12. Bertemu Lagi

2 1 2
                                    

Sementara membiarkan Vika mengerjakan tugasnya, Kiki mencari buku referensi lain untuk persiapan olimpiade-nya. Dia berdiri di depan rak dan menatap semua judul buku Fisika yang ada di sana. Tiba-tiba Kiki teringat dengan buku Fisika yang dibawa Arsenio minggu lalu. Dia penasaran buku itu di mana sekarang. Akhirnya Kiki berjalan menuju meja pustakawan untuk menanyakan keberadaan bukunya.

"Hallo, ada Pak Kardi?" teriaknya. Suara Kiki jelas mengundang perhatian semua penghuni perpustakaan. Untungnya di perpustakaan hanya sedikit anak yang singgah. Merasa Namanya dipanggil, Pak Kardi keluar dari bilik yang ada di belakang meja dan segera menemui pemilik suara itu.

"Ya?"

"Pak Kardi ingat laki-laki yang meminjam buku Bank soal Fisika minggu lalu?"

"Ya, itu Nak Arsenio," jawab Pak Kardi.

"Dia sudah mengembalikan bukunya atau belum, Pak?"

"Belum."

"Loh, kan ini sudah batas akhir peminjaman."

"Nak Arsen kalau minjam buku biasanya mau diperpanjang," terang Pak Kardi. Pernyataan itu membuat Kiki jengkel.

"Untuk apa memperpanjang buku itu, padahal bukan anak Newton," gumam Kiki.

"Coba saja datangi anaknya, kalau bisa rayu dia agar mau mengembalikan bukunya," saran Pak Kardi, dan Kiki merasa itu bukan ide yang buruk. Dia berpikir sejenak, mungkin dia masih ada di sekolah ini.

"Kak Kiki, saya sudah selesai mengerjakan soalnya," ujar Vika membuyar pikiran Kiki.

"Good job, ayo kita balik ke kelas," ajaknya.

"Siap, Kak. Permisi, Pak Kardi," ucap Vika diiringi senyumnya yang manis.

"Silakan, Nak."

Vika dan Kiki berjalan menuju kelas anti berisik, tempat tongkrongan anak yang mengikuti klub Fisika. Kelasnya berjarak tidak jauh dari gedung perpustakaan. Saat hampir tiba di kelas, sesuatu menarik matanya. Langitnya biru sempurna, tanpa awan yang menutupi. Siang ini begitu cerah dan Kiki merasa gerah. Tiba-tiba ponselnya bergetar, Kiki mengambil ponsel di sakunya.

Ki, kamu masih di mana?

Pesan dari Kesy. Dia mendengar deru napas seseorang. Ternyata Vika masih di sampingnya, Kiki baru menyadari keberadaan Vika. "Kamu duluan masuk."

Vika memaksakan diri untuk tersenyum. Dia hampir menggeleng lalu mengangguk. Kiki menghiraukan tatapannya, dia segera menyentuh ikon telepon genggam berwarna hijau untuk menelepon Kesy.

"Aku di depan ruang anti berisik. Kenapa, Ke?" sahut Kiki Ketika Kesy sudah mengangkat teleponnya.

"Aku mau bertemu kamu sebentar ya," pinta Kesy. Nadanya terdengar riang. Kiki terdiam, saran Pak Kardi terngiang di pikirannya.

"Ya, boleh. Kamu di mana? Biar aku yang ke tempatmu."

"Ruang Melodi," jawabnya. Sudah pasti.

"Oke, aku ke sana."

Kiki menutup telepon dan memasukkannya ke saku. Dia tergesa menuju ruang melodi, ruang musik yang baru dilihatnya kemarin. Entah apa yang membuat Kiki menjadi ingin ke ruang melodi daripada melanjutkan belajar Fisika atau mungkin dia di sana.

Saat menaiki tangga, dia dikejutkan dengan seorang anak perempuan yang sedang menyalakan kamera. Dia tahu anak itu sedang melakukan siaran langsung dengan kamera ponselnya di sekolah. Memang tidak ada larangan, tetapi Kiki merasa risi jika melihat ada kamera yang menyala. Anak yang memegang alat itu terus berbicara dan berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya.

Kiki masih memperhatikan gerak anak itu, sampai retinanya tak sengaja menangkap sosok Arsenio yang sedang menaiki tangga gedung Da Vinci. Kiki hendak mengejarnya. Namun, tiba-tiba seorang laki-laki menabrak dan mencium kening Kiki dengan tanpa sengaja. Hal ini mengundang perhatian mata-mata di sekitarnya, termasuk anak yang sedang melakukan siaran tadi. Kameranya masih menyala dan momen tadi terekam di kamera miliknya. Mengetahui hal itu, anak itu segera menutup kamera dan menyimpan ponselnya di saku. Keadaan yang canggung itu disambut suara riuh anak-anak yang melihatnya. Sementara Kiki masih mematung, dia tersentak dan cepat-cepat melepaskan tangan laki-laki yang mencengkeram lengannya. Tanpa menghiraukan apa pun, dia segera berjalan menuju ruang melodi.

"Maaf tadi tidak sengaja," teriak laki-laki itu. Kiki mengabaikannya dan terus berjalan.

Sambil berjala, dia mengontrol napasnya. Jujur saja, kejadian tadi membuatnya gugup dan berkeringat. Saat ini, dia sudah berdiri di depan ruang melodi. Kesy tiba-tiba membuka pintu dan melihat sahabatnya sedang mengusap keringat.

"Kiki, kenapa?"

"Nggak apa-apa, Ke. Mungkin karena aku berjalan dari gedung belakang. Anggap saja aku baru olahraga siang."

"Serius? Kok bisa sebanyak itu keringatnya. Mau aku bantu mengusapnya, Ki? Aku punya tisu di dalam. Kita masuk dulu, ya."

Kiki mengangguk dan mengikuti Kesy dari belakang. Kiki duduk di kursi yang terdekat dan kembali mengatur napas. Sementara Kesy mengambil tisu yang ada di dalam tasnya.

"Ini, Ki," ucapnya dengan menyodorkan tisu untuk Kiki.

"Thanks, Ke," balas Kiki. Dia mengusap seluruh keringat yang membasahi wajahnya dan menggosok dengan keras di bagian kening. Kiki merasa keningnya mengeluarkan banyak kalenjer keringat.

"Sangat memalukan," lirih Kiki. Kesy yang duduk di depannya itu masih dapat mendengar ucapan Kiki.

"Siapa yang memalukan, Ki?" tanyanya.

"Hemm ... bukan apa-apa, Ke. Oh iya, tadi kamu mau ngomong apa? Di telepon suaramu terdengar happy." Kiki menghentikan kegiatan mengusap keringatnya dan fokus dengan jawaban Kesy.

"Iya, Ki. Sebenarnya minggu lalu aku mendaftar audisi menyanyi, dan barusan pengumumannya. Ternyata aku lolos, Ki," ungkap Kesy dengan wajah berbinar. Kesy mengangkat kedua tangannya yang bersatu membentuk bola di depan dada. Guratan nadi berwarna biru keunguan terlihat jelas di sana. Kiki ikut merasakan kebahagiaannya, dia memeluk kedua tangan Kesy.

"Aku senang mendengarnya. Kamu semakin bersinar. Selamat Kesy, dan semangat untuk langkah selanjutya," tutur Kiki. Perasaan Kesy bertambah senang ketika mendengar repons Kiki.

"Thank you, Kiki. Lusa aku izin tidak masuk sekolah, ada karantina satu minggu. Jangan lupa dukung aku ya," pinta Kesy.

"Pasti aku dukung, Ke." Kiki melepas genggaman tangannya dan memeluk Kesy.

"Oh ya, Ke. Tadi Arsenio ke sini?"

Kesy melepas pelukannya dan menjawab pertanyaan Kiki. "Iya, Ki. Tadi main gitar sebentar. Kenapa?"

"Aku mau tanya soal buku yang dia pinjam minggu lalu. Kamu tahu sekarang dia di mana?"

Kesy menggeleng.

"Kayaknya tadi aku sempet lihat dia naik tangga, aku mau cari dia dulu ya, Ke. Kalau kamu mau pulang, duluan aja."

"Aku masih mau latihan nyanyi, Ki."

"Oke."

Kiki segera beranjak menuju gedung Da Vinci. Dia terus berjalan dan berpikir, Arsen pasti di atap. Karena itu Kiki menaiki setiap tangga. Walaupun melelahkan, dia tetap akan naik demi persiapan olimpiadenya. Lagi pula, perasan Kiki sekarang jauh lebih baik. Kabar dari Kesy membuatnya lupa akan kejadian yang memalukan tadi. Dia berharap tidak bertemu dengan laki-laki itu lagi. Tunggu, barusan dia berpikir tidak akan bertemu lagi. Kiki berhenti sejenak, dia baru mengingat perkataannya waktu di toko buku kemarin. Sekarang, dengan tanpa sadar Kiki sudah berada di hadapan Arsenio. Dia menatap gadis berambut sebahu itu dengan penuh selidik.

"Sekarang, aku harus memanggilmu apa? Kita bertemu lagi."

Epiphany Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang