15. Keraguan

1 0 0
                                    


Selasa yang memesona. Mentari pagi menyapa semesta dengan sinar yang cerah. Kehangatannya menyambar dengan cepat dari dinding menuju lantai kamar Kiki. Menyadari itu, Kiki membuka mata lebih lebar. Dia bangun dan langsung meminum air bening yang ada di nakas. Tak lupa dia tersenyum kepada bingkai foto yang tak pernah usang, selalu dirawatnya hingga bersinar. Bingkai itu menampilkan dua gadis kecil yang sangat manis, Lisa dan dirinya. Kini, setelah melewati tiga tahun masa kesepian, Kiki merasa semangatnya kembali membara. Sebagian jiwa yang hilang akan segera utuh. Masih terbayang ucapan Hendra semalam, dia akan membawa Lisa secepatnya, Lisa akan kembali. Betapa bahagia Kiki mendengar itu. Tak henti-hentinya dia tersenyum memandangi foto masa kecilnya bersama Lisa.

Tiba-tiba ponsel yang berada di samping bingkai itu membunyikan bip, notifikasi yang ada di bilah layar kunci mengalihkan perhatiannya. Kiki segera mengambil ponselnya dan membaca siapa yang mengirim pesan sepagi ini.

Selamat pagi, Putri Einstein. Mau berangkat bareng, nggak? nanti aku jemput.

Senyumnya semakin merekah. secepat ini kah perasaannya tumbuh? tidak, Kiki segera menggeleng. Dia selalu diantar Pak Karno, tidak bisa dibayangkan bagaimana rasanya dijemput dan berangkat bersama laki-laki yang baru dikenalnya kemarin. Kiki belum pernah merasakan hatinya sebuncah ini dengan perasaan yang dia sendiri belum dapat memahami. Terlalu dini untuk menyebutnya jatuh hati. Kiki tidak ingin menyakiti hatinya dengan melabuhkan perasaan yang belum pasti. Dia masih ragu, dan belum tentu Galen merasakan hal yang sama.  Kiki segera mengetik balasan untuk laki-laki itu

Tidak perlu, biasanya aku akan diantar Pak Karno ke sekolah.

Ada sedikit rasa menyesal dalam perasaannya ketika menolak tawaran itu. pasalnya, ini adalah hal baru bagi Kiki, dan itu masalahnya. Prinsip hidup Kiki haruslah mencoba hal baru. Dia menggenggam erat ponselnya, kemudian benda pipih itu berdering lagi. Kedua matanya membelalak, Monokrom? sudah lama dia tak mendapat pesan dari saudarinya itu.

Jika kejujuran adalah kejahatan dan berbohong adalah kebaikan, mana yang akan kamu pilih?

Kiki termenung sejenak, dia tak pernah memahami setiap teka-teki yang dimainkan Lisa. Namun, dia memegang satu kunci yang tidak pernah lepas dari genggamannya.

Maka aku akan diam, balasnya.

Tanpa menunggu lama, Kiki mendapat balasan lagi. Itulah kesalahanmu.

Kiki semakin tak mengerti. Singkat dan tidak jelas, kesalahan apa yang dimaksud Lisa?

“Kiki Sayang?”  

Suara Rena membuyarkan pikirannya, dia segera meletakkan ponsel dan membuka pintu yang masih terkunci. Kiki melihat sang mama sudah rapi dengan pakaian modisnya, berbanding terbalik dengan anaknya yang masih memakai piyama. Kiki tahu, Rena tidak pernah terlambat masuk kerja. Dia juga tahu, seberapa sering Rena begadang. sejak dulu, Rena selalu menganggap pekerjaan adalah hidupnya, dan uang adalah kebahagiannya. 

“Ya, Ma.”

“Baguslah kalau sudah bangun, cepat mandi, Mama tunggu di bawah ya, Nak,” ucap Rena setelah melihat anaknya sudah berdiri di pintu. Kiki mengiyakan.

Setelah melihat punggung Rena menuruni tangga, Kiki segera menutup pintu. Pandangannya beralih pada meja, tempat tumbuhan itu hidup. Dia mendekat dan memeluk kaktus kecil yang masih memekarkan bunganya. “Kamu masih cantik,” katanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Epiphany Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang