Harus meninggalkan pulau ini sebelum malam.
Terdengar mudah, tapi sebenarnya jarak dari desa ini ke pelabuhan sangat jauh. Bahkan, walau Isvara bisa mendapatkan mobil, di mana dia bisa menemukan kapal untuk menyebrang laut?
Isvara merasa dia jatuh ke dalam situasi yang benar-benar putus asa. Dia mengerti ... tanpa izin 'pemilik', dia tidak bisa meninggalkan pulau ini sama sekali.
Bibir Isvara terkatup rapat, ekspresinya tampak putus asa dengan kedua pupilnya yang kusam gelap.
Bagaimana cara dia bisa lari dengan setengah kakinya yang cacat?
Benarkah ... dia hanya akan mati di tempat ini?
Tidak ada jalan untuk lolos sama sekali?
"Kamu tahu banyak." Isvara bergumam pelan, menatap Deva tenang. "Deva ... kamu seperti ensiklopedia hidup tentang pulau ini."
Bahkan hal-hal yang tidak dikatakan orang lain, dia mengungkapkannya tanpa ragu. Dibanding Irman yang disebut sebagai pemilik pulau ... Deva terlihat seperti sosok pemilik yang sebenarnya. Dilihat dari cara semua orang memperlakukan Deva, bahkan kakeknya terlihat segan di depannya. Isvara curiga ... kalau Deva ... sebenarnya bukan manusia.
Tapi, kecurigaan hanyalah kecurigaan. Isvara tidak bermaksud untuk menyelisik lebih dalam. Rasa penasaran membunuh kucing. Iblis ingin mempermainkannya, Isvara tidak bisa melawannya. Dia pikir ... mungkin iblis yang mengaku sebagai suaminya saat ini hanya ingin membimbing Isvara selangkah demi selangkah, menyingkap tabir tentang Pulau Pengantin dengan kedua tangannya sendiri ... lalu menunjukkan hal-hal yang akan membuat Isvara lebih putus asa dan ketakutan.
"Menurut kamu gitu?" Deva terkekeh. Kedua pupilnya melebar, menunjukkan antusias dan euforia. "kalo begitu ... Isvara bisa tanya apa pun sama saya. Saya akan menjawab setiap pertanyaan Isvara ... semuanya."
Menantikannya.
Tidak sabar menunggunya.
Keinginan dan nafsu yang membeludak.
"Saya nggak akan tanya tentang apa pun lagi." Isvara perlahan menarik tangannya, dia tersenyum susah payah, "setelah apa yang kamu bilang barusan, saya ngerti ... tanpa izin Kakek, saya nggak bisa pergi sama sekali."
"Kamu nggak mau tanya-tanya lagi?"
"Nggak ada."
"Saya yakin ada banyak pertanyaan di benak kamu sekarang."
"Saya nggak terlalu pintar." Isvara merasa jantungnya berdegup kuat. Sangat keras. Punggungnya berkeringat dingin, dia tidak nyaman dan gugup karena dorongan Deva yang terlalu antusias. "itu cukup."
Deva terdiam. Sepasang pupil gelap sedalam jurang itu memindai wajah Isvara saksama, melihat sebutir keringat yang mengalir dari pelipis Isvara, gerakan menelan tanpa sadar karena terus diawasi olehnya.
Deva tertawa, tawanya keras dan bahagia. "Isvara ... kamu sebenernya sangat pintar." Deva mengulurkan kedua tangan, menangkup pipi Isvara dengan telapak tangannya yang besar. "kamu ... manusia paling pintar yang pernah saya temui dalam hidup ini. Jadi jangan rendah diri."
"Beberapa orang yang saya temui, saat tahu rahasia di pulau ini ... mereka bekerja keras untuk mencari lebih banyak informasi, melakukan satu demi satu trik supaya bisa lari." Deva menghela napas berat, menggeleng pelan. "mereka sama sekali nggak sadar ... tanpa izin pemilik, mereka nggak bisa pergi sama sekali. Kamu tahu kenapa?"
Isvara hanya diam.
Deva terhibur, dia mendekatkan wajah mereka, berbisik di telinga Isvara dengan suara yang lembut dan membujuk, "Karena iblis itu ... adalah pulau ini sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride ; Schadenfreude
HorrorPasca mengalami kecelakaan yang menyebabkan kaki kirinya lumpuh dan ditipu sampai tidak memiliki aset apa-apa di sakunya, Isvara akhirnya menerima undangan kakeknya untuk tinggal di desa agar mereka bisa hidup bersama. Semua warga desa memperlakukan...