9. Bertemu Mantan

2.8K 650 150
                                    

Vote dulu yee.

Absen.

Kali ini agak hectic, jadi baru bisa update after lewat 2 minggu. XD

***

Isvara tidak ingat, sudah berapa lama sejak terakhir kali dia bertemu? Saat itu, Isvara masih berbaring di ranjang rumah sakit, baru saja mendapat kabar kalau kaki kanannya tidak bisa diselamatkan lagi. 

Kakinya tidak berguna. Lumpuh sepenuhnya. 

Isvara sangat terpukul, dia benar-benar hancur. Dia hanya memiliki Rafel yang selalu 'mencintainya', selama bertahun-tahun ... ada di sisi Isvara melewati suka dan duka.

Walau Rafel bukan pria yang sempurna, dia juga memiliki beberapa sifat buruk dan menjengkelkan, tapi Isvara masih akan memakluminya, berpikir ... kalau di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna.

Tapi ... siapa yang akan menyangka?

Isvara mengukir senyuman redup.

Rafel saat itu berjanji untuk mengklaim asuransi atas namanya, Isvara percaya begitu saja. Lagipula, mereka akan menikah. Jadi ... Isvara tidak pernah menyangka, kalau Rafel akan lari membawa uangnya.

Isvara bukannya tidak pernah berpikir untuk melapor polisi. Tapi dia tahu laporan pun sia-sia, di dunia ini tidak ada sesuatu yang gratis. Isvara tidak punya apa-apa sekarang, dia hanya yatim piatu yang bahkan tidak punya uang. Dia mengerti laporannya hanya akan dicatat, dan kemungkinannya kecil ditelusuri.

"Is ... vara?" Rafel juga terkejut. Dia tidak menyangka akan bertemu Isvara lagi. Ekspresinya agak rumit dan bersalah. Walau bagaimanapun, dia memang sudah menggelapkan uang Isvara. "Kamu ... di sini?"

Isvara tidak mengatakan apa-apa, hanya memberinya tatapan lurus.

Rafel sedikit salah tingkah, beberapa temannya yang lain juga tampak bingung. Pacarnya Rafel memeluk lengan Rafel lebih erat, memberi Isvara sorot tidak ramah.

"Ini bener-bener takdir." akhirnya Isvara tersenyum. Entah kenapa ... dia merasa puas?

Isvara tahu pulau ini aneh, dia mengira ... hanya dia satu-satunya yang akan menjadi korban. Tapi melihat sosok yang sudah mengkhianatinya juga menginjakkan kaki di pulau ini dengan bodohnya, dia merasa suasana hatinya membaik.

Rafel tidak tahu harus menjawab apa?

"Ratusan juta." Isvara berkata tanpa daya. "Kamu bener-bener menikmatinya."

Wajah Rafel agak jelek. Dia awalnya merasa sedikit bersalah, tapi karena Isvara menyerangnya lebih dulu, dia membalas, "Itu kompensasi aku karena selama ini jadi pacar kamu. Biaya putus."

"Biaya putus?" Isvara kali ini tertawa kecil. "Sampai ratusan juta? Rafel ... apa kamu nggak merasa terlalu melebih-lebihkan diri kamu sendiri? Kamu sama sekali nggak layak."

Mendengar kata-kata Isvara, orang yang datang bersama Rafel tidak senang. Pacarnya Rafel mencibir, "Lo sekarang nggak lebih dari cewek cacat yang nggak punya apa-apa, jaga mulut lo. Jangan sampe orang lain dendam terus lo akhirnya kenapa-napa."

Isvara tidak melirik wanita itu sama sekali. Hanya memperhatikan ekspresi Rafel yang berubah-rubah dengan sorot menarik.

"Gue ngomong sama lo!" pacarnya Rafel semakin marah, akhirnya berhasil menarik atensi Isvara.

"Oh, maaf." Isvara tersenyum kecil. "Saya jarang berkomunikasi dengan pelacur."

"Lo-!"

"Isvara adalah cucu dari pemilik pulau ini." Deva yang sejak tadi diam akhirnya membuka mulut. Dia mengukir senyuman hangat, "tolong bersikap hormat."

Baru kemudian perhatian mereka teralihkan pada Deva. Jika pria itu tidak bicara, hampir saja orang-orang itu melupakan keberadaannya. Sosok yang begitu tampan dan mencolok, namun hawa kehadirannya begitu lemah sampai dilupakan banyak orang.

Mendengar Isvara merupakan cucu pemilik pulau, orang-orang ini sebenarnya tidak ingin percaya. Tapi bukan hanya satu orang, tapi bahkan Deva juga mengonfirmasinya. Pulau ini benar-benar milik kakeknya Isvara? Bukankah artinya Isvara ini sekarang sangat kaya?

Rafel juga tercengang, kalau dia tahu ternyata Isvara sekaya ini, dia tidak akan memilih putus. Dengan begitu, saat mereka menikah, bukankah pulau ini juga akan menjadi miliknya?

Mata itu dipenuhi dengan penyesalan dan keserakahan. 

Isvara merasa dalam beberapa tahun terakhir terlalu buta, kenapa dia gagal melihat esensi Rafel yang sebenarnya?

"Ngomong-ngomong, saya nggak tahu kalau kalian akan datang ke pulau ini." Isvara menurunkan kelopak matanya. "Saya nggak bakalan bahas hal-hal  yang udah lama. Lagipula, apa artinya ratusan juta dengan kekayaan yang saat ini di tangan saya? Anggap aja kemarin itu sedekah."

Isvara mengerjap, bibirnya mengukir sunggingan mengejek, "Selamat bersenang-senang, saya permisi."

Setelah mengatakan itu, Isvara meminta Deva mendorong kursi rodanya menjauh. Deva menurut, namun dia memperhatikan Rafel dalam-dalam, mengukir sunggingan aneh sebelum akhirnya mendorong kursi roda Isvara pergi.

***

"Mantan pacar?" Deva menunduk, dia melihat kalau Isvara tidak setenang beberapa saat lalu. Kedua tangannya terkepal kuat, bibirnya terkatup rapat. Napasnya sedikit tersengal, dia memejamkan mata, berusaha menekan setiap gemuruh liar di balik dada.

Mana mungkin Isvara tidak sakit hati?

Isvara selalu memperlakukan Rafel dengan tulus. Bahkan setelah Rafel menipunya, Isvara  bertanya-tanya apa yang salah dengannya? Kenapa Rafel begitu tega mencuri uang Isvara di saat dia sendiri tahu Isvara tidak punya apa-apa?

Dia merasa selalu memperlakukan Rafel dengan baik. Mereka sama-sama bukan orang kaya, mereka harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Mereka akan menopang satu sama lain, bahkan sebelum-sebelumnya, setiap Isvara sakit ... Rafel akan menjadi satu-satunya orang yang menjaga Isvara sampai pulih.

"Jangan memikirkannya." Deva memegangi puncak kepala Isvara, menarik kembali kesadaran wanita itu. Kedua sudut mata Isvara memerah, Deva menghela napas tanpa daya, lalu mengusap pipinya. "Air mata kamu terlalu berharga untuk menangisi seseorang yang nggak berharga."

Deva menghentikan dorongannya, dia melangkah ke depan Isvara, lalu berjongkok di depannya. "Saya ... sebenernya nggak suka melihat kamu menangis untuk seseorang."

Pupil hitam itu tampak semakin gelap, "Itu membuat saya terganggu."

Isvara balas melihat Deva, dia merasa ada yang aneh dengan kalimat Deva barusan, tapi dia gagal menemukan keanehannya di mana?

"Isvara ... kamu hanya bisa menangis untuk saya." Deva menghapus air mata Isvara yang perlahan jatuh di pipinya. "semuanya untuk saya."

Isvara tidak mengatakan apa-apa. Tapi ... dia menemukan lebih banyak hal yang salah pada Deva. Isvara memiliki firasat ... entah apa pun hal buruk yang terjadi di Pulau Pengantin ini, semuanya pasti berhubungan dengan sosok pria di depannya.

Namun Isvara tidak berani bertanya.

Keingintahuan selalu membunuh kucing. Terkadang, mengetahui lebih sedikit membuat hidup seseorang lebih aman.

Deva juga menebak apa yang Isvara pikirkan, kedua sudut bibirnya terangkat semakin tinggi, dia tertawa renyah, "Kamu sangat pintar."

Dia menghirup napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan dan berbisik, "Kamu bener-bener terlalu pintar. Saya semakin menyukai kamu, Isvara ... apa yang harus saya lakukan?"

***

Semakin yakinlah readers kalo iblisnya itu adalah Deva. Hahaha

The Bride ; SchadenfreudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang