2. Deva Lamont

5.5K 1.6K 256
                                    

Coba vote dan komen dulu sebelum baca. Jangan lupa di share, biar pas dibukuin yang beli lebih banyak. HAHAHAHAHAHA

***

Sejak dikhianati oleh Rafel, mantan kekasihnya, Isvara tidak lagi mudah percaya dengan siapa pun. Karena jika seseorang yang sudah dia cintai dan mengaku mencintainya saja sampai hati mengkhianati dan menipu uangnya di saat Isvara jatuh dan bahkan satu kakinya lumpuh, orang lain mungkin akan lebih kejam padanya.

Pada kakeknya, Isvara juga sebenarnya tidak percaya. Orang tuanya tidak pernah membahas pria tua itu sama sekali, jadi Isvara memiliki terlalu banyak keraguan.

Sayangnya, tinggal sendiri di ibukota dengan kemampuannya sekarang ... Isvara tahu dia tidak mampu.

Isvara tidak bisa lagi menghasilkan uang. Dia sudah sangat tidak berdaya. Uang ratusan juta yang awalnya bisa dia gunakan untuk membuka bisnis kecil-kecilan bahkan dicuri mantannya sendiri.

Membutuhkan waktu dua jam sebelum akhirnya mereka sampai di pelabuhan kecil pulau. Isvara melihat pemandangan yang cantik. Pantainya benar-benar bersih, dengan pasir putih menawan. Tidak ada sampah yang merusak lingkungan.

Sisi-sisi pantai dipenuhi pohon tinggi yang rimbun. Ada jalan beraspal di kejauhan, sepertinya jalan menuju pedalaman desa.

Kursi roda Isvara diturunkan. Deva sekali lagi menggendong Isvara, membawanya turun dari speed boat dan didudukkan di atas kursi rodanya. 

"Tas Mbak Isvara biar aku aja." Galih tampak seperti pria yang jujur. Menggunakan kursi roda di atas pasir pasti sulit. Isvara tampaknya memiliki kesan baik tentang Deva, jadi biarkan Deva yang mengambil alih.

"Terima kasih." Isvara berkata lembut.

Galih menyeringai, "Suatu kehormatan membawakan koper wanita cantik."

Isvara hanya tersenyum lucu. Beberapa wanita di belakang Galih tampaknya agak terganggu. Namun Isvara tidak peduli. Dia meluruskan pandangan saat Deva mulai mendorong kursi rodanya.

"Pemandangannya masih sangat bagus. Mungkin karena nggak semua orang bisa masuk ke pulau ini." Deva menjelaskan tanpa diminta. "Pulau ini, sebagian besar wilayahnya dimiliki Kakek Irman, Mbak Isvara tahu?"

"Cukup Isvara aja." Isvara menjawab ramah. "Deva, kamu sendiri nggak mau dipanggil 'Mas'."

Deva tertawa, "Ya." lalu bibirnya menipis saat dia membisikkan nama terakhir, "Isvara."

Isvara tertegun. Perlahan dia menoleh dan mendongak, menatap pria yang juga sedang menunduk, menatapnya. 

Jari-jari Isvara melengkung.

Entah kenapa ... dia merasa tidak nyaman?

Deva tersenyum. 

Isvara mengerjap, dia menundukkan pandangan, mencengkeram kursi roda lebih erat.

Firasat apa ini?

Isvara agak ragu. Apa benar pilihannya datang ke pulau ini adalah pilihan yang tepat?

Walau bagaimana pun, jika sesuatu terjadi padanya di sini, dia bahkan tidak bisa melarikan diri.

"Takut?" Deva berbisik. Namun suaranya bisa terdengar jelas oleh Isvara. 

Isvara mengangguk ragu, dia memang sedikit takut.

"Jangan takut." Deva mendorong kursi roda dengan satu tangan. Tangan bebasnya menepuk puncak kepala Isvara pelan, membuat leher itu lebih meringkuk, "Selama kamu mematuhi aturan di pulau ini, harusnya nggak akan terjadi apa-apa."

"Aturan?" mereka semakin dekat ke jalan beraspal. Sudah ada beberapa mobil jeep yang menunggu di sana. 

"Ya, beberapa tempat selalu punya aturan." Deva menjelaskan, "Di pulau ini juga sama. Jadi sebaiknya kita mematuhi adat istiadat yang sudah dijaga nenek moyang."

The Bride ; SchadenfreudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang