Awan bergerak dengan cepat, jam dinding di kamar Kiki semakin bergulir. Hampir setiap malam Kiki berkutit dengan soal-soal Fisika, dan sesekali melirik pelajaran lain sehingga dia tidak merasa tertinggal. Seperti saat ini, dia sedang mempelajari materi bahasa Indonesia yang akan dipresentasikan hari Rabu. Seperti biasa, Rena diam-diam memberi perhatian kepada Kiki dengan menyiapkan segala kebutuhannya, sehingga Kiki tidak perlu kerepotan menahan rasa lapar. Kiki mengetahui perhatian Rena. meskipun sikapnya masih dingin kepada sang mama, Kiki tetap menghargainya dengan menerima semua perhatian itu diam-diam. Kiki merasa masih butuh waktu untuk memperbaiki hubungannya dengan sang mama.Kiki sering memperhatikan Rena mondar-mandir di ruang kerjanya, sesekali mengusap keringat. Pernah, Rena terciduk meminum obat tidur agar matanya terlelap. Kiki dapat merasakan begitu sulit bagi Rena menjalani hidupnya, dan Kiki masih tak peduli. Dia lebih memedulikan ponsel, menunggu notifikasi sebuah pesan dari Monokrom. Besok aku kembali atau mari bertemu, hanya pesan itu yang diharapkan Kiki. Dengan begitu, dia akan berterima kasih dan memeluk sang mama, tetapi bayangan itu tidak pernah menjadi kenyataan hingga sekarang.
Selain belajar keras di rumah, Kiki mendapat kelas tambahan untuk belajar Fisika. kelas itu berlangsung di sekolah dan dibimbing oleh Bu Ika, Kiki tidak belajar sendiri, tetapi bersama beberapa juniornya. Selain Kiki, sebenarnya Kevin juga mengikuti kelas olimpiade, tetapi dia selalu kalah. Kevin pernah berusaha mendekati Kiki dengan menanyakan soal Fisika yang masih belum dipahaminya sebagai modus, tetapi tak digubris Kiki. Dia menganggap Kevin hanya mengganggunya. Bahkan, Kiki sangat hafal dengan suara sepatu Kevin. Setiap suara itu mendekati kursinya, Kiki akan segera berteriak. “Don’t disturb me, Kevin!”Lalu kevin akan memukul dadanya dan mundur satu langkah, para junior meliriknya dengan iba, belum apa-apa sudah ditolak duluan. Bagi kevin, penolakan ini sudah biasa. Prinsip asmaranya sejak empat semester tidak berubah, tidak ada kata menyerah untuk menumbuhkan cinta di hati Kiki.
Kesy tertawa ketika mengingat cerita itu, dia merasa kasihan terhadap Kevin. Sama seperti saat ini, saat mempresentasikan materi bahasa Indonesia, Kiki mengabaikan Kevin yang sedang mengajaknya berdiskusi. Terkadang, Kesy menganggap sikap Kiki itu sangat berlebihan.
“Sekian presentasi dari kelompok kami, terima kasih.” Kevin menutup presentasinya dengan singkat, semua siswa di kelas itu bertepuk tangan, dan guru bahasa Indonesia langsung keluar dari kelas bertepatan dengan suara bel, sedangkan Kiki dan kelompoknya kembali ke kursi masing-masing.
“Cuek banget, Ki. kasihan Kevin,” sembur Kesy. Kiki tidak langsung duduk di kursinya, dia membereskan beberapa buku yang berserakan di meja.
“Suruh siapa dia suka sama aku,” sungut Kiki. Tangannya sibuk memasukkan semua buku ke ransel.
“Kamu tahu, Ki—“
“Ke, please. Sekarang bukan waktunya untuk ceramah. Aku ada kelas tambahan siang ini, kamu bisa pulang duluan, Ke,” ucap Kiki tanpa berkedip, dengan cepat tubuhnya menghilang dari pandangan Kesy.
Kesy menelan ludah, pemandangan ini sudah biasa dia lihat. Namun, baru kali ini ada perasaan asing yang menelusuk dalam sanubarinya. Sejak pagi, Kesy dapat melihat mata Kiki semakin hitam bulat, dan kiki tidak menyadari itu. Kesy jauh mengenal Kiki, dia tahu meskipun bukan tipe gadis feminin, Kiki tidak pernah lupa untuk menutup mata pandanya dengan concealer. Tidak cukup keras kepala membutakan dirinya, sekarang dia tidak memperhatikan tubuhnya. Kesy khawatir kesehatan Kiki kembali drop.
“Berapa hari kamu tidak tidur, Ki?” lirihnya.
***
Kiki berjalan tergesa ke perpustakaan, saat di kelas tambahan tadi dia tidak menemukan jawaban untuk materi Elastisitas. Kali ini, dia tidak sendiri. Seorang junior bernama Vika tengah bersamanya. Kiki diperintahkan Bu Ika untuk menjelaskan materi Elastisitas kepada Vika. Setelah menjelaskan sedikit materi Elastisitas, Kiki menyuruh Vika untuk mengerjakan soal-soalnya. Namun, Vika merasa kesulitan dan Kiki kekurangan referensi. Akhirnya mereka memilih ke perpustakaan untuk mencari tambahan referensi. Untungnya perpustakaan tutup jam tiga sore, masih ada waktu dua jam untuk mencari referensi untuk masalah fisikanya.
“Selamat siang, Nona Kiki,” sapa Pak Kardi, tetapi Kiki tak menoleh. Dia menyelonong seperti tak punya sopan santun. Pak Kardi hanya mengelus dada.
“Selamat siang, Pak Kardi,” sahut Vika. Mendengar suara lembut itu, Pak Kardi tersenyum, hatinya merasa lebih baik. Tidak seperti Kiki, Vika telah menerapkan dengan baik budaya sekolah, yaitu salam, sapa, dan senyum.
“Cepat, Vika,” tegur Kiki. Melihat Vika yang tertinggal di belakangnya, Kiki merasa gadis itu lamban.
“Baik, Kak,” balas Vika dengan intonasi tenang. Dia berusaha menjajarkan langkahnya dengan sang senior. Para junior di kelas olimpiade sudah hafal bagaimana tabiat Kiki, sehingga setiap perkataan tak enak dari Kiki tak pernah dimasukan ke hati.
Perpustakaan ini cukup besar, ruangannya tiga kali lebih besar dari ruang kelas. Kursi dan meja ditata cukup baik sehingga tak merusak pemandangan, warna dinding di sini sangat cocok untuk interior perpustakaan yang minimalis. Sekolah memilih oranye senja sebagai warna ciri khasnya, sehingga menimbulkan kesan nyaman dan hangat untuk dipandang. Semua buku hampir tersedia, karena itu rak-rak di perpustakaan ini menjulang tinggi sehingga jika buku yang dicari berada di bagian atas, butuh kursi untuk mengambilnya. Pustakawan bekerja sangat keras, mereka telah membagi buku sesuai kategori dan tahun terbitan. Tahun terbitan lama diletakkan di atas, dan seterusnya sehingga memudahkan para siswa melakukan pencarian. termasuk Kiki. Dia tidak harus menelusuri setiap sudut rak untuk mencari buku yang dicari, hanya saja dia bingung memilih buku mana yang sesuai dengan kebutuhannya saking banyaknya buku itu. Vika berada di samping Kiki, dia pun bingung memilih buku yang mana. Akhirnya dia hanya memindai secara horizontal setiap buku yang tersusun rapi itu dengan jari telunjuk.
Kiki berdiri tepat di buku berjudul Bank Soal Fisika yang terbit tahun 2017. Buku terbitan tahun lama itu menarik matanya. Dia yakin dapat menemukan jawaban dari materi Elastisitas di sana. Akhirnya dia mengambil buku itu dan hendak membawanya di meja.
“Apa dengan cara memindai buku dengan jari telunjuk kamu bisa menemukannya dengan cepat?” Vika terlonjak mendengar sindiran Kiki, dia berhenti memindai dan menumpangkan tangan di atas perut.“Cari kursi,” seru Kiki. Vika langsung mengangguk.
Dia berjalan menuju kursi di sekitarnya yang kosong, dan Vika mengikutinya dari belakang.
Saat duduk, Kiki langsung membuka buku itu dan melihat daftar isinya. Dia menyibak halaman demi halaman dengan cepat. Vika berpikir jemarinya sigap karena Kiki sering membuka buku dan itu wajib diacungkan jempol.“Ini soal yang tadi, jawabannya ada di sini. Kamu pahami dan silakan salin sendiri, Vika. Rumusnya masih sama, jadi aku tidak perlu menjelaskan lagi. Aku yakin gadis manja dengan otak se-encer kamu akan langsung mengerti,” terang Kiki tanpa ragu.
Vika mengiyakan setiap kata yang dilontarkan Kiki dengan sabar, dia tak bisa mengumpat meski dari hati. Hati Vika terlalu bersih, dia tak ingin mengotori hatinya hanya dengan ucapan yang kasar.
