Saat Isvara mengumpulkan beberapa buku untuk dibawa ke kamarnya sendiri. Isvara terlalu sibuk dengan segala tebakan dan pikirannya. Jadi, saat dia berbalik ... dia terkejut karena Sumi tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
Isvara hampir menjatuhkan semua buku di tangannya. Dia tercengang, mendongak dan menatap Sumi yang mengukir senyuman sopan. Isvara menggenggam buku lebih erat. Sejak kapan Sumi ada di belakangnya? Kenapa dia sama sekali tidak mendengar langkah suara?
Perasaan Isvara tidak enak. Namun dia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya, terlihat lebih tenang tanpa curiga.
"Ada apa?"
"Non Isvara ada tamu." Sumi mengangguk kecil. "Ada beberapa orang di luar sekarang, mereka bilang adalah temannya Non Isvara."
"Teman saya?" Isvara mengerutkan kening. Tidak mungkin Deva. Pria itu bisa melengang datang dan pergi ke rumah ini sesuka hati. Pergerakannya tidak pernah dibatasi. Bahkan, Irman sebagai pemilik rumah saja memperlakukan Deva dengan sangat sopan.
Menumbuhkan lebih banyak bibit kecurigaan di benak Isvara.
"Ya." Sumi menjelaskan lagi. "ada 6 orang. Non Isvara mau pergi?"
"Saya akan pergi ke sana sekarang." Isvara menebak beberapa orang. Di pulau ini, dia nyaris tidak memiliki kenalan. Selain Deva, Galih, dan orang-orang yang bekerja di rumah Irman, Isvara sepenuhnya asing.
Dia juga belum terlalu beradaptasi.
"Rafel." Isvara bergumam pelan. Ya, hanya Rafel dan teman-temannya saja. Isvara tidak salah mengingat, mereka ada 6 orang. Untuk apa sekarang mereka datang?
Sambil mendorong tuas kursi rodanya, Isvara meninggalkan perpustakaan, dia melihat sekeliling, tidak menemukan Deva di sana. Isvara hanya meluruskan pandangan lagi dan pergi.
Rumah ini sangat luas. Membutuhkan waktu 10 menit dari perpustakaan ke ruang tamu. Isvara tidak lelah, Sumi berjalan selangkah demi selangkah di sisinya. Isvara mendongak dan bertanya, "Mbak Sumi sudah bekerja berapa lama di sini?"
Sumi menoleh, dia tersenyum dan menjawab, "Saya bekerja di sini sejak kecil. Kebetulan ... saya yatim piatu. Pak Irman memperlakukan saya dengan baik, mungkin ... lebih dari 30 tahun."
"Mbak Sumi nggak kepikiran ninggalin pulau? Pergi ke Ibukota misalnya."
Sumi tertawa kecil. "Saya orang udik, Non. Ninggalin pulau ... mana berani?" jari-jari Sumi di sisi tubuhnya meringkuk, Isvara meliriknya sebentar. Sesekali ... dia menemukan Sumi melakukan gestur yang aneh.
"Kalo Mbak Sumi udah lama tinggal di sini, Mbak Sumi juga udah punya aset terpisah dong?"
Sumi menggosok ibu jari dan telunjuknya. Dia mungkin berpikir Isvara tidak akan melihat perilaku diam-diamnya. Isvara mengamati jari-jari Sumi. Kulitnya sawo matang. Wajah Sumi memiliki beberapa kerutan dan flek hitam. Dia terlihat seperti usia 40 atau 50-an. Tapi kulit tangannya masih sangat kencang.
"Ada beberapa." Sumi menutup pembicaraan. Seolah tidak ingin lagi mengatakan apa-apa. Isvara berhenti bertanya, tahu dia tidak bisa mengorek informasi apa pun lagi darinya. Isvara hanya bisa menebak-nebak sendiri.
Mereka akhirnya sampai di ruang tamu.
Isvara tidak terkejut melihat Rafel dan yang lainnya benar-benar datang. Mungkin, Isvara sedikit menduganya. Entah kenapa ... Isvara merasa sedikit bosan? Dia bahkan sudah menebak drama apa yang akan mereka pentaskan.
Saat awal mereka bertemu lagi, Isvara sangat marah, sedih, dan kecewa. Dia benar-benar muak dan tidak mau lagi melihat sekelompok bajingan di depannya.
Tapi sekarang ... di saat Isvara bahkan harus lebih mengkhawatirkan hidup dan matinya, dia tidak memiliki ruang untuk membenci seseorang lagi. Dia justru merasa lucu dan geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride ; Schadenfreude
TerrorPasca mengalami kecelakaan yang menyebabkan kaki kirinya lumpuh dan ditipu sampai tidak memiliki aset apa-apa di sakunya, Isvara akhirnya menerima undangan kakeknya untuk tinggal di desa agar mereka bisa hidup bersama. Semua warga desa memperlakukan...