CHAPTER 3

191 21 7
                                    

💔
Aku jatuh bukan berarti aku menyerah, tapi aku hanya lelah dengan keadaan. Sampai kapan aku dipandang sebagai sebuah masalah?
-Asnawi Mangkualam

Author POV

"Ayo Asnawi kejar Ayah."
"Arhan, Asnawi, Nadeo. Makan dulu Nak."
"Asnawi mau apa sayang?"
"Kamu anak yang gak berguna!"
"Kamu pembunuh."
"Psikopat."

Asnawi bangun dari tidurnya, napasnya tersengal-sengal. Dengan segara, ia meneguk segelas air yang ada di mejanya hingga tandas. Mimpi itu... Yang berulang kali berputar di kepala Asnawi ketika di tertidur, mimpi yang selalu muncul jika Asnawi tidur terlalu lama.

Aku sakit, dan yang tahu rasa sakit itu hanya aku dan seseorang yang kini entah di mana.

"Membosankan." gumam Asnawi sambil membuka jendela balkon. Cuaca hari ini memang tidak hujan, tapi awan hitam masih setia menemani langit. Asnawi sangat takut untuk keluar kamar, takut-takut kalau bundanya akan menamparya lagi

Asnawi mengambil ponselnya, seperti biasa ia akan mengirimkan pesan suara kepada sang bunda. Ia akan bercerita tentang hari ini, ia akan berceloteh manja, padahal ia selalu diabaikan.

"Bunda... kepala Asnawi pusing banget Bun, semalam hidung Nawi mimisan lagi. Maafin Nawi ya baru bangun, semalam Asnawi minum tiga butir obat tidur Habisnya Nawi capek banget Bun."

Setelah mengirimkan pesan itu, Asnawi berjalan ke kamar mandi. ia membersihkan diri dan setelahnya mengobati luka di bibirnya.

Tak lama, ponselnya bergetar, dan terlihat nama Ernando muncul di layarnya. Dengan segera Asnawi menekan tombol hijau. "Jadi lo gak masuk mau lari dari masalah? Sampai kapan pun gue bakal bikin hidup lo gak tenang."

Asnawi hanya diam tak menanggapi, lagian ia sudah biasa dengan perlakuan Ernando padanya. Sudah berapa kali ia melapor kepada pihak sekolah, tapi sama sekali tak ada yang percaya padanya. Mungkin mereka tak mau melibatkan diri dengan anak donatur terbesar di sekolah. Terkadang hidup hanya berpihak pada uang, uang, dan uang.

"Kenapa lo diem?! Takut? Haha jangan harap lo punya temen bangsat. Gara-gara lo kemaren nilai gue merah!” Nada yang Siska lontarkan menandakan ia sangat murka, mengapa ia begitu kejam hanya karena satu nilai ia merah? Sedangkan dia sudah membuat nilai Asnawi merah di banyak mata pelajaran.

"Awas lo-" Tanpa basa basi Asnawi langsung menutup telepon dan melemparkan ponselnya ke kasur.

Asnawi duduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya. Menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Matanya terpejam, dirinya mulai berkhayal menuju kebahagiaan. Rasanya ia sudah tak memiliki titik terang untuk bahagia.

Sekali lagi, ia melihat ponsel miliknya dan membuka grup chat kelasnya. Betapa kagetnya ia saat melihat sebuah foto dirinya yang diedit dengan banyak kata-kata yang menjatuhkan dirinya.

XI Sains 3

Ernando_
Send a picture
Cocok ya buat si @Asnawi08

Rizky
Haha, iya njir.

Witan
Cakep.

Riyandi
Buset rajin bener lo ngedit begituan,

Psikis Asnawi semakin terganggu, ia langsung mengambil cutter dan mengeluarkan isinya, lalu melemparkan ponselnya sembarangan. "Semua orang gak butuh aku. Lebih baik aku mati!" Saat Asnawi akan menyayat urat nadinya, ia dikejutkan oleh ketukan pintu yang tak beraturan. Asnawi langsung membuka pintu dan mendapati Bi Ayu dengan wajah panik.

"Bibi kira kamu kenapa, tadi pagi Bibi bangunin kamu gak ada suara. Bibi kira udah berangkat, tahunya kamu gak sekolah."

"Apa Bibi sayang Nawi?" tanya Asnawi tiba-tiba, membuat Bi Ayu heran.

"Kenapa kam-"

"Apa Nawi anak yang gak berguna? Apa Nawi bodoh? Apa Nawi harus mati?"

Bi Ayu langsung memeluk Asnawi yang rapuh, ia ikut menangis. Ia bawa Asnawi masuk ke dalam kamar yang terlihat berantakan itu. Lalu, Bi Ayu menggenggam tangan Asnawi, menyalurkan kekuatan untuk Asnawi. "Bibi sayang Asnawi, Bibi gak akan pernah tinggalin Asnawi. Bibi percaya Asnawi." Asnawi semakin terisak, tanpa aba-aba, Asnawi langsung memeluk Bi Ayu.

Mata Bi Ayu terfokus kepada cutter yang tergeletak di lantai, dengan segera ia mengambilnya.

"Kamu pakai ini untuk apa?"

Asnawi membuka lengan bajunya, menunjukkan luka goresan di sana, membuat Bi Ayu menutup mulutnya kaget. "Astagfirullah Nawi, kenapa kamu lakuin ini? Bahaya ini, kamu bisa infeksi."

"Aku cuma benalu buat Bunda dan Ayah ya Bi? Aku anak yang gak berguna Bi, semuanya benci aku Bi."

"Husss, gak boleh ngomong gitu. Bibi sayang sama kamu, katanya Nawi Ironman, tapi kok ngeluh?"

"Aku bukan pembunuh 'kan Bi?" Bi Ayu menggeleng. mengusap air mata Asnawi dan mengusap luka bekas tamparan di pipinya. "Bibi aku mau sendiri, aku butuh hening, aku butuh ketenangan."

Bi Ayu paham, ia keluar dengan membawa cutter milik Asnawi. Sedangkan Asnawi menatap nanar nasibnya, ia kembali meringkuk di atas kasur. Tangannya lalu membuka laci nakas di sampingnya, dan mengambil sebuah bingkai foto. Di sana terdapat gambar ia dan keluarganya yang dulu bahagia.

"Bun-da... hiks... Ay-ah, Kak Nadeo, Arhan. Maafin Asnawi, aku mau dipeluk kalian. Bunda peluk Nawi sedetik aja, Bun. Yah, usap rambut Nawi kalo aku mau tidur, Yah." Air mata Asnawi mengalir, diikuti dengan darah segar yang ikut menetes dari hidungnya.

*****

Rapuh [Timnas Bromance]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang