Bab8b

5.9K 809 19
                                    

"Apa kabar kalian semua?" sapa wanita itu.

"Kabar baik, Nyonya Amira. Mari, masuk!"

Para pengurus panti mengekor saat wanita itu didorong masuk. Laluka berdiri dari kursinya dan mengangguk sopan saat wanita itu melewatinya.

"Kamu siapa? Pegawai baru?" Tanpa disangka, wanita itu bertanya pada Laluka.

"Bukan, Nyonya. Saya hanya bantu-bantu di sini."

Nita maju, tersenyum sopan pada Amira. "Nyonya, ini teman saya. Dia biasa bantu di sini, seminggu tiga kali."

Amira memandang Laluka lalu mengangguk. "Bagus, gadis yang hebat."

Laluka berdiri diam di tempatnya saat rombongan masuk. Ia tidak tahu siapa Amira, tapi menduga pasti pemilik atau donatur panti. Pernah mendengar cerita dari Nita sebelumnya kalau donatur panti adalah seorang kaya raya. Bisa jadi itu Amira. Kembali duduk, ia melanjutkan menyuapi bubur pada orang tua yang duduk menunggunya.

"Sudah dua bulan aku nggak datang. Panti berubah jadi lebih rapi sepertinya." Amira berucap pada wanita setengah baya yang merupakan salah satu pengurus panti.

"Iya, Nyonya. Andre melakukan tugasnya dengan baik."

"Di mana dia sekarang?"

"Ada urusan dengan pihak rumah sakit."

"Anak yang sibuk." Amira masuk ke kamar nomor tiga yang pintunya terbuka dan tertegun saat melihat lukisan tergantung di dinding. "Siapa yang membeli itu?"

"Oh, itu hadiah dari Laluka, Nyonya."

"Laluka? Siapa dia?"

"Gadis yang tadi Nyonya temui di depan. Dia yang melukis dan memberikan pada penghuni kamar ini."

"Bagus, lukisan yang cantik. Ayo, aku ingin menemui ibuku."

Amira didorong ke belakang, hingga mencapai ruangan yang cukup luas dan berpendingin udara. Para pengurus yang semula mengikutinya, satu per satu pamit untuk melakukan tugasnya. Tertinggal ia sendiri bersama ketua pengurus panti dan asisten yang mendorong kursi rodanya. Tidak lama, dari arah belakang Nita mendorong masuk seorang nenek dan tersenyum pada mereka.

"Ibuu," sapa Amira.

Orang tua itu menatap Amira lalu menjerit keras dengan suaranya yang serak. "Anak durhaka! Anak kurang ajar!"

"Buu, ini aku anakmu."

"Pergii! Pergii, kamuuuu! Nggak sudi lihat mukamu!"

Pengurus panti menutup pintu ruangan, demi menghindari teriakan sang nenek terdengar oleh orang-orang di luar. Namun, usahanya tidak berhasil karena si nenek kini mengamuk. Nita yang kasihan akhirnya meminta ijin untuk membawa orang tua itu kembali ke kamarnya.

Duduk di kursi roda, menatap punggung Nita yang menjauh, Amira mendesah sedih. Menghapus air mata dengan telunjuk.

"Lihat'kan bahkan ibuku pun tidak lagi mengenaliku."

Pengurus panti berjongkok di depan Amira dan meremas jemari wanita itu. "Yang sabar, Nyonya. Mungkin si nenek sedang tidak enak badan."

Bukan tidak enak badan, Amira tahu persis itu. Ibunya memang tidak lagi mengingatnya.

**

Laluka menyusuri jalanan kecil menuju rumahnya dengan senyum terkembang. Hari ini senang rasanya, bisa memberikan lukisan untuk Nenek Saniah dan wanita itu menyukainya. Ia berpikir untuk melukis yang lain dan akan meletakkan di ruang tengah. Benaknya sedang berpikir tentang obyek lukisan yang cocok. Bingung antara bunga atau hewan. Terpikir juga ingin obyek pemandangan alam. Ia akan memikirkannya masak-masak.

Luka (Wanita Simpanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang