Bab 11a

5.2K 659 22
                                    

"Kenapa Papa ke sini?"

"Ingin melihat-lihat saja, sedang tidak ada kerjaan."

Sofia menatap laki-laki perlente dalam balutan pakaian mewah. Laki-laki yang menanam benih pada rahim ibunya demi agar punya bayi. Sofia sering mendengar cerita dari orang-orang tentang bagaimana keadaan keluarganya. Dulu, saat ia masih kecil dan belum mengerti, akan mengamuk pada siapa pun yang berani mengatakan hal buruk tentang papanya. Seiring berjalannya waktu, saat ia melihat bagaimana keadaan keluarganya tidak sama dengan keluarga yang lain, ia akhirnya mengerti. Kenapa mamanya suka berganti-ganti pacar, dan tak sungkan membawanya pulang. Kenapa papanya punya banyak teman laki-laki muda dan rata-rata mereka semua tampan? Perlahan ia memahami, kalau dirinya lahir di dunia tidak lebih dari formalitas keluarga.

Ia marah, kecewa, dan menyimpan dendam pada kedua orang tuanya. Ia merasa kotor karena lahir dari pasangan abnormal yang membuatnya terhina. Begitu kecewanya pada hidup, dan kedua orang tuanya, ia menenggelamkan diri dalam liarnya pergaulan bebas. Tiap malam ke klub, tidak melanjutkan kuliah, jatuh ke pelukan satu laki-laki ke laki-laki lain, dan tidak peduli kalau mereka hanya ingin menggunakan tubuhnya. Rasanya hidup tak berarti karena punya orang tua yang tidak peduli dan mereka berdua sakit jiwa, yang membuat hidupnya dalam tekanan.

Hingga suatu hari, di puncak kekacauan hidupnya, ia mendengar kalau sepupunya akan menikah. Pertama kali dikenalkan pada Kaesar, sepuluh tahun lalu dan akhirnya mengubah cara pandangnya pada hidup. Ia menyukai laki-laki itu, dan mengejarnya setengah mati. Bahkan rela bekerja di klub yang sama agar bisa bersama Kaesar. Tidak peduli kalau laki-laki itu adalah suami dari sepupunya. Ia mengejar dan terus berusaha mendapatkan, tapi sayangnya Kaesar terus menerus menolaknya.

Dari awalnya mengelola klub hanya demi mengejar laki-laki yang dicintai, kini berubah menjadi profesi yang ia suka. Suasananya, hiruk pikuknya, tubuh-tubuh berkeringat, orang-orang yang menghamburkan uang demi sebotol minuman keras, dan musik yang menggelegar, seperti pupuk di kehidupannya yang layu. Meskipun ia masih mencintai Kaesar, tapi kini prioritas utamanya adalah Black Heaven.

"Tumben! Sudah kehabisan berondong, Pa?"

Sofia memutar dari kursi, bangkit dan menatap papanya dengan pandangan mengejek. Namun, laki-laki seolah tak peduli. Simon mengangkat bahu dan menjentikkan jari. "Laki-laki muda itu gampang dicari. Dengan iming-iming uang, tidak peduli apakah dia mahasiswa, pelajar, atau pun artis, akan bertekuk lutut di hadapanku."

"Oh, bagus kalau begitu. Berharap saja Papa nggak kena aids, karena kalau sampai itu terjadi, aku akan membiarkan Papa membusuk di rumah sakit dan tidak akan pernah datang menjenguk."

Simon berdecak mendengar ucapan kasar anak perempuannya. Kalau tidak mengenal watak Sofia, orang-orang pasti mengira mereka bermusuhan. Namun, ia tahu kalau sang anak sedang berusaha peduli padanya.

"Tenang saja, Papa selama ini mainnya aman."

Sofia tidak dapat menahan tawa mendengar pembelaan sang papa. "Main aman? Mana ada kalian kaum menyimpang main aman? Sudahlah, Pa. Jangan basa-basi, ke sini mau ngapain? Kalau uang, aku nggak punya. Papa sebaiknya minta Mama."

"Nggak akan minta uang, Papa sudah bilang cuma mau mampir. Kamu jadi cewek nggak percayaan, Sofia."

Gaya bertutur sang papa yang halus membuat Sofia jengkel. Tidak peduli bagaimana ia mengeluarkan kata-kata untuk menghina, Simon tidak pernah marah apalagi mekmbentaknya. Dari dulu selalu begitu dan itu memuakkan.

"Mau minum? Aku traktir!"

Simon tersenyum. "Nah, begitu. Baru anak gadisku. Ayo, kita minum bersama, Sayang."

Mereka beriringan menuruni tangga, menuju meja bartender. Sofia memesan minuman untuk sang papa dan mereka duduk berdampingan menenggak alkhohol.

"Aku mencari Kaesar, ternyata dia tidak datang," ucap Simon.

"Tidak, jadwalnya dua hari lagi baru ke sini."

"Kabarin aku kalau dia ada, karena aku ada hal penting untuk dibicarakan dengannya."

Sofia menatap papanya dengan penuh tanda tanya. Tidak biasanya ia mendengar sang papa berurusan dengan Kaesar, terlebih untuk hal yang tidak ia mengerti.

"Ada apa, Pa? Urusan apa dengan Kaesar."

Simon tersenyum. "Hal biasa, Sayang. Bisnis. Nggak usah risau."

Tetap saja Sofia tidak puas. Ia ingin tahu ada urusan apa antara papanya dan Kaesar tapi tidak peduli bagaimana ia membujuk, Simon menutup mulut.

"Wow, ternyata di klubmu ada pemuda tampan. Siapa dia? Papa menyukainya."

Sofia mengarahkan pandangan pada telunjuk Simon. Seorang penjaga berambut gondrong sedang berusaha meleraikan pertikaian dan akhirnya menyeret dua orang yang bertengkar ke pintu keluar.

"Penjaga baru dan jangan coba-coba mendekatinya, Papa."

"Kenapa, dia imut Sofia."

Sofia membanting gelas di meja. "Karena aku juga menginginkannya."

**

"Kamu yang melukis ini?"

Amira menunjuk lukisan di dinding dan bertanya pada Laluka yang berdiri di sampingnya.

"Iya, Nyonya. Itu lukisan saya."

"Bagus sekali," puji Amira. "Apa kamu bisa melukis orang?"

"Maksudnya bagaimana, Nyonya?"

"Oh, potret maksudnya. Aku menyukai goresan kuasmu dan kalau kamu bisa, maukah melukisku? Sebutkan saja bayaran yang kamu inginkan, aku turuti."

Laluka tercengang, sama sekali tidak menyangka kalau orang sekaya Amira, akan memintanya melukis. Ia bukannya tidak bisa melukis potret. Sudah pernah ia lakukan sebelumnya. Rainer dan Jehan pernah menjadi obyek lukisannya dan sejauh ini hasilnya memang bagus. Namun, ia tidak percaya diri kalau harus menarik bayaran dari jasanya.

"Nyonya, saya takut membuat kecewa. Bukan pelukis professional soalnya."

Amira meraih tangan Laluka dan meremasnya. "Kamu terlalu merendah. Lukisanmu bagus, aku menyukainya. Apa itu nggak cukup dijadikan alasan melukisku? Apa perlu aku memohon?"

Lakuka menggeleng dengan tidak enak hati, pada akhirnya ia setuju untuk melukis Amira. Bukan karena wanita itu donatur terbesar di panti, atau dengan kata lain majikan di tempat ini, melainkan karena ia melihat Amira seorang wanitab yang baik hati dan peduli. Itu sudah menjadi alasan yang cukup untuknya melukis.

"Baiklah, saya setuju Nyonya. Soal uang, nanti saja kalau pekerjaan sudah selesai."

Amira berseri-seri mendengar jawaban Laluka. "Terima kasih, kamu baik sekali."

Kesepakatan dibuat, Laluka akan membawa peralatan melukisnya ke panti. Ia membuat janji pada Amira akan bertemu seminggu sekali demi mendapatkan sketsa wajah yang sempurna. Jauh di lubuk hatinya Laluka gembira, merasa ketrampilannya ternyata berguna.

Selesai mengunjungi kamar Nenek Saniah, diikuti oleh dua perawat lain, Laluka mendorong kursi roda Amira menuju teras depan dan mereka mengobrol di sana. Meskipun kaya raya, Amira sama sekali tidak sombong. Menmperlakukan semua orang dengan sopan termasuk pada Laluka.

"Kamu masih muda dan cantiik sekali, Laluka. Selain bantu-bantu di panti, apa kamu punya pekerjaan lain? Barangkali mahasiswa?"

Laluka menggeleng malu. "Nggak, Bu. Pekerjaan saya hanya di panti ini dan sesekali melukis."

"Cita-citamu dulu apa?"

"Jadi guru."

"Kenapa nggak kuliah?"

Teringat akan tragedy keluarnya, Laluka menjawab dengan suara pelan. "Karena nggak ada biaya, Bu."

"Sayang sekali, Laluka. Sayang sekali. Padahal kamu gadis yang cerdas dan pintar."

Sebuah mobil memasuki halaman. Laluka tahu pengendaranya adalah Andre. Pemuda itu turun dari kendaraan dan melangkah ke arah mereka. Tersenyum pada Laluka lalu mengangguk kecil pada Amira.

"Andre, aku mau bicara."

Amira didorong masuk dan mengikuti langkah Andre menuju kantor, meniggalkan Laluka sendiri berdiri di teras menatap halaman yang terik.

**

Terima kasih bagi yang sudah PO. Buku sudah selesai dicetak, mulai didistribusikan ke olshop. Kemungkinan dalam dua Minggu, area Jawa sudah bisa menerima pakeet!

Luka (Wanita Simpanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang