Bab 5a

8.2K 893 75
                                    

Dengan rokok menyala di tangan kiri dan ponsel di tangan kanan, pemuda itu terlihat sibuk dengan dunianya sendiri, tidak peduli pada sang mama yang sedari tadi mengoceh. Di sampingnya, sang papa pun hanya terdiam, mendengarkan bagaimana ocehan lembut berubah menjadi keras karena sang anak tidak mau mendengarkan.

"Kamu sudah dewasa, Daran. Sudah seharusnya membantu papamu, bukan malah enak-enakan tidur dengan artis yang hanya menginginkan uangmu!"

Saat anaknya tidak ada tanggapan, Amira yang geregetan meraih serbet putih dan melemparkan ke wajah Daran. Lap jatuh menimpa ponsel dan membuat Daran mengernyit.

"Mama kenapa, sih?"

Amira menuding panas. "Mama yang harusnya tanya kenapa! Kamu bandel sekali, Diajari tidak mau dengar juga, mau jadi apa kelak, hah!"

"Mau jadi apa? Yang pasti jadi manusia. Kalau hidup enak dibuat santai-santai kenapa harus repot-repot kerja." Dengan kurang ajar Daran mengedipkan mata ke arah sang mama dan tertawa lirih.

"Nggak tahu malu!"

"Santai, Ma. Serius amat jadi orang, Papa aja santai. Iya, kan, Paaa?" Daran bertanya dengan suara mengalun, yang seolah mengejek. Ia tahu kalau Kaesar tidak akan menanggapi ucapannya dan itu makin membuatnya kesal dan ingin mengejek lagi. "Aku dari lahir sudah hidup enak, untuk apa bersusah payah."

"Benar-benar anak kurang ajar kamu," desis Amira.

Kaesar yang sedari tadi terdiam, makan steak di piringnya dengan pelan. Ia membiarkan istrinya berdebat Daran. Mereka sudah biasa seperti itu dan ia tidak kaget. Ia tahu persis, meskipun Amira terlihat cuek dan marah terhadap sikap Daran, tapi di belakangnya pasti diam-diam membantu si anak. Ini sudah sering terjadi dan ia terbiasa dengan pertengkaran mereka.

"Kakek aja nggak marah aku begini dan begitu, lagi pula si artis itu juga punya pekerjaan. Nggak sepenuhnya mau minta uang dari aku."

"Nggak minta uang kamu? Tapi, tagihan kartu tinggi sekali. Siapa yang pakai?"

"Papa kali, coba tanya suamimu itu, Ma. Jangan-jangan dia punya pacar!"

Amira menoleh cepat pada suaminya dengan pandangan bertanya-tanya. Kaesar seolah tidak terpengaruh, mengiris daging dan menghabiskannya. Menuang segelas anggur merah dan meneguk hingga tandas.

"Aku masih banyak pekerjaan, kalian lanjutkan saja perdebatannya." Ia bangkit dari kursi dan melangkah menuju ruang kerja.

"Lihat'kan, Ma? Papaku itu menghindar, pasti ada apa-apanya."

"Hust! Jangan sembarangan kamu!"

"Mama selalu bela dia."

"Nggak, mama akan bela kamu asalkan kamu benar. Cobalah, emangnya nggak bisa, ya, kamu kerja?"

"Kerja, Maaa. Kerjaaa, nanti aku ikut Kakek saja."

Kaesar masih mendengar percakapan Amira dan Daran sebelum menutup pintu. Menuju meja, ia membuka laptop dan bersiap menyelesaikan pekerjaan. Malam ini, semua harus selesai sebelum besok menginap di rumah Laluka. Mendadak, ia merasakan kerinduan untuk membenamkan diri pada kehangatan gadis itu. Sudah lama ia tidak merasa begini, dan Laluka mampu membangkitkan gairahnya.

Ia menoleh saat pintu membuka. Amira muncul dengan kursi rodanya. Wanita itu tersenyum. "Sayang, Papa menginginkan kita datang ke rumah."

Kaesar mengernyit. "Papamu?"

"Iya."

"Dua hari lalu aku ketemu di kantor dan tidak ada bilang apa-apa."

"Mungkin nggak sempat, tapi dia meneleponku barusan dan menyuruh kita datang Minggu nanti."

Luka (Wanita Simpanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang