4. Perasaan Tidak Nyaman

5K 1.5K 275
                                    

Isvara menggenggam kursi rodanya erat. Begitu Irman datang menghampirinya, menyambutnya, orang-orang yang awalnya mengamati di kejauhan juga mendekat. Mereka mengepung Isvara.

Ekspresi mereka begitu dipenuhi sukacita.

"Oh, ini Non Isvara. Selamat datang. Selamat datang."

"Kami selalu ingin mengenal Non Isvara, kami menunggu begitu lama. Akhirnya kami bisa melihat Non Isvara."

"Terima kasih karena bersedia datang. Terima kasih."

Isvara semakin pucat. Disambut dengan begitu bahagia seolah dia merupakan sedotan penyelamat, dia sama sekali tidak senang. Tidak ada sukacita di balik dada, dia justru semakin gugup. Hal macam apa yang membuat mereka begitu tidak sabar menyambut kedatangannya?

Isvara merasakan firasat buruk. Dia memikirkannya, 'Keputusan aku datang ke pulau ini mungkin jadi keputusan yang paling impulsif.'

Walau hidupnya di ibukota sulit, tapi dia sudah lama tinggal di sana. Selain hal-hal tidak menyenangkan yang dia alami karena ditipu mantan pacar, sebenarnya dia hidup cukup baik.

Dia tidak punya bakat berkarya, dia juga tidak bisa lagi bekerja. Tapi, Isvara bisa membuat beberapa kue. Setelah Isvara memikirkannya, walau memanfaatkan kekurangannya untuk berjualan sambil mengambil simpati orang itu memalukan, tapi dia memang masih bisa hidup walau sangat pas-pasan.

Tapi, sekarang dia pergi ke sebuah pulau yang aneh. Jika dia ingin melarikan diri, dia tidak akan punya kemampuan lagi.

Dia bahkan kesulitan berjalan, bagaimana caranya dia bisa lari?

"Santai." melihat wajah tegang Isvara, Deva seolah menyadari kegugupannya, dia mengusap bahu Isvara menenangkan. "Warga desa terlalu antusias menyambut kamu. Mereka akan mundur."

Begitu Deva menyelesaikan kalimatnya, orang-orang itu mundur memberi jarak. Takut kalau kedekatan mereka membuat Isvara semakin tidak nyaman. Senyuman di bibir Deva tampak menenangkan.

Tapi bahkan sejak pertama kali Isvara melihatnya, dia merasa Deva tidak sesederhana yang terlihat.

"Ayo." Deva mendorong kursi roda Isvara. "Aku akan mengantar kamu ke kamar."

***

Kamar yang diberikan untuk Isvara luasnya sekitar 20 meter. Bagi Isvara, ini sudah sangat luas. Ada ranjang king size dengan seprai putih. Bedcover cokelat tua, dua bantal, dan satu guling di atasnya.

Ada lemari 5 pintu. Isvara melihat sebagian besar lemari sudah diisi banyak pakaian. Saat Isvara mengambil satu, dia tercengang karena model pakaian ini disesuaikan dengan preferensinya.

Ada rak berisi belasan pasang sandal.  Lusinan tas berbagai warna, satu set sofa mewah, dan tv LED. Begitu Isvara melihat ke kamar mandi, bath tub bersih itu membuat pupil Isvara menyusut sesaat.

Rumah ini bergaya klasik, tapi kamar ini seolah disesuaikan dengan preferensinya.

Irman yang berdiri di samping Isvara menjelaskan, "Kamu besar di kota. Jadi Kakek berpikir, kamu pasti nggak akan terbiasa dengan perubahan suasana yang terlalu besar. Begitu kamu bilang setuju untuk datang ke pulau ini, Kakek langsung merenovasi kamar ini, berharap cocok untuk kamu."

"Iya." Isvara mengangguk. Kamarnya semewah kamar di hotel bintang 5. "Makasih."

"Apa yang harus diterima kasihkan?" Irman terkekeh. "Harusnya Kakek yang berterima kasih. Terima kasih, karena kamu sudah datang."

Isvara tidak mengatakan apa-apa lagi. Sejujurnya, perubahan ini masih agak sulit untuk dia terima. Dia hanya berharap keputusannya ini tidak memberikan resiko yang fatal. Isvara bahkan tidak melaporkan penipuan mantan kekasihnya pada polisi, dia hanya ingin hidup dalam damai.

Permintaannya tidak begitu sulit bukan?

***

"Non Isvara, ayo turun untuk makan malam." pintu kamar Isvara diketuk. 

Isvara baru saja bangun tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan untuknya. Begitu dia terjaga, hari sudah berubah malam. Isvara beringsut bangun. Dia melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 malam.

"Non Isvara?" ketukan di pintu kembali terdengar. "Boleh saya masuk?" 

"Ya." Isvara menyahut parau.

Pintu perlahan didorong. Isvara melihat seorang wanita yang usianya sekitar pertengahan 40. Memakai daster hitam, kulitnya berwarna madu. Rambut wanita itu digulung, penampilannya hangat dan tampak keibuan.

Hanya saja ... entah karena kurang istirahat atau bukan? Kantung matanya cukup hitam dan besar.

"Saya Sumi." Sumi memperkenalkan diri. "Saya ART di rumah Tuan."

"Iya." Isvara menyingkirkan bedcover yang menutupi tubuhnya. Dia melihat Sumi bergegas berjalan menuju jendela besar yang tirainya belum ditutup. Dia segera menutup tirai. Lalu sosoknya tidak bergerak.

Isvara mengawasinya. Melihat keheningan Sumi, mau tidak mau dia sedikit gugup. "Mbak Sumi?"

"Non Isvara." Sumi memanggil dengan nada tenang.

Isvara menunggu.

"Lain kali, sebelum pukul 6 sore, pastikan untuk menutup jendela kamarnya, tirainya juga." Sumi masih tidak berbalik. Isvara tidak tahu apa yang wanita itu lakukan? Tapi punggung Sumi sedikit gemetar. "Mengerti?"

"Saya ... saya mengerti." Isvara beringsut mundur, takut. Kedua tangannya mengepal bedcover erat. "Tapi kenapa?"

"Aturan dari 'Dia'." Sumi menjelaskan. Perlahan, dia menoleh, mengukir senyuman samar pada Isvara. "Dia sudah memberi aturan, jadi jangan mempertanyakan."

"Malam hari, tidak boleh meninggalkan rumah. Bahkan mengintip keluar juga tidak boleh." Sumi menunjuk jam dinding di kamar Isvara, "Waktu maksimalnya ... pukul 8 malam. Jangan lupa."

"Apa yang akan terjadi jika saya melanggar?"

Sumi terdiam. Dia hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa.

Isvara merasa degupan jantungnya semakin keras. Jika dia tahu aturan demi aturan di pulau ini sangat aneh, dia tidak akan pernah datang, oke?

Dia tidak pernah menyangka kalau di zaman ini, masih ada suatu wilayah yang menentukan aturan yang begitu primitif.

"Sudah waktunya makan malam." Sumi mengalihkan pembicaraan. "Mari, saya akan mendorong kursi rodanya."

"Cukup bawakan saya kruk. Ini tidak seperti kedua kaki saya lumpuh." Isvara menolak.

Sumi patuh. Dia menyerahkan kruk yang disimpan di dekat nakas, Isvara menerimanya, dia turun dan berjalan menggunakan kruk meninggalkan kamar.

Mereka menyusuri lorong. Ada jendela panjang yang dijeda dengan tembok seluas 2 meter. Rumah ini sangat luas, namun semua jendelanya sudah ditutup tirai.

Isvara menoleh ke sisi kanannya, ada satu jendela yang tirainya tidak tertutup sepenuhnya.

Di kejauhan, Isvara melihat seorang pria berdiri di bawah langit malam. Pria itu memakai kaos putih dan celana jeans. Kulitnya pucat. Matanya yang tajam terarah pada Isvara, seolah tahu Isvara akan menoleh padanya.

Isvara menghentikan langkah sepenuhnya, saat dia akan membuka mulut bertanya siapa orang di luar? Sumi bergegas menutup tirai sepenuhnya. Gerakannya gesit dan kasar.

Isvara mengerjap. Dia melihat Sumi lagi.

"Mari, Non." Sumi tersenyum, "Tuan sudah menunggu Nona di ruang makan."

Isvara tidak berani bertanya. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti Sumi dengan hati yang gelisah sepanjang jalannya.

***

Ayo absen vote dan komen dulu. Heheheu. 

Siapakah iblisnya? Hohohoho

The Bride ; SchadenfreudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang