya ada dua, dan sebagian kelas IPA-2 tahu betul cara mengajar Pak Tegar. Dia tidak menoleransi sikap takut atau menyerah sebelum perang. Baginya, hal itulah yang menghambat pertumbuhan anak-anak. Pak Tegar sangat mencintai tubuhnya, dia membuat tubuhnya begitu indah dan dia ingin anak-anaknya memiliki tubuh yang sehat dan ideal. 

Kesy merasa bimbang, ditambah melihat Kiki yang tidak berkedip. Dia menghampiri Kiki, dan berbisik di telinganya, “Ki ….”

“Harusnya kamu diam saja,” desis Kiki. Kesy merasa kecewa saat mendengar Kiki yang begitu dingin terhadapnya. Padahal Kesy sangat memedulikannya. 

“Oke, karena tidak ada yang keluar, saya anggap semua mampu mengikuti kelas ini,” selorohnya. Semua siswa mengembuskan napas, Pak Tegar mulai membuka map plastik yang dibawanya sejak berdiri di depan kelas.

“Kita mulai dari urutan satu sampai lima, silakan.”

Sementara menunggu giliran, siswa yang tidak terpanggil duduk di tepi kolam. Kesy menghampiri Kiki dan menyeretnya keluar dari gedung olahraga. Kesy merasa Kiki harus menjelaskan tindakan bodohnya.

“Jangan gila, Kiki. Dulu kamu hampir mati karena tenggelam,” sembur Kesy saat mereka sudah berada di luar.

“Ada Pak Tegar di sini,” jawab Kiki dengan tenang. Nadanya sangat datar, membuat Kesy harus menggeleng.

“Kamu yakin Pak Tegar memberimu kesempatan bernapas?”

“Kalau tidak, dia masuk penjara.”

“Kiki aku serius. Kamu tidak bisa memaksakan diri.”

“Bagaimana Mama semalam, Ke?”

“Apa?” Kesy melongo, dia baru menyadari kebiasaan Kiki yang selalu mengubah topik.

“Apa dia merasa senang?” tanya Kiki.

“Tante Rena selalu murung. Kamu juga tahu itu.”

“Dia harus merasa bersalah untuk menebus dosanya.”

“Dosa?” Kesy mendengus kesal, “Apa kamu merasa jadi Tuhan bisa menilai dosa dan pahala? Yang harusnya berdosa itu kamu!”

“Kamu hanya belum mengerti, Kesy,” ucap Kiki dengan tatapan sendu, pikirannya kalut. Dia tak berani menatap wajah ayu milik Kesy. Kesy pasti bisa memahami keadaan hati Kiki.    

“Kiki, aku mengerti bagaimana posisimu, tapi membenci Tante Rena itu perbuatan durjana. Kamu membuatnya terlihat hidup di neraka.”

“Dia lebih membuatku seperti hidup di kerak neraka,” timpal Kiki yang langsung membungkam bibir Kesy. Mereka saling berdiam dalam beberapa detik sampai terdengar Pak Tegar memanggil nama Kesy.

“Kesy gita ayudisha,” panggilnya berulang.

Kesy tak bisa terus berdiam, dia segera bersiap untuk menemui Pak Tegar.

“Jadi, sudah biasa makan kerak, ya, kamu?” cibir Kesy berlalu dari hadapan Kiki.

Kiki menggaruk hidungnya. Dia tidak yakin dengan perkataan Kesy, apakah itu sindiran atau pujian. Namun, Kiki merasa itu bukan apa-apa. Sekarang dia mendapat informasi baru yang membuatnya yakin. Hatinya berbisik, Mama merasa bersalah, apa aku harus memaafkannya?

Kiki kembali masuk ke gedung dan memperhatikan Kesy berenang. Gadis cantik itu memiliki tubuh yang ramping, caranya berenang seperti lumba-lumba, lincah dan penuh energi. Dia berhasil mencapai angka tiga menit pada renang 100 meter gaya bebas. Itu kecepatan perenang yang baik meskipun bukan yang tercepat, karena dia bukan atlet renang. Dia duduk dengan bangga bak dewi duyung, bahkan dalam keadaan basah kuyup pun tidak mengurangi kecantikannya. Semua siswa bertepuk tangan untuk Kesy dan Pak Tegar memberinya nilai memuaskan karena usahanya menaklukkan air dengan baik. Namun, Kesy mengabaikan semua pujian yang menghampirinya. Dia lebih memilih mendekati Kiki.

“Kalau kamu tenggelam, aku bisa menolongmu.”

“Dasar gadis picik,” umpat Kiki saat Kesy berdiri di depan matanya. Kesy tertawa.

“Kinara Danurdara, silakan,” panggil Pak Tegar.

Kiki segera bersiap mengambil kacamata, beberapa pasang mata menatapnya. Mereka terlihat menelan ludah saat Kiki mulai berjalan, tetapi Kesy menepuk pundak Kiki.

“Kiki, kamu yakin?” Kesy mulai khawatir.

“Biar aku jelaskan sebentar, Ki. Ada beberapa konsep Fisika dalam renang. Gaya apung, tegangan permukaan, hukum newton dan hambatan air. Aku sudah berteman dengan mereka, jadi aku yakin mereka tidak akan mengkhianatiku,” ucapnya dengan lantang. Mendengar itu, beberapa pasang mata yang masih memperhatikannya berdecak kagum.
 
Kesy tidak berniat membantah lagi, dia hanya bisa membiarkan Kiki berjalan hingga di posisi start. Sampai Pak Tegar meniup pluit, Kesy terlihat khawatir. Namun, rasa khawatirnya segera hilang saat melihat Kiki mulai menyelam dengan baik.

"Sekarang kamu menyelam di kerak, ya, Ki," ucapnya tersenyum.

Epiphany Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang