CHAPTER 4

201 21 5
                                    

💔
Apa yang lebih menyakitkan  daripada sebuah pukulan dan makian?
Dianggap asing, lalu tak dipedulikan.
-Asnswi Mangkualam

Pagi-pagi sekali Asnawi sudah tiba ke sekolah, bahkan pintu gerbang saat ini masih dikunci. Matanya menatap jalanan dengan pandangan kosong, hatinya hampa, nyawanya seakan menjelajah entah ke mana. Lalu ia memutuskan duduk di depan gerbang sambil menunggu pintu gerbang sekolah di buka.

"Loh, Den, pagi banget datangnya?" sahut Pak Satpam
yang melihat Asnawi. Asnawi mendongak. "Iya nih Mang, Ayah ke kantornya pagi banget. Jadi aku juga harus berangkat pagi." Asnawi berbohong, mana mungkin ayahnya mau mengantarnya ke sekolah.

"Oh, ya udah Den masuk."

"Makasih ya Mang."

Asnawi langsung berjalan ke arah kelas, bahkan kelasnya juga belum dibuka. Ia pun duduk di lantai teras depan kelas. Matanya terpejam menikmati dinginnya pagi, pikiran dan hatinya kosong, namun air mata mengalir deras tanpa disuruh.

"Kenapa aku nangis? Kenapa aku selemah ini?" Asnawi mengusap air matanya kasar.

Di tengah lamunannya, penjaga sekolah datang untuk membukakan pintu ruang kelas. Asnawi pun langsung masuk ke dalam kelas lalu mencoba tidur sebentar di kursinya sebelum kelas menjadi ramai. Matanya pun terpejam diiringi desiran angin pagi yang sejuk.

"Asnawi bangun lo!" Asnawi terlonjak kaget saat mejanya digebrak oleh seseorang. Ia mendongak, menautkan alisnya bingung. "Ada apa lagi Nan?" tanya Asnawi lemah. "Semalam lo kan yang teror gue? Lo pasti dendam kan sama gue? Ngaku lo!" murka Ernando.

Teror apa? batin Asnawi bertanya. "Enggak, semalam aku tidur. Ngapain juga aku teror kamu? Gak ada untungnya juga." Saat Asnawi akan tidur kembali, tiba-tiba rambutnya ditarik oleh Ernando.

"Mana ada maling ngaku!"

"Awh! Sakit Nan." Asnawi berusaha melepaskan cengkeraman tangan Ernando dari rambutnya.

"Lepasin Nan!" Witan membentak Ernando, membuat Ernando melepaskan cengkeramannya.

"Jadi lo sekarang bela dia, iya?" tanya Ernando pada Witan.

Witan tak menanggapi, lalu kembali ke tempat duduknya. "Urusan kita belum selesai!" ucap Ernando menoyor kepala Asnawi, dan pergi ke tempat duduknya.

Asnawi bingung, kenapa dari sekian banyaknya siswa di kelas ini, tak ada sama sekali yang membelanya? Kenapa semuanya seolah-olah tuli dan buta? Bahkan Witan pun baru kali ini sedikit menyelamatkannya dari Ernando.

*****

Asnawi berjalan ke taman saat jam istirahat telah tiba. Taman selalu sepi, mungkin hanya dirinya yang sering ke taman itu. Ia duduk dengan nyaman di kursi taman, menatap kupu-kupu yang terbang bersama pasangannya. Asnawi tersenyum melihat kupu-kupu itu.

"Kupu-kupu aja terbang berdua bersama temannya, kok aku gak punya temen, ya?" gumam Asnawi memperhatikan kupu-kupu itu. "Aku pengin pergi sholat berjamaah bareng keluarga lagi. Rasanya gak enak kalo harus sholat sendiri. Ya Allah, kabulkanlah doa Hambamu ini" Asnawi berdoa.

Kakinya sedikit terusik oleh gesekan lembut dari seekor kucing. Asnawi tersenyum geli melihat kucing yang selalu menemaninya jika ia di taman itu. Diangkatnya kucing itu ke pangkuannya, lalu dielus dengan lembut.

"Mpus udah makan?" Asnawi mengajak bicara kucing itu, seakan-akan akan si kucing akan menjawabnya. "Mpus, kenapa sih semua orang gak suka sama aku? Asnawi gak kuat sebenarnya, tapi Nawi gak mau menyerah gitu aja." Kristal bening keluar dari mata indahnya, hatinya saat ini terasa bagai diremas dan ditusuk seribu jarum.

Rapuh [Timnas Bromance]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang