CHAPTER 1

389 26 2
                                    

💔
Memeluk kalian berdua adalah hal mustahil yang selalu aku mimpikan dan harapkan

Asnawi Pov

Plak!

"Dasar anak gak tahu diri! Dibaikin malah ngelunjak kamu yah!"

Tamparan dan makian sudah menjadi makanan sehari-hari untukku, tatapan kebencian itu yang selalu menyambutku kala aku memasuki rumah sepulang sekolah. Tak ada lagi cinta bagiku, tak ada kebahagiaan bagiku, tak ada perhatian untukku, tak ada lagi kasih sayang bagiku.

Aku mengabaikan mereka yang mencaci maki diriku, sepertinya aku sudah mati rasa. Bahkan sakitnya tamparan itu tak terasa di pipiku. Aku memasuki kamarku yang berada dilantai dan menguncinya, aku menatap diriku yang hancur ini di dalam cermin.

"Apa aku gak boleh bahagia?"
"Apa Ayah dan Bunda gak sayang sama Asnawi lagi?"
"Apa aku masih dianggap anak oleh mereka?"

Berbagai pertanyaan bersarang di dalam otakku, ingin rasanya aku berteriak meluapkan rasa sakit yang aku rasakan selama 7 tahun ini. Ya! Selama 7 tahun aku dikucilkan di keluargaku sendiri. Selama itu pula aku tak pernah lagi mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari mereka. Bahkan saat berkumpul dengan keluarga besar pun, aku tak pernah datang, bukannya aku menolak, namun kedua orangtuaku tak mau mengajakku.

Aku membuka sedikit pintu kamarku, dan aku mendengar suara ketukan pintu. Terlihat laki-laki tampan yang wajahnya mirip sepertiku.

"Bunda... Arhan pulang!"

"Kamu baru pulang Sayang? Gak ngabarin Bunda, bikin khawatir aja." Aku mendengarnya, dia kembaranku. Ayah dan Bunda selalu memanjakannya, perhatiannya berbeda saat denganku.

Aku menutup kembali pintu, lalu menangis dan menutup wajahku dengan bantal. Sekuat tenaga aku menahan suara isak tangis agar tak ada yang mendengarnya. Apakah ada yang lebih sakit daripada menangis dalam diam? Apalagi ini tangisan seorang anak laki-laki?

Aku kembali berjalan menuju cermin, menatap diriku yang hancur ini, menatap bekas tamparan Ayah yang masih memerah di pipiku. Kuambil ponsel di saku celana abu-abuku, lalu menatap nanar nama di sana. Selama ini aku selalu bercerita tanpa jawaban.

Kubuka chat room Bunda, aku menekan pesan suara di sana.
"Bun, Ayah nampar aku lagi, Bun. Tapi ini gak sakit kok Bun, Asnawi kuat kok. Kata Bunda Asnawi gak boleh nangis kan? Tapi gak bisa, Bun."

Bodoh memang, aku sudah mengirimkan pesan lebih dari seribu, namun tak kunjung Bunda membuka blokirnya. Semua anggota keluarga ku memblokir nomorku, atau bahkan dengan sengaja mereka tak pernah membalas pesanku.

Kuraih cutter dari bawah bantal kasurku, kakiku membawahku melangkah ke arah kamar mandi. Aku terduduk di sana dan menangis. Kudorong cutter agar isinya keluar. Lengan bajuku ku gulung, di sana sudah banyak luka yang sudah mengering. Bukan sekali saja aku melakukannya hal ini. Sudah sangat sering, bahkan setiap hari.

Goresan-goresan kuukir di lenganku, aku membuat pola garis-garis di sana, aku masih cukup sadar agar tak menggores nadiku. Aku masih takut untuk mati.

Darah merah kental menetes di lenganku, fisik dan mentalku terganggu dengan semua makian dan cemoohan yang mereka lontarkan kepadaku. Kupejamkan mataku, menelusuri bayangan diriku yang pernah bahagia 7 tahun yang lalu. Rasa sakit di lenganku tak sebanding rasa sakit di hatiku. Semua badanku terasa seakan seperti mati rasa. Aku kehilangan kebahagiaanku. Tuhan, tolong beri aku kebahagiaan sedetik saja.

Setelah aku sadar, buru-buru aku mencuci luka di lenganku, ku putar keran shower agar tangisanku ikut mengalir bersama air. Badanku basah, darah itu pun ikut mengalir. Kemudian, aku terduduk di lantai kamar mandi, meratapi nasibku. "Kenapa aku tak pernah berani melawan mereka?!" teriakku, tanpa memedulikan ada yang mendengarnya atau tidak.

Rapuh [Timnas Bromance]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang