11. Teror

2.7K 617 108
                                    

"Gue nggak nyangka kalo Isvara bener-bener cucu orang kaya."

Gibran adalah orang yang pertama membuka suara. Dia dan keempat temannya saat ini sedang makan malam, menikmati hidangan lezat dan kaya yang didominasi makanan laut yang segar.

Baik Gibran atau yang lainnya, tidak ada satu pun di antara mereka yang memiliki latar belakang keluarga kaya. Satu-satunya teman mereka yang secara finansial paling tinggi adalah Temi, ayahnya seorang kontraktor yang beberapa kali mendapat kepercayaan untuk melakukan proyek besar.

"Katanya, pulau ini juga punya Kakeknya Isvara." Nana memegangi kaki kepiting alaska dengan kedua tangan. Ini pertama kalinya dia memakan kepiting yang sangat besar, dagingnya empuk dan lezat. Aromanya begitu menggugah selera, membuat Nana yang saat pertama kali melihat hidangan itu di meja, hampir meneteskan air liurnya.

Bisa dibilang ... ini meja di depan mereka saat ini adalah meja 'terkaya' yang pernah Nana alami dalam hidupnya.

Julia, pacar Rafel sedikit cemberut, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak menyangka kalau Isvara ternyata sekaya itu. Kalau saja dia tahu lebih awal, dia tidak akan meminta Rafel untuk putus dengan Isvara tergesa-gesa. Setidaknya, dapatkan lebih banyak properti untuk jaminan masa depan mereka berdua.

Uang ratusan juta mungkin sekilas terlihat banyak, tapi sebenarnya ... uang asuransi Isvara bahkan tidak bisa membeli sebuah rumah di pinggiran ibukota.

"Sekarang gue dan Isvara udah terlanjur putus." Rafel juga benar-benar menyesal. Kalau saja dia tahu lebih awal, dia tidak akan memiliki keberanian untuk selingkuh. "tapi nanti gue coba deketin dia lagi, sekarang sebelah kaki Isvara lumpuh, nggak banyak cowok yang mau terima dia apa adanya."

Jadi, Rafel merasa sebenarnya dia masih memiliki kesempatan.

Gibran langsung setuju di permukaan, tapi di dalam hati dia benar-benar meremehkan. Rafel memandang dirinya terlalu tinggi. Dengan kekayaan di tangan Isvara saat ini, jangankan satu, bahkan walau Isvara menginginkan 10 suami sekaligus, akan ada ratusan pria yang bersedia masuk ke dalam hareemnya sekaligus.

"Ngomong-ngomong, ada yang tahu kenapa kita nggak boleh ninggalin vila malem-malem?" Nana akhirnya membuka suara. Dia sedikit memelankan suara, mencondongkan tubuh ke depan setelah melihat sekelilingnya dan memastikan tidak ada yang mengawasi.

Vila yang mereka tempati bergaya retro Belanda. Tiang-tiangnya tinggi, dengan sekat jendela di mana-mana. Masing-masing furnitur di vila itu dibuat dari kayu jati terbaik. Ada beberapa vas dan lukisan kuno. Vila ini memiliki dua lantai dengan cat didominasi putih dan cokelat tua.

Kali ini Temi membuka suara, "Sebenernya ... gue nggak yakin kalian sadar atau enggak? Tapi situasi di pulau ini agak aneh." Temi mungkin menjadi satu-satunya yang memperhatikan. Dia mengunyah perlahan sambil berkata, "setiap bangunannya hampir seragam. Cuma vila ini dan rumah yang punya pulau yang bentuk bangunannya beda."

"Mungkin Pak Irman itu punya OCD?" Rafel berkata tidak yakin.  "Intinya, dia orang kaya, siapa yang tahu apa yang dia pikirin? Bisa jadi juga dia kelebihan duit."

Nana terdiam beberapa detik, lalu bertanya, "Kalian mau coba ngelanggar pantangan nggak?"

***

Isvara berbaring di tempat tidur. Gerimis kembali turun, ada suara gemuruh samar, sepertinya kali ini hujan juga akan turun cukup lama. Isvara tidak berani meninggalkan tempat tidurnya, walau dia memiliki pengalaman menakutkan karena sosok hantu datang mengaku sebagai suaminya, dia masih lebih merasa aman di kamarnya sendiri dibanding berpergian keluar.

Isvara melihat jendela kamarnya dengan sorot lurus, tirai itu tebal dan dua lapis. Sekilas, Isvara tahu kalau harga tirai itu mungkin melebihi 2 digit. seharusnya, dengan jendela yang tertutup, tirai itu cukup kokoh, tapi Isvara melihat ujung tirai mulai bergerak-gerak, seolah akan bergeser kapan saja, menunjukkan pemandangan halaman kamarnya di malam hari.

Nggak ada angin. Tapi tirai itu terus goyang.

Isvara bergumam dalam hati, jantungnya mulai berdegup keras. Isvara menggigit bibir bawahnya, saat tirai tiba-tiba bergeser keras, Isvara dengan cepat menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

Jelas dia kedinginan, tapi tubuhnya tidak berhenti berkeringat. Terutama saat Isvara merasakan ada lekukan di sisi kakinya, seolah ... seseorang duduk di sana.

Lalu ada suara helaan napas di telinganya. Isvara tetap memejamkan mata rapat, seolah dia tidak mendengar dan merasakan apa-apa. Seakan ... dia sudah terlelap sepenuhnya.

Lalu ... ada suara tawa renyah seorang pria.

"Isvara ... gimana? Kamu suka kejutan yang suami kamu berikan?"

Suara itu begitu dekat, Isvara bahkan bisa merasakan napas hangat di telinga kanannya, membuat seluruh tubuh Isvara kaku dan menegang. Bibir Isvara terkatup rapat.

"Aku tahu ... orang-orang itu yang menyakiti kamu." suara pria itu tampak tidak berdaya. "Dia benar-benar kejam, dia bukan hanya mengkhianati kamu, dia juga membawa lari uang asuransi kamu."

"Aku tahu ... kamu sepenuhnya benci sama dia, sama mereka." Isvara merasakan ada sebuah tangan yang diletakkan di punggungnya, dia tidak berani bergerak. Tangan dingin itu perlahan merayap, sampai di tengkuk Isvara dan memeganginya. "Jangan khawatir ... mereka sudah datang, tapi mereka nggak akan pernah bisa pergi."

Lalu ada keheningan cukup lama. Pria itu tertawa lagi, "Kamu masih nggak mau menunjukkan wajah kamu? Ini nggak seperti aku belum lihat kamu ... luar dalam."

Hantu ini benar-benar bertingkah mesum, dia bukan hanya mengusapi setiap bagian tubuh Isvara, dia juga bernapas di tengkuknya, menempelkan bibirnya yang dingin di leher Isvara. Pria itu menggigit Isvara kuat, Isvara mengepalkan kedua tangannya, mencengkeram selimut di kedua tangannya lebih kuat. Namun dia masih tidak berani mengeluarkan suara, dia hanya merasakan sedikit daging di lehernya terkoyak.

Napas Isvara semakin cepat, dia mengatupkan bibir lebih erat.

Lalu Isvara mendengar suara mengunyah dan menelan. Ada desahan penuh kepuasan dan kebahagiaan, "Isvara memang yang paling enak. Nggak sia-sia aku selalu menunggu kamu datang, pulang."

Lidah dingin dan panjang itu menjilat perlahan luka di leher Isvara yang terus meneteskan darah. Dia tampak tidak berdaya saat berbisik, "Sayangnya ... ini belum waktunya. Aku belum bisa makan Isvara sekarang."

Rasa sakit di leher Isvara mereda, luka mengerikan karena sepotong daging menghilang juga tiba-tiba sembuh dalam sekejap mata.

"Istri, tawaran aku masih berlaku." bisikan di telinganya semakin lembut. Suara itu penuh rayuan dan serak menahan keinginan, dia mengimbuhkan, "selama kamu bunuh 10 orang, kamu bisa pergi dari pulau ini. Paham?"

***

Yoooo, hampir 1 bulan kali ini. Hahahahahaaha

Jangan lupa vote dan komen. Sampai jumpa next chapter~

The Bride ; SchadenfreudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang