Bab 12a

4.9K 663 18
                                        

Selama masa penyembuhan, Kaesar menginap di rumah Laluka. Selama itu pula, mereka hanya berinteraksi seperlunya. Waktu Kaesar banyak dihabiskan untuk bekerja dan tidur. Soal makan pun, harus Laluka yang membujuk dengan halus.

"Tuan, kalau kurang makan nanti lama sembuhnya."

Awalnya Kaesar tidak terlalu mengindahkannya tapi mengingat kalau tubuh memang perlu mau tidak mau ia menyatap makanan, meskipun mulutnya terasa pahit. Ia memperhatikan Laluka selama beberapa hari di rumah, melihat bagaimana wanita itu menyiangi rumput di halaman belakang dan mengubahnya menjadi taman kecil. Ia juga tahu fakta baru tentang gadis itu yang tidak ia ketahui sebelumnya, ternyata Laluka bisa melukis.

"Bakat yang hebat." Untuk pertama kalinya ia melontarkan pujian saat melihat Laluka melukis burung kenari.

"Maasih belajar, Tuan," jawab Laluka malu-malu. Ada noda cat minyak di pipi, telapak, tangan, dan lengannya.

"Kamu bisa menjualnya."

Laluka menggeleng. "Nggak, Tuan. Ini hanya hobi."

Kaesar tidak mengatakan apa pun dan berlalu dengan segelas kopi di tangan. Saat duduk kembali kembali ke meja kerja, ia berpikir kalau kehidupannya bersama Laluka akhir-akhir ini terasa tenang. Apakah karena ia sedang sakit atau hatinya yang melunak? Ia bahkan merasa senang mendapati gadis itu bisa melukis. Menggelengkan kepala Kaesar berusaha menyingkirkan perasaan belas kasihan yang dirasakan. Kehidupan yang dijalani kejam dan tidak boleh bersikap lembut pada orang lain.

Orang-orang di luaran, mengenalnya sebagai salah satu miliarder kejam yang tidak segan menghabisi usaha orang lain. Namun, sedikit yang tahu kalau ia bersikap seperti itu karena ada sebabnya. Peristiwa sepuluh tahun lalu, mengubah presepsinya tentang hidup dan cinta.

Sore hari, ia meminta Laluka mengganti baju dengan pakaian bepergian. "Kita akan makan malam di luar."

Laluka tidak tahu akan dibawa ke mana, ini pertama kalinya semenjak tinggak bersama laki-laki itu ia dibawa keluar rumah. Selama ini, jarak paling jauh ia bepergian adalah ke panti. Mengamati lampu-lampu jalanan yang berjuang untuk tetap bersinar di antara kegelapan yang memeluk bumi, Laluka mengerjap. Kendaraan roda dua berpacu melawan kendaraan yang lebih besar. Jalanan padat merayap dan penuh sesak padahal senja sudah menghilang dari langit digantikan malam kelam.

Mengulum senyum, Laluka teringat saat-saat ibunya baru menikah dengan Jaka dan belum ada Jehan. Ia sering menghabiskan waktu berdua dengan Rainer, duduk di balkon kamar dan melihat senja. Mereka hanya diam, tanpa bicara. Rainer sibuk dengan gitar dan ia melukis apa saja yang terpikirkan. Kebanyakan ia justru melukis Rainer yang tampan. Merasa bangga pada adik tirinya yang tidak hanya punya wajah rupawan tapi juga otak yang pintar. Beberapa bulan tidak bertemu, perasaan rindu menggayut di hatinya.

Saat mobil berhenti di lampu merah, Laluka melongo melihat seorang ibu yang menggendong anak bayi. Mereka membawa alat musik seadanya dan bernyainyi dari satu mobil ke mobil lain. Bukan hanya satu tapi ada dua ibu lainnya dengan pola yang sama, membawa anak-anak di pinggang. Menatap itu, Laluka merasakan iba.

"Kenapa para bayi itu sama semua, tidur. Apa kelelahan seharian di jalanan?" gumam Laluka tanpa sadar, menyiratkan rasa heran. "Nggak, ada sebagian bayi yang dipaksa tidur. Menggunakan obat tertentu."

Laluka menatap Kaesar dengan tercengang. "Be-benarkah? Kok tega? Itu anak mereka sendiri."

Kaesar mengalihkan pandangan dari ponsel ke wanita di sampingnya, "Luka, jangan melihat dunia hanya dari dua sisi, hitam dan putih. Ada banyak sisi lain yang kamu tidak tahu, dan yang paling berbahaya adalah abu-abu. Kamu tahu kenapa?"

Laluka menggeleng.

"Orang banyak menggunakan warna abu-abu untuk menunjukkan kenetralannya, dengan tidak menjadi baik atau buruk, tapi justru dialah yang berkuasa. Sama seperti wanita-wanita di lampu merah tadi. Mereka menjual kemiskinan, memberi anak sendiri atau bisa jadi anak sewa, minuman tertentu yang membuatnya terus menerus tidur. Kalau kita tegur, mereka akan mengatakan, kami tidak mencuri, tidak mencopet, kami lapar, jadi salahnya di mana? Itu, yang berbahaya, status abu-abu."

Penjelasan dari Kaesar membuat Laluka menghela napas panjang, meskipun ingin menolak kenyataan tapi hati kecilnya berkata kalau itu benar.

"Kamu tahu siapa orang paling abu-abu dalam hidup kamu?"

Laluka mengangguk. "Ibuku."

"Benar, dengan alasan demi ekonomi, dia menjualmu. Padahal dari awal dia tahu, aku adalah status hitam dan kamu, sudah pasti putih."

Tidak ada penyangkalan dari mulut Laluka, karena memang begitu kenyataan. Ia berjanji dalam hati tidak akan pernah lagi menghakimi para pengamen atau pengemis yang menggunakan anak sebagai alat mencari uang, karena ibunya juga melakukan hal yang sama padanya. Ia berpikir, bagaimana masa depan anak-anak itu kelak, akankah sama dengannya? Menjual tubuh agar keluarga tetap bisa makan.

Memperbaiki posisi duduknya, Laluka teringat tidak membawa ponsel. Lagi pula, ia pergi bersama Kaesar dan tidak akan ada orang yang meneleponnya. Semenjak tinggak bersama Kaesar, ia tidak lagi kecanduan ponsel karena kebanyakan waktunya dipakai untuk melukis.

Ia mengernyit saat mengenali jalanan yang baru saja mereka lewati. "Tuan, bukankah ini menuju ke restoran orang tuaku?"

Kaesar mengangguk. "Iya, kita akan ke sana."

"Tapi, mau apa, Tuan?"

"Makan tentu saja, Laluka. Kamu pikir orang ke restoran untuk apa?"

Laluka menunduk pasrah. Setengah mati ia berusaha menghindari ibunya, kini Kaesar malah membawanya ke sana. Ia tidak tahu apa yang direncanakan laki-laki itu dengan membawanya ke restoran. Ingin rasanya meminta turun di tengah jalan tapi takut akan menyinggung Kaesar.

"Kenapa wajahmu ditekuk begitu?"

"Nggak ada apa-apa, Tuan."

"Aku pikir kamu kangen dengan keluargamu. Mereka sudah tahu kita akan datang."

Tidak ada jalan memutar, Laluka harus tetap pergi untuk menemui mereka. Saat kendaraan melambat dan akhirnya tiba di depan restoran, tubuhnya menegang, meski begitu ia pasrah dengan apa yang akan terjadi. Menyingkirkan rasa enggan, ia turun mengikuti Kaesar.

"Jangan takut, mereka keluargamu. Ingat yang aku bilang tadi? Meskipun ibumu berada di status abu-abu, kamu tetap harus putih, Laluka."

Mereka disambut bagaikan raja dan ratu, para pelayan restoran berderet di pintu. Laluka melangkah dengan kepala menunduk.

"Selamat datang Tuan dan Nyonya."

Laluka hampir terantuk saat mendengar sapaan nyonya. Mulai kapan dirinya seorang nyonya? Para pelayan yang sudah lama bekerja di tempat ini harusnya tahu kalau dirinya adalah anak pemilik restoran dan bukan orang lain.

"Laluka, Sayang."

Tubuh Laluka kaku, saat sebuah pelukan menyergapnya. Berikutnya ia dihujani kecupan di pipi dan usapan di kepala. Ia mengenali parfum yang dipakai ibunya, sayangnya pelukannya tak lagi sehangat dulu.

Luka (Wanita Simpanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang