7. Kegugupan

2.9K 667 118
                                    

Kesialan ini terlalu bertubi-tubi.

Isvara merasa tercekik. Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang, dia benar-benar tidak berkutik.

Baru sekarang Isvara memikirkannya, hal-hal buruk yang dialaminya terlalu beruntun. Semuanya terjadi begitu terkonsep. Mendorong Isvara selangkah demi selangkah mundur.

Kecelakaan itu ....

Isvara memegangi kaki kanannya yang saat ini tidak berguna. Bibirnya terkatup rapat. Dia tidak pernah menyangka kalau kecelakaan yang menimpanya saat itu akan menjadi buatan tangan manusia.

Ini jelas-jelas direncanakan, terlebih ... kemungkinan pelakunya masih kakeknya sendiri.

Dia diberi uang asuransi, tapi pacarnya dalam sekejap mengkhianatinya. Pria itu melarikan diri dan mengambil hampir semua uangnya. Isvara tidak punya kemampuan, tapi secara 'kebetulan', kakeknya menemukannya. Dia meminta Isvara untuk datang ke Pulau Pengantin.

Tujuannya?

Isvara saat ini duduk di kursi rodanya, sendirian menatap pemandangan hijau yang asri pukul 9 pagi. Tatapannya terarah lurus pada sebuah pohon besar di kejauhan. Tempat di mana Isvara melihat sosok pria yang berdiri di sana saat malam hujan.

"Kegembiraan warga kampung nyambut kedatangan aku terlalu nggak biasa." Isvara bergumam pelan. Matanya menerawang kosong. "Kakek juga terlalu antusias. Mama dan Papa mungkin bukan kawin lari. Kalau sekadar nggak direstui, harusnya mereka nggak tutup mulut soal Kakek sama sekali."

Tapi setiap kali mengingat kakeknya, jelas ekspresi orang tua Isvara pucat. Mereka tampak ketakutan dan gugup. Ini tidak seperti membicarakan ayah atau mertua, tapi ... seolah membahas sosok yang menakutkan.

Terlebih, Isvara dan orang tuanya selalu berpindah dari satu kota ke kota lain. Seolah menghindari kejaran seseorang.

"Aku ceroboh." Isvara memejamkan matanya rapat. Dia menghela napas berat. Saat ini, dia hanya bisa mencari jalan keluar. Dia  mencoba menenangkan diri, tidak terlalu takut dan gugup. Saat ini, selama dia tidak melanggar aturan, harusnya dia baik-baik saja.

Bahkan, walau 'sosok yang mengaku sebagai suaminya' ingin mengambil hidup Isvara, setidaknya tidak dalam waktu dekat.

Setelah cukup lama, perlahan Isvara membuka mata, dia terkejut melihat sosok yang sudah berjongkok di depannya.

"De-Deva?"

"Ah, saya bikin kamu kaget?" Deva tertawa ringan. Pria itu memasang ekspresi humor. "Saya melihat kamu melamun, jadi saya penasaran."

Isvara mengepalkan tangannya. Mencoba bersikap biasa, dia menjawab lembut, "Ya, ada banyak hal yang terjadi."

"Gelisah?"

"Mereka yang hidup selalu gelisah." Isvara tidak menyangkalnya. "Selalu ada satu atau dua hal penyebabnya. Terkadang lebih banyak dari yang bisa kita tangani. Kedamaian dan ketentraman itu hanya sekadar doa dan harapan. Mereka yang hidup nggak akan pernah bisa mengalami terutama dalam jangka panjang."

Mendengar kata-kata itu, senyuman di bibir Deva lebih halus. Dia berkata menenangkan, "Itu uniknya manusia."

Deva mengimbuhkan, "Khawatir dan cemas untuk hal-hal yang belum tentu terjadi, sama sekali nggak mengantisipasi terhadap hal-hal yang justru hampir selangkah mereka hadapi."

"Apa tujuan manusia terus berkembang biak? Dunia ini nggak sebaik dan seindah yang mereka pikirkan. Terkadang ... hidup menjadi salah satu kesalahan terbesar."

"Kamu nggak mau hidup?"

Isvara terdiam. Dia kali ini menatap Deva lurus, berkata tenang namun yakin, "Saya mau hidup."

The Bride ; SchadenfreudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang