Bab 7b

6.2K 691 17
                                        

Laluka menatap layar ponselnya dengan sedih. Ada dua lembar foto di sana. Satu adiknya, Jehan yang sedang bermain. Bocah perempuan itu terlihat kumal dengan wajah belepotan dan memegang ponsel. Tak jauh darinya ada seorang gadis muda yang sepertinya pengasuhnya. Gadis itu dudum diam, dengan ponsel di tangan. Sama sekali tidak ada interaksi antara keduanya.

Foto kedua, suasana restoran yang ramai. Pelanggan banyak berdatangan dan ia melihat ibunya tersenyum gembira dalam balutan seragam manajer. Tidak ada yang tahu di mana ayah tirinya berada dan ia tidak bertanya juga.

"Jehan kurus."

Tak lama pesannya berbalas. "Gadis pengasuhnya hanya bisa bermain ponsel. Tidak memperhatikan pekerjaan."

"Kamu nggak bilang sama Ibu?"

"Apa urusannya sama aku. Kamu nggak lihat mereka sibuk di restoran?"

"Jehan itu adikmu, Rainer."

"Aku tahu, bukan berarti aku yang harus merawatnya bukan? Toh, orang tua kita tercinta lebih mementingkan uang dari pada mengasuh anak-anak mereka."

"Mereka sedang berusaha membangun usahanya kembali."

"Begitu uang diterima dari Si Bangsat itu, restoran kembali stabil. Menu makanan kembali banyak dan diskon menarik pelanggan baru. Orang tua kita bahagia tentu saja, tapi mereka lupa kalau kamu harus membayar semua dengan tubuh dan jiwamu, Luka!"

Menghelap napas panjang, Laluka membaca pesan dari adiknya dengan mulut tersenyum. Ia paham kemarah yang dirasakan Rainer dan ia sendiri tak berdaya. Hari-hari ia jalani dengan mencoba sebaik mungkin menjalani hidup dan tetap menjaga kewarasannya.

Ia mencoba bertahan, saat Kaesar sedang kasar, galak, atau emosi. Ia menahan diri untuk tidak menangis saat laki-laki itu mendominasi hati dan tubuhnya. Laluka selalu menganggap dirinya sedang bekerja dan tidak lebih dari itu. Bukankah menjual diri, juga sebuah pekerjaan. Orang-orang menyebutnya pelacur, dan ia tidak belajar untuk tidak peduli.

Selama berdekatan dengan Kaesar, ia selalu meyakinkan diri untuk tidak memakai hati. Ia menganggap laki-laki itu 'tuan' atas tubuhnya tapi tidak hatinya. Meski tidak yakin kalau kelak lepas dari Kaesar ia masih bisa jatuh cinta, tapi setidaknya ia menjaga hatinya tetap murni.

"Jangan pernah jatuh cinta dengan Si Bangsat itu, Laluka!"

Pesan dari Rainer selalu ada di otaknya. Ia pun tahu diri untuk itu. Siapa yang bisa jatuh cinta dengan laki-laki yang nyaris tidak dikenalnya. Mereka memang bersetubuh, tapi ia tidak pernah tahu identitas Kaesar. Siapa laki-laki itu, dari mana berasal, apa pekerjaannya, ia tidak pernah ingin tahu. Karena tidak ingin terlibat dari yang seharusnya.

"Nona, sepertinya Tuan Kaesar nggak datang hari ini."

Yuyun datang, dengan segelas es buah di tangan, memperhatikan Laluka yang sibuk melukis di kanvas. Akhir-akhir ini Laluka senang sekali melukis dan banyak mengeluarkan uang untuk membeli peralatan melukis.

"Indah sekali lukisan bunganya."

Laluka tersenyum. "Masih belajar, Bi. Sudah lama nggak melukis. Nanti aku mau taruh lukisannya di panti, buat Nenek Saniah."

Yuyun tersenyum. "Nenek Saniah pasti gembira."

"Iya, kasih orang tua. Terkadang kalau lagi ingat, dia banyak mencercau soal anak perempuan yang sudah lama hilang. Sering pula bilang kangen suaminya. Katanya, suaminya kaya dan tampan. Lalu berikutnya, dia lupa mereka semua."

"Masa mudanya pasti berat."

"Sepertinya begitu." Laluka meletakkan kuas dan menatap Yuyun. "Tadi kamu bilang apa soal Tuan, Bi?"

Luka (Wanita Simpanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang