Bab 12b

5.2K 634 22
                                    

"Luka, kenapa kamu diam saja? Nggak senang ketemu ibu, hah?"

Laluka membuka mata, menatap Maryam yang memandang dengan mata berbinar bahagia. Ia yakin, binar mat aitu bukan untuknya melainkan untuk Kaesar yang kini sudah duduk berdampingan dengan Jaka.

"Ayo, duduk. Kita ngobrol. Ibu kangen sekali sama kamu."

Dugaan Laluka tidak salah, kalau memang yang diharapkan datang itu Kaesar, bukan dirinya. Berbagai hidangan disajikan di atas meja dan tidak ada satu pun kesukaannya. Padahal ia yakin, ibunya tahu apa makanan kesukaannya. Semua yang dimasak dan dihidangkan adalah makanan favorite Kaesar.

"Dimakan, Laluka. Kamu sudah lama nggak datang. Kenapa hanya minum teh," ucap Maryam. "Kamu kelihatan sehat. Pasti senang berada di rumah Tuan Kaesar?" Wanita itu tertawa lirih.

Jaka memandang Kaesar dengan tidak enak hati. Diam-diam mengamati Laluka yang sedari tadi tidak bicara. Meskipun Maryam menutup mata, harusnya istrinya tahu kalau Laluka sama sekali tidak senang dibawa ke sini.

"Tolong buatkan aku sop iga," ucap Kaesar.

Maryam mengangguk. "Baik, Tuan. Dibuat segera."

Laluka masih diam, minum teh hangat dengan perlahan. Tidak ada pembicaraan karena ia sendiri enggan membuka percakapan. Ia membiarkan Maryam dan Jaka berbasa-basi dengan Kaesar dan akhirnya terhenti karena laki-laki kaya itu malas meladeni.

Semangkok sop iga panas diantarkan pelayan dan diletakkan di depan Kaesar tapi laki-laki itu menolak. "Bukan aku yang suka ini, tapi Laluka. Letakan di depannya."

Laluka mengangka wajah, menatap semangkok iga yang mengepul di depannya. Ia melirik Kaesar dan tersenyum kecil. Sungguh aneh, ibunya yang bertahun-tahun tinggal bersama bahkan tidak ingat makanan kesukaannya. Sedangkan Kaesar yang baru beberapa bulan saja tahu. Mengambil sendok, ia mencicipi kuah dan merasakan kenikmatan di ujung lidah.

"Tuan Kaesar perhatian sekali sama Laluka," puji Maryam dengan irama mendayu.

"Kalian mengundangku datang, ada apa?" Kaesar bertanya tanpa basa basi. "Perlu uang lagi?"

"Bu-bukan begitu, Tuan." Jaka menjawab tergagap. "Sebenarnya, kami ingin bertanya soal investasi."

"Bukankah itu sama saja? Uang juga ujung-ujungnya?"

"Tuan, kami hanya menagih apa yang sudah dijanjikan." Maryam menjawab dengan suara mendayu.

Laluka kehilangan selera makan. Ia meletakkan sendok, mendorong mangkoknya menjauh. Dadanya berdebat dan hatinya berdenyut menyakitkan. Keluarganya berkumpul ditambah Kaesar, membicarakan uang yang adalah hasil menjual tubuh dan jiwannya. Sialnya lagi, mereka melakukan itu secara terang-terangan di depannya dan menganggap seolah-olah ia tidak ada. Apakah ia begitu hina dan tak berharga sampai orang-orang memperlakukannya seperti sampah yang tak berharga?

Kaesar menatap Laluka yang kembali menunduk, sop iganya terlupakan. Meraih rokok, ia menyalakan dan mengisap kuat. Memandang suami istri di hadapannya. Wajah mereka menyiratkan harapan besar soal uang. Dari pertama datang bahkan sampai sekarang, sama sekali tidak tercetus pertanyaan tentang Laluka. Ia tersenyum miris. Merasa kalau uang memang bisa mengubah manusia menjadi buas bahkan melebihi binatang.

"Maryam, aku sudah memberikan uang sebesar 50 persen dari perjanjian kita, dan sisanya aku bayar kalau Laluka hamil. Kenapa kamu meminta sekarang?"

Maryam meremas tangan di depan tubuh. "Itu, Tuan. Kami butuh untuk merenovasi restoran."

"Bukankah restoran ramai setiap hari? Lalu, ke mana uangnya?"

"Membayar utang." Kali ini Jaka yang menjawab.

Luka (Wanita Simpanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang