Kiki kembali ke kelas dengan wajah tertekuk. Kesy yang sudah duduk di kelas melihat Kiki begitu iba seakan dalam wajahnya terlukis banyak beban."Nggak jadi pinjam buku, Ki?" tanyanya saat Kiki mendekat.
Kiki langsung duduk di samping Kesy. Dia menggeleng sebagai respons dari pertanyaan sahabatnya.
"Iya, kan? Harusnya aku membawa buku itu, tapi laki-laki tidak tahu diri merebutnya."
"Laki-laki tidak tahu diri? Siapa?" Kesy menyipitkan mata.
"Arsenio, aku masih mengingat nama itu," ucap Kiki.
"Apa perlu kita ke toko buku, Ki? Nanti aku temenin."
"Dia laki-laki dari gedung Da Vinci, kenapa dia meminjam buku Fisika?"
"Ki?" Kesy mengernyit tak percaya karena Kiki tak memperhatikan pertanyaannya. Dia terlihat begitu kesal hingga tak bisa mengikhlaskan kejadian di perpustakaan tadi.
"Ke, kamu suka membaca novel?"
"Aku tidak sempat membaca, Ki. Kamu tahu, aku sibuk dengan suaraku."
"Ya, benar. Suaramu adalah hidupmu. Fisika adalah mimpiku."
Kesy tertawa. "Kamu kenapa, Ki?"
"Jujur saja, aku merasa tersinggung dengan ucapan Pak Kardi, walaupun itu hanya kutipan."
"Apalagi itu, Ki?"
Kiki tak sempat menjawab lebih lanjut interogasi dari Kesy. Seseorang menarik perhatiannya, dia mengangkat kepala saat Kevin berdiri di depan kelas. Semua memperhatikan dan menantikan ketua kelas akan bicara. Kesy pun merasa penasaran apa yang akan disampaikannya.
"Teman-teman, pelajaran ketiga kita kosong, Pak Ardi tidak masuk hari ini. Sebagai gantinya, kita disuruh membuat kelompok untuk tugas minggu depan. Kelompok dibagi sepuluh, dan setiap kelompok terdiri dari 4-5 anggota. Saya akan membagi kelompoknya, mohon jangan ada yang keluar dari kelas ini."
Setelah pengumuman itu, Kevin kembali duduk dan sibuk membagi anggota. Semua anak membiarkan Kevin bertugas seorang diri. Sementara Kesy kembali menatap Kiki, dia menyadari mimik wajah Kiki tak bersahabat sejak tadi pagi.
"Kiki, kenapa hari ini wajahmu suram sekali? Aku nggak yakin kamu baik-baik saja."
Kiki menggaruk hidungnya. "Nggak, Ke. Kamu salah, bahkan aku jauh lebih baik. Sejak aku melewati gerbang dan melihat sekolah ini, semangat hidupku kembali. Bunga jiwaku yang layu kini tumbuh mekar, dan kamu tahu, Ke? Kaktusku memekarkan bunga yang sangat indah pagi ini."
"Serious? Ah, aku jadi penasaran, nanti aku main ke rumahmu ya, Ke," pinta Kesy dengan semangat. Kiki mengiyakan permintaan sahabatnya itu.
"Oh ya, tentang kaktusmu. Aku kira dia akan mati. Sudah lama bunganya tidak mekar."
"I think so too," ujar Kiki.
Kevin kembali berdiri di depan kelasnya, dia menulis nama-nama untuk dibagi menjadi sepuluh kelompok. Kesy melihat namanya berada pada urutan pertama, sedangkan nama Kiki berada di urutan kelima. Rupanya, mereka tidak satu kelompok.
"Ki, kamu satu kelompok sama aku." Ucapan itu terlontar begitu saja dari bibir Kevin sembari tersenyum, dan posisinya masih berdiri di depan whiteboard. Hal ini mengundang ocehan teman satu kelas yang mengira Kevin masih menyukai Kiki.
Kelas menjadi riuh rendah seketika, semua memandang ke arah gadis genius yang duduk di samping Kesy. Kiki memasang wajah datar tanpa berterima kasih sebagai jawaban."Rupanya Kevin masih menyukaimu, Ki." Kesy hampir tertawa dengan ucapannya, Kiki tak acuh. Kevin memang mengaku menyukai Kiki sejak kelas sebelas, tetapi sekali pun Kiki tak pernah menerimanya.