*Part 9*

6.4K 315 127
                                    

Rupanya hujan tak reda sejak semalam, pagi ini hujan masih terus turun. Matahari tak nampak sedikitpun, begitu pun dengan burung-burung yang biasanya sudah berkicau dari balik dedaunan di atas pohon.

Mas Ray sudah berangkat sejak pagi tadi. Hujan tak menyurutkan langkahnya menuju kantor. Ia berangkat mengendarai sepeda dengan setelan jas hujan membungkus badannya.

Sementara Fiona belum bangun dari tidurnya, aku tak berani membangunkannya. Ia pasti kelelahan. Lelah fisik dan lelah hati.

Sambil menunggu Fiona bangun, aku beres-beres rumah dan menyiapkan makan siang. Tak ada hal berarti yang bisa di lakukan saat hujan selain beraktivitas di dalam rumah. Hari ini aku juga absen di lokasi proyek padahal aku sangat ingin menikmati hari-hari terakhirku di sana sebelum masa kontrakku habis.

Aku begitu kangen dengan lokasi proyek dengan para pekerja yang mampu membuatku tertawa lepas dan tetap menjadi diri sendiri. Di sana aku tak perlu berubah jadi orang lain, tak perlu bersikap dingin seperti saat ini. Aku ingin Delya yang ceplas-ceplos dan ceria.

Aku mendengar langkah kaki sedang menuju dapur. Sepertinya Fiona sudah bangun.

"Kamu disini rupanya."

Ternyata mas Ray, ia sudah pulang dan sedang berdiri menatapku masih dengan seragam doreng yang melekat di badannya.

"Fiona mana?"

"Belum bangun."

"Jam segini belum bangun? Kamu nggak periksa ke kamarnya? Siapa tau dia kenapa-napa."

Mendengar ucapan mas Ray, aku buru-buru ke kamar Fiona.

"Astaga!" Aku terpekik kaget.

"Kenapa?" Mas Ray menghampiri kami berdua.

"Badan Fiona panas sekali, mas."

Tanpa basa-basi mas Ray segera menggendong Fiona menuju mobil untuk di bawa ke rumah sakit. Aku meraih dompet dan segera ikut naik ke atas mobil.

Setiba di rumah sakit, Fiona langsung di bawa ke UGD.

Tak lama kemudian, Dokter menghampiri kami.

"Ibu Fiona demam tinggi dan sedang di tangani oleh perawat kami, ia harus di infus karena fisiknya sangat lemah."

"Baik, Dok."

"Oya, 1 lagi. Ibu Fiona tidak boleh stress dan kelelahan, bisa berbahaya sama janinnya."

Aku dan mas Ray saling berpandangan.

Fiona hamil?

Aku dan mas Ray menghampiri Fiona yang sudah di pindahkan ke ruang rawat inap. Ku lihat ia sudah sadar.

"Fio, kamu kenapa nggak bilang kalau kamu hamil?"

Air mata Fiona menetes.

"Aku mau menggugurkan anak ini, kak. Aku nggak mau anakku lahir tanpa bapak." Fiona mulai terisak.

"Sssttt, jangan bilang seperti itu."

"Kamu jangan gegabah, dek. Anak itu anugrah, itu rezeky dari Allah. Suami mu tau kalau kamu hamil?" Tanya mas Ray.

Fiona menggeleng sambil terisak. Aku segera memeluknya, aku harus ekstra menguatkan dia, adikku ini sedang rapuh saat ini.

Mas Ray pamit untuk keluar sebentar, ia tak mengatakan hendak kemana sementara hujan masih begitu deras di luar sana.

Aku menyuapi Fiona dengan roti yang di beli oleh mas Ray sebelum pergi tadi.

Sudah satu jam sejak kepergian mas Ray, namun ia belum kembali juga. Mungkin ia kembali ke asrama.

LOVE IS LORENG ( LIL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang