13. Sang Pendosa

3K 584 45
                                    

Deva tersenyum mendengar pertanyaan Isvara. Senyuman itu begitu dalam dan terlihat mencurigakan, tapi Isvara bersikap seolah dia sama sekali tidak menyadarinya. tangan Isvara terkepal kuat, bibirnya terkatup rapat, kelopak matanya terkulai turun.

Isvara berbisik, "Kamu ... juga nggak tau?"

"Saya tau." Deva menjawab ringan. Dia melangkah ke belakang Isvara, mendorong kursi rodanya maju. "ayo, ada perpustakaan pribadi di rumah kakek kamu, saya akan mengantar kamu ke sana."

Deva benar-benar tidak memperlakukan rumah Aiman seperti rumah orang lain, dia bisa berkeliaran dengan bebas. Bahkan Sumi yang berpapasan dengannya langsung mengangguk sopan begitu mereka saling menghadap.

Menyusuri lorong, Isvara mengalihkan mata ke arah kaca panjang yang menghiasi dinding rumah. Menunjukkan pemandangan pagi yang cantik dan didominasi warna hijau. Langitnya biru terang, dengan awan yang berarak cerah.

"Kamu kelihatan nggak nyaman tinggal di sini." Deva terkekeh kecil. Membuka pembicaraan. "belum terbiasa?"

"Ya." Isvara tidak menyangkal. "saya terbiasa tinggal di kota besar. Jadi agak sulit beradaptasi dengan lingkungan yang transportasi dan komunikasinya terbatas seperti sekarang."

Saat Isvara menatap sebuah pohon besar, dia melihat seorang pria yang berdiri di sisi pohon itu. Dia memakai kaos putih dan celana kain hitam. Sosoknya terlihat pucat dengan poni yang hampir menutupi seluruh mata. Isvara terkejut. Sosok itu adalah orang yang dilihat Isvara saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.

Isvara selalu penasaran tentang orang itu. Walau bagaimanapun ... dia satu-satunya orang yang melanggar pantangan desa, berkeliaran di luar saat malam tiba.

Deva menghentikan langkahnya. Dia juga menoleh ke arah pria itu. Pupilnya yang terang perlahan menggelap, ekspresi wajahnya sangat muram. 

Isvara menyadari sesuatu yang salah, jadi dia mendongak menatap Deva bingung, "Ada apa?"

"Bukan apa-apa." Deva tersenyum lagi, dia menundukkan pandangan, tersenyum pada Isvara. "kamu lihat orang tadi?"

"Jadi dia orang?"

"Kenapa kamu mengira dia bukan orang?" Deva tertawa geli. Isvara juga sedikit malu, namun saat dia melihat ke arah pria berkaos putih tadi, sosoknya sudah menghilang. Isvara melihat Deva.

Deva menjelaskan, "Dia adalah pendosa."

"Pendosa?"

"Ya, dia juga salah satu tabu di pulau ini." Deva mendorong kursi roda Isvara lagi. Dia menceritakan segalanya dengan murah hati. Selama Isvara bertanya, dia tidak akan merahasiakan apa-apa. Terkadang, sikapnya ini membuat Isvara curiga tapi juga tidak yakin.

"Kamu tahu ... di pulau ini, begitu malam tiba, nggak ada seorang pun yang boleh meninggalkan rumah? Jendela dan tirai harus ditutup."

Isvara mengangguk. 

"Tapi dia ... satu-satunya orang yang berani melanggar aturan." 

Isvara tercengang. Dia tidak menyangka akan mendengarkan informasi yang begitu besar. Isvara selalu merasa tidak ada orang yang akan memiliki keberanian melakukan hal-hal tabu di pulau ini. Peringatan itu bukan hanya sekadar rumor, Isvara merasa siapa pun yang melanggar tabu ... mereka akan benar-benar mati.

"Menurut kamu, berapa umur orang itu?"

Isvara mencoba merenungkannya, lalu menjawab ragu, "Sekitar awal 20-an?" 

"Umurnya baru 7 tahun."

Kali ini Isvara dibuat tercengang sepenuhnya. Tinggi pria tadi diperkirakan lebih dari 180. Dia sedikit kurus dan bungkuk, tapi jelas tidak terlihat seperti seorang anak yang baru berumur 7 tahun.

Bahkan pengaruh hormon juga ada batasnya. 

Kecuali mengidap penyakit langka tertentu, rasanya agak tidak masuk akal melihat seorang anak kecil tumbuh secepat itu.

"Satu hari, Jikininki keluar untuk memakan manusia." Deva berkata riang, dia bersenandung, akhirnya mereka sampai di depan perpustakaan. Dua pintu besar itu berwarna cokelat tua, bahanya dari kayu jati yang solid. Ukiran aneh di tepi pintu membuat Isvara kehilangan fokusnya beberapa detik.

"Dia memakan seorang wanita hamil, dari mulai kepala, lalu kedua kaki dan tangannya."

Isvara kali ini menegang. Dia tidak ingat berapa kali perkataan Deva membuatnya terkejut? Kedua tangan Isvara memegangi lengan kursi roda erat, meremasnya. Mencoba menetralisir kegugupan dan rasa takutnya.

"Saat Jikininki merobek perut wanita hamil itu, bukannya harusnya si bayi mati?" Deva berkata ragu. "janin itu baru berumur 7 bulan, ibunya mati lebih awal, jadi ... harusnya bayi itu juga mati, kan?"

Deva tampak berpikir, tampaknya dia juga tidak terlalu memahami. Namun dia menghela napas dan menggeleng pelan, "Tapi anak itu nggak mati. Anak itu merangkak keluar dari perut ibunya. Jikininki kaget, dia bingung dan penasaran. Jadi sambil makan ibunya, dia melihat apa yang bisa dilakukan anak itu?"

"Dia hidup sendiri, tanpa orangtua atau perlindungan orang dewasa." Deva terkekeh. "Jikininki pergi, seminggu kemudian dia kembali. Tapi yang mengejutkan anak itu nggak mati. Dia jelas hidup sendiri, tanpa makanan dan minuman, tapi dia masih hidup. Dalam satu minggu, dia juga tumbuh sangat cepat. Dia bisa berjalan dan berlari, umurnya ... mungkin sekitar 3 tahun?"

Deva tidak yakin, "Kamu mau tahu bagaimana cara anak itu bertahan hidup?"

Isvara mendapatkan firasat jelek. Dia tidak mau tahu, tapi juga penasaran. Deva menggantungkan kalimat beberapa detik. Pria ini sangat disengaja. Bibirnya yang merah membentuk lengkungan saat dia berbisik, "Dia ... hidup mengandalkan daging dan darah ibu kandungnya. Ya, dia makan daging ibunya, minum darah wanita yang melahirkannya, dengan cara itu dia berhasil bertahan."

Isvara merinding. Seluruh tubuhnya tegang, "Dia bukan manusia."

"Dia manusia." Deva memiringkan kepala sedikit, "atau mungkin setengah manusia? Dari perkiraan saya ... sepertinya ayahnya iblis."

Deva terkekeh. "Kejutan, ini juga pertama kalinya saya tahu ras iblis dan manusia bisa menghasilkan keturunan."

"Jikininki ... dia nggak mau makan anak itu?" 

"Baunya terlalu busuk." Deva menggeleng lagi. "bahkan iblis sedikit sulit kalau harus memakan sesama jenisnya. Itu sebabnya saya aneh kenapa banyak di antara manusia yang nggak keberatan makan daging sesama manusia? Nggak ada rasa jijik dan mual?"

Isvara berkata linglung, "Ya ... ada beberapa orang dengan selera menjijikkan."

"Jadi Jikininki meninggalkan anak itu, membiarkan dia bertahan hidup dengan caranya sendiri. Lambat laun, warga desa menemukannya. Dia anak kanibal yang memakan daging ibunya. Tapi mereka terlalu takut menghadapi anak itu, jadi mereka mengasingkannya."

"dalam 7 tahun, dia tumbuh semakin tinggi dan besar. Lalu Jikininki mulai sadar ... anak ini agak sulit dibunuh." 

Isvara berkedip, "Anak itu kuat?"

"Bukan kuat." Deva menggeleng, "tapi dia pandai lari dan menyembunyikan diri. Dia bener-bener setengah iblis pengecut." Deva tertawa. Suasana hatinya tampak gembira. Dia akhirnya mendorong pintu perpustakaan sampai terbuka.

Isvara masih merenungkannya. Lalu dia mulai menyadari sesuatu.

Isvara perlahan mendongak, menatap Deva terpaku.

Kenapa Deva tahu begitu banyak tentang Jikininki? Dia juga bercerita segala sesuatu seolah dari sudut pandangnya sendiri.

Deva menunduk. Menatap wajah pias Isvara, Deva lambat laun mengukir senyuman ambigu.

***

Dialog tokoh :

Isvara : Sebenernya ... kamu itu iblisnya, kan?

Deva : Saya bukan, saya bukan #gelenggeleng

The Bride ; SchadenfreudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang