💔
Aku sangat mencintaimu sampai aku lupa akan posisiku yang tak mungkin pernah bisa bersamamu."Baiklah mari kita bagi kelompok untuk materi hari ini," ucap Pak Bambang, guru mata pelajaran PKN di kelasku. "Asnawi, Ernando, Riyandi, Rizky, dan Witan. Kalian bahas tentang Empat pilar kebangsaan."
Aku tidak terlalu suka belajar kelompok karena selalu saja mendapat nilai merah. Bukan karena aku tidak paham, tapi teman sekelompokku selalu menghalangiku untuk mengerjakan tugas. Jahat bukan? Ditambah aku sekelompok dengan orang yang sering sekali mem-bully-ku.
"Lo kerjain nih!" Ernando tiba-tiba memberikan kertas yang harus diisi kepadaku.
Akhirnya, aku mengerjakannya sendiri, sementara mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Setelah selesai dan aku hendak memberi nama, Rizky langsung menarik kertas tersebut. Dia menulis nama anggota, sementara namaku ditulis dengan pulpen merah.
"Kan aku yang ngerjain, masa aku di merahin?"
"Gue suka aja nulis nama lo pake warna merah, salah?"
jawab Rizky sinisSudahlah, sejauh apa pun aku membela diriku, hasilnya tetap sama saja, aku selalu kalah. Witan pun mengumpulkan kertas tersebut ke meja Pak Bambang. Jelas nanti aku akan dipanggil ke depan karena namaku merah.
"Asnawi Mangkualam, maju kamu" teriak Pak Bambang dengan suara lantang "Kenapa setiap pelajaran kelompok kamu tidak pernah bekerja?!"
"Percuma saya ngerjain Pak, kalo ujungnya mereka tetap nulis nama saya pakai pulpen merah." Aku membela diri. Mataku menatap mereka, sementara mereka balik menatapku dengan tatapan tajam.
Aku mengambil buku tulis di mejaku, memberikannya kepada Pak Bambang. "Saya kerja kok Pak, malah saya sendiri yang kerja. Kalo gak percaya samain aja tulisan saya."
Pak Bambang mengangguk paham, entah ada keberanian dari mana aku melakukannya. "Witan, Ernando, Rizky, dan Riyandi, ikut ke ruangan saya!" Pak Bambang meninggalkan kelas.
"Dasar cepu! Tukang ngadu!" ujar Ernando sinis.
Aku tetap diam dan kembali ke mejaku. Aku sangat lelah.
*****Bel tanda pulang sekolah sudah berdering sejak tadi, namun rasanya begitu berat untuk meninggalkan sekolah dan kembali ke rumah. Aku heran mengapa semua orang begitu semangat pulang ke rumah, sedangkan aku begitu membenci suasana rumah.
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan untuk menyiapkan diri sebelum pulang ke rumah. Sudah bisa dipastikan aku akan mendapatkan tekanan batin jika pulang ke rumah. Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan menuju tempat di mana dulu sering aku habiskan bersama sahabat masa kecilku, yang kini entah di mana. Jaraknya cukup jauh dari sekolahku, namun aku tetap menempuhnya dengan jalan kaki.
"Capek juga jalan sejauh ini, mana aku belum cuci darah," keluhku memegangi kepalaku yang terasa sangat pusing dan perutku yang sakit. Namun, aku sesegera mungkin menepis rasa sakit ini karena aku sangat merindukan tempat itu
Sekitar tiga jam aku berjalan dengan napas tersengal, akhirnya aku sampai. Aku terdiam saat melihat Egy, sahabat masa kecilku, tengah bercanda ria dengan Arhan. Aku langsung bersembunyi di balik pohon jambu yang tak terlalu jauh dari mereka. Hatiku begitu sakit saat melihat mereka bersama tanpa aku. Dulu, Arhan paling tidak menyukai saat aku menghabiskan waktu terlalu lama bersama Egy, tapi kini begitu aneh. Dia terlihat begitu bahagia bersama Egy.
"Nawi, aku harus pulang. Udah sore banget ini. Yuk pulang "
"Kenapa Egy menyebut namaku saat bersama Arhan? Apa dia berpura-pura jadi aku? Tapi buat apa?" tanyaku pada din sendiri. Mereka pergi dari sana sambil merangkul satu sama lain, meninggalkan aku sendiri yang menangis menatap mereka.
"Sahabatku juga kamu ambil?"
*****
Jam menunjukkan pukul 10 malam, bisa dihitung berapa lama aku berjalan kaki Aku sempat makan di luar, dan bermain sendiri di taman, lalu pulang ke rumah.
"Masih inget rumah kamu?" Nada dingin dan menyakitkan itu yang aku dengar saat masuk ke dalam rumah. Aku tersenyum ke arah Bunda, tapi ia malah menatapku dengan tatapan sinis.
"Gak tahu diri banget ya kamu, udah baik saya gak usir kamu, tapi kamu pulang seenaknya!" bentak Ayah, membuat luka di hatiku semakin lebar.
"Maafin Asnawi, Yah" Aku menunduk, tak berani menatap matanya yang terlihat sangat marah kepadaku.
Plak!
Ayah kembali menamparku, namun aku tetap tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja meskipun aku bisa merasakan bibirku berdarah. "Maaf dari kamu gak bisa mengubah apa pun yang sudah terjadi! Maaf dari kamu gak akan ngembaliin dia," ucap Bunda.
"Dengan kalian benci aku dan nampar aku, apa bisa buat Kak Nadeo kembali? Berapa kali aku bilang kalo aku bukan penyebab dia pergi." Aku berusaha menahan agar tak menangis di depan kedua orangtuaku, namun aku sudah terlalu rapuh.
"Sampai kapan pun kami gak akan pernah percaya sama
kamu!""Kalian egois, hanya percaya kepada asumsi masing-masing tanpa tahu kebenarannya, kematian Kak Nadeo itu takdir," ucapku berteriak.
Plak!
Kali ini Bunda yang menamparku dengan murka. Aku
menatap mata mereka, sebenci itukah mereka kepadaku sekarang?Aku langsung berlari ke kamarku dan menguncinya, telingaku masih mendengar mereka mencaciku. Aku sudah terlalu lemah, batinku sudah mulai menyerah. Kulihat bibirku yang berdarah akibat ditampar Ayah di cermin, darah segar ikut keluar dari hidungku, aku mengusapnya kasat.
"Gak ada yang sayang sama Nawi! Mereka jahat, mereka
egois, tapi kenapa Nawi gak bisa benci mereka, kenapa.."Aku menangis sekencang-kencangnya, meluapkan kemarahanku. Tuhan tahu bahwa aku tengah bersedih, maka ia mengirimkan hujan kepadaku. Aku membuka jendela balkon kamarku, ku tadahkan tangan yang penuh luka ini menyentuh air hujan. Aku menangis mengikuti irama hujan.
"Hujan... apakah kamu juga membenciku? Atau kamu percaya aku?"
"Hujan... Kenapa kamu tak pernah marah walaupun dijatuhkan berkali-kali? Aku ingin menjadi sepertimu, walaupun kami jatuh, tetapi kamu bisa menghasilkan pelangi."
Aku berjalan kearah kamar mandi, kali ini aku tidak akan menggoreskan cutter lagi di lenganku. Luka yang kemarin saja belum kering, jadi aku tak ingin menambah luka lagi. Aku hanya ingin mandi.
Dan setelahnya, aku duduk diam di atas kasur. Kutatap obat-obatan yang selama ini tidak pernah ku sentuh lagi. Aku melupakannya hingga badanku terasa sangat lemas.
Setelah mengirimkan pesan kepada wali kelasku, aku langsung meneguk 3 butir obat tidur, aku tertidur cukup lama jika meminumnya.
"Aku hanya butuh ketenangan, selamat malam"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Rapuh [Timnas Bromance]
Fanfiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA:)] Tidak ada yang lebih indah dari hidup bersama keluarga yang lengkap. Berbeda dengan Asnawi, keluarganya justru menjadi luka terburuk dalam hidupnya. Dia dijauhi oleh keluarganya karna di tuduh sebagai penyebab kematian Kak...