Malam ini, kami berada di PIERRE restoran bernuansa france yang klasik. Disana aku sedikit bingung memilih menu, tak mengerti apa itu boeuf, poultry, escargot mau bertanya pun malu rasanya apalagi disana ada Kakak dan Adiknya Papa. Yowes lah aku hanya pesan yang aku tau yaitu creme brulee, aku tau itu dari series Emily in Paris. Namun rasanya perut ini tidak kenyang, apalagi saat melihat pesanan yang lain daging bertumpuk yang bikin ngiler. Mama menyuruh Karina untuk berbagi denganku karena jika memesan menu baru harus waiting list berjam-jam, namun terlihat wajah melas darinya. Untung ada Ayla, anak dari Om Hanif adiknya Papa. Ayla denganku hanya beda 3 tahun, tuaan dia. Dia baik padaku begitu juga Ammar, kakaknya. Kami bertukar nomor telpon dan saling follow di Instagram. Papa memiliki 2 Kakak dan 1 Adik, anak dari kakaknya tidak gabung. Karena sudah menikah semua dan hidup bersama pasangannya. Ada yang tinggal di Yogyakarta, Bali bahkan Luar Negeri. Usut punya usut ternyata acara makan malam ini untuk merayakan kehadiranku dan perpisahan dengan Ayla, karena besok lusa ia akan kembali ke US untuk melanjutkan pendidikannya. Geleng-geleng kepala aku mendengar alkisah keluarga ini, sangat berclass. Merasa gembel sendirian deh aku disini.
Ada Pakde Farid dan istrinya Bude Ikke serta ada Bude Yuni dan suaminya Pakde Adi. Tak henti mereka memujaku, katanya cantik sekali. Ah aku jadi GR deh lama-lama, tapi tak bisa dipungkiri aku memang chantikss. Apalagi saat berpamitan Bude Yuni terus mencium keningku. Entah mengapa aku merasa dihargai oleh keluarga Papa, berbeda dengan keluarga Mama. Bahkan Nenek pun terlihat sinis padaku, semua tante dan om pun tidak ada yang peduli dengan kehadiran pertamaku kecuali Dena adik Mama, ia berjarak 5 tahun denganku dan tuaan dia. Dena juga asisten Mama saat ada job nyanyi. Ketika Mama sibuk dengan saudara-saudara, hanya Dena satu-satunya temanku. Yang lain hanya asyik makan dan mengobrol namun mengacuhkan aku, Karina jangan ditanya lagi. Tidak ada Papa disana, ntahlah akupun tak tau. Saat aku berkeliling sendiri di Mansion Mama yang berlokasi di Bogor, tak sengaja aku mendengar percakapan Mama dan Nenek di ruangan dengan jendela terbuka.
"Neng, kamu teh gak nyesel karir dan rumah tanggamu hancur sabab budak eta?." ucap nenek.
"Ambu...gaada rasa nyesel sedikitpun di benak Eri, kalau gak gini bisa-bisa Neng teh ngarasa dosa saumur hirup ambu." timpal Mama.
"Yaudahlah gimana lagi, sakarep kamu aja padahal waktu itu teh Ambu udah minta ke Ayah Bundanya buat ngerahasiain itu anak. Eh... kamu na da bedegong." terdengar nenek memarahi Mama.
Aku langsung menghindari tempat itu, takut ketauan sedang menguping. Dan memutuskan untuk merenung di tepi kolam renang, tak terasa aku menitikkan air mata. Ternyata aku salah dugaan, bukan Mama tt-tapi Nenek yang benci aku dan ia juga yang minta agar aku dirahasiakan. Disela aku menghapus air mata tiba-tiba datang Karina.
"Ngapain disini? so so an menyendiri, mau banget disebut intovert?." sindir Karina.
Aku tidak menjawabnya, ia terus mendekati dan ikut duduk disampingku.
"Anjir mata lu merah, nangis? kenapa?." tanya Karina.
"Gausah so peduli deh sama gue." ucapku sambil mendorong bahu ia kesamping.
Namun ia terus duduk di sampingku, sesekali ia scroll tiktok dan tertawa sendiri. Brengshake emang, orang lagi sedih ini malah asyik ketawa sendirian. Tak terdengar lagi ketawa, gaada angin gaada ujan ia terus terang merasa kasihan padaku namun kalimatnya diakhiri oleh sindiran lagi. Tapi aku merasakan kalimat yang ia ucapkan memang tulus, namun menurutku Karina adalah tipe orang gengsian. Dari situ aku sadar kalo setiap orang menyampaikan rasa perhatian dan kasih sayangnya itu berbeda-beda.
Hari minggu sore adalah saatnya untuk aku kembali ke Bandung, setelah melakukan pertemuan dengan masing-masing Keluarga Papa dan Mama yang sungguh melelahkan. Aku diantar pulang langsung oleh Mama disupiri Pak Ali karena ada pekerjaan yang menyebabkan Ayah dan Bunda tidak jadi menjemputku, tersimpan 4 koper besar dan berat di bagasi yang pastinya bukan milliku. Akupun bertanya pada Mama karena ada rasa curiga, namun apa yang ditanyakan dan yang dijawabnya tidak sesuai. Lalu aku mencoba Mama untuk menjawab jujur, apakah betul kalo hubungannya dengan Papa sudah retak. Mama berekspresi marah dan bertanya "Kamu tau dari siapa?." aku tidak menjawab siapa orang itu. Mama hanya bisa menghela nafas dan jujur bahwa surat keputusan perceraian dari pengadilan sudah diketok palu waktu kami sedang berada di Mansion Bogor. Mama tidak hadir pada sidang tersebut karena diwakilkan oleh kuasa hukum, namun Papa hadir hingga akta cerai berhasil keluar.
-Bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Tersayang
Non-FictionIni kisah Firenza Maharani, seorang perempuan malang yang baru mengetahui keluarga kandungnya saat sweet eighteen. Kejutan yang ia dapat berbeda dengan yang lain rasakan, entah harus merasa senang ataukah sedih akupun bingung. Tunggal sudah bercaba...