*Part 12*

585 34 8
                                    

#AuthorPov

Senja di sore ini terlihat indah memanjakan mata, warnanya yang merah keungu-unguan membuat siapapun yang melihatnya menjadi takjub.

Ratusan kelelawar telah keluar dari persembunyian, suara hewan malam mulai terdengar bersahut-sahutan.

Sementara sepasang mata bulat indah menatap langit nan jauh di atas sana. Air mata mengalir membasahi pipi mulusnya yang merah merona seperti buah tomat. Wajahnya tak bisa berbohong jika ada rasa sakit yang sedang ia coba tutupi.

Sudah hampir dua jam ia duduk di teras rumahnya namun sepertinya ia masih enggan untuk beranjak dari duduknya. Rumah yang terbuat dari kayu sudah terlihat sedikit rapuh, warna cat dindingnya sudah mulai usang termakan usia. Di beberapa sudut rumah pun terlihat rayap yang sudah membuat sarang.

"Mah, Pah. Aku rindu." Lirih Delya diiringi dengan air matanya yang semakin mengalir deras.

"Aku harus bagaimana? Aku gak punya siapa-siapa lagi."

Delya akhirnya menangis sejadi-jadinya tanpa takut di dengar oleh orang lain. Letak rumahnya yang agak jauh dari tetangga membuatnya leluasa untuk meluapkan segala kesedihannya. Ia tinggal seorang diri di rumah ini, rumah kecil berukuran 5 x 7 meter. Ia memilih pulang ke rumah setelah di usir oleh Araya, suaminya.

Hari mulai semakin gelap, hawa dingin mulai merasuk hingga ke tulang. Suara jangkrik dan burung malam mulai bersahut-sahutan seperti sedang paduan suara.

Delya bergegas masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dan jendela rapat-rapat.

Seusai Shalat Maghrib dan Isya, ia membaringkan tubuhnya di atas kasur kapuk peninggalan orang tuanya. Sekitar lima menit ia rebahan, suara gemericik air terdengar tanda hujan turun. Delya mengintip dari celah jendela kamarnya dan benar, di luar sedang hujan deras.

Rasa takut mulai menghampirinya, takut kalau angin kencang tiba-tiba datang dan menerbangkan atap rumahnya. Ia tau kalau rumah ini tidak akan mampu melindunginya dari angin kencang.

Mata indahnya menatap nanar ke arah dinding kamarnya. Pikirannya melayang, mengingat masa-masa ketika ia akan di persunting oleh Araya. Mengingat segala kenangannya, pikiran dan hatinya yang selalu bergejolak. Rasa sakit dan tak suka berusaha ia buang, ia berusaha mencintai dan menerima suaminya itu. Namun apa yang ia dapat, penolakan dan rasa sakit yang berkali lipat. Luka lebam di hatinya belum juga sembuh, kini di tambah dengan luka yang baru.

Hantaman ombak kehidupan terus menerpanya, tapi ia masih terus berjuang sendiri untuk hidupnya. Ia tak boleh menyerah, ia tak mau kalah dengan kenyataan pahit hidupnya.

Fidelya Cliantha Aime. Nama yang indah tapi sayang kisah hidupnya tak seindah namanya.

-------

#SementaraDirumahDinasAraya

Pukul 21.45 waktu setempat, Araya sedang memainkan hp pintarnya.

Tok tok tok
Ia mengernyitkan dahi memastikan kalau ada yang mengetuk pintunya.

Ketukan itu berulang kembali dan ia segera bergegas membuka pintu.

"Eh, kamu, Wan." Rupanya Weni dan suaminya yang datang.

"Ijin, siap, Komandan!"

"Ayo, masuk!"

Ridwan masuk terlebih dulu di ikuti Weni dari belakang.

"Jadi, ada maksud apa kalian kesini?"

Weni dan Ridwan saling tatap-tatapan, Ridwan menyenggol lengan istrinya.

"Ijin, sebelumnya kami minta maaf, pak, sudah lancang datang kesini." Weni menghela panjang "Saya mau mencari Delya, eh maksud saya mau cari Ibu Danki, pak."

Araya terdiam sejenak, ia tak langsung menanggapi pertanyaan Weni. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

"Dia tidak ada disini!"

"Maksudnya, ibu sedang keluar kota?"

"Tidak. Dia sudah tidak tinggal disini dan saya juga tidak tau dia tinggal dimana. Hubungi saja nomornya!" Ucap Araya ketus, hatinya masih terasa sakit mengingat perbuatan Delta.

Kembali Weni dan Ridwan saling menatap, ada beribu pertanyaan di kepala mereka namun tak enak hati jika harus menanyakan itu semua.

"Ehhmm. Ijin, pak. Tapi nomor Delya gak pernah aktif semenjak pulang dari cafe alam minggu lalu. Saya hanya khawatir karena tidak biasanya dia seperti itu."

"Mungkin dia sedang bersama...., Eh tunggu, cafe Alam? Berarti kalian bersama Delya dan Wira di cafe itu?" Tanya Ray serius.

"Ijin, iya, pak." Kali ini Ridwan yang menjawab.

"Berarti kalian tau hubungan Delya dan Wira?"

Untuk ketiga kalinya Weni dan Ridwan saling berpandangan.

"Maksudnya, hubungan apa, yah, pak?"

"Delya dan Wira menjalin hubungan asmaran, kan?"

"Hah?" Weni dan Ridwan  terperangah kaget.

"Ma-af kalau saya lancang, pak. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Saya berani menjamin jika Delya dan Wira tidak punya hubungan special apapun." Weni menghela nafas panjang. "Saya sudah lama mengenal Delya, pak. Dia bukan wanita seperti itu." Tanpa sadar, buliran air mata menetes di pipi Weni. "Hmmm, maaf, pak. Saya refleks." Ia menyeka air matanya.

Araya sedikit menunduk dan menarik nafas panjang.

Selama beberapa menit, suasana rumah dinas Araya seketika menjadi hening.

"Kamu yakin mereka tidak punya hubungan?"

"Saya yakin, pak!" Tegas Weni.

"Baguslah." Balas Araya masih dengan nada ketus. "Tapi kalau untuk informasi tentang Delya, saya benar-benar tidak tau." Lanjut Araya. 

Ridwan dan Weni kompak mengangguk.

Tak lama berselang, mereka berdua pamit pulang. Beribu pertanyaan di kepala mereka belum mendapat jawaban. Mereka belum tau mengenai keberadaan dan kondisi Delya.

Sementara Araya, ia belum juga beranjak dari kursi tempat ia duduk. Tangannya memijit pelipisnya yang tidak sakit.

*Bersambung

Mohon maaf baru update.
Semenjak jadi istri, author terkena syndrom mager untuk nulis 😁

Terima kasih untuk reader yang masih setia menunggu.
Author usahakan untuk tetap update dan lebih semangat lagi untuk nulis.

LOVE IS LORENG ( LIL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang